Berdasarkan hasil sensus penduduk yang dilakukan
sepuluh tahun sekali diperoleh bahwa penduduk Indonesia
berjumlah 237.641.326 orang dan 29.568.464 orang
diantaranya adalah non-Muslim atau sebesar 12,44% dari total
penduduk Indonesia (BPS 2014). Oleh karena itu, daging babi memiliki
potensi sebagai sumber protein hewani bagi sebagian penduduk di Indonesia.
Menurut Hoffman & Falvo (2005) konsumsi ideal untuk
anak-anak, remaja dan dewasa adalah sebesar 1,5; 1,0 dan
0,8 g protein/kg berat tubuh per hari masing-masingnya.
Di Indonesia, populasi babi terkonsentrasi pada beberapa
daerah antara lain di Bali, Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Nusa
Tenggara Timur (NTT), Sulawesi dan Papua. Penyebaran populasi babi
tersebut baik jenis lokal maupun impor dalam lima tahun terakhir
dapat dilihat pada Tabel 1 (Ditjen PKH 2013a) dan banyaknya populasi
tersebut dapat dijadikan salah satu sumber daging bagi
sekitar 13% penduduk Indonesia.
Babi tersebar secara luas di seluruh dunia terdiri dari berbagai
bangsa dan delapan spesies, dimana 52 bangsa diantaranya tersebar
pada beberapa negara di kawasan Asia Tenggara (FAO 2009). Indonesia memiliki lima
spesies babi dari delapan spesies yang ada di dunia (Rothschild et
al. 2011). Keberagaman spesies babi yang ada di Indonesia terbukti dengan ditemukannya
empat alel yang berbeda dan merupakan jumlah alel mitokondria
tertinggi yang telah ditemukan (Choi et al. 2014).
Tabel 1. Populasi Babi di Beberapa
Provinsi yang ada di Indonesia Tahun 2009-2013
Sumber : Ditjen PKH (2013)
Rencana strategi Direktorat Jendral Peternakan dan
Kesehatan Hewan untuk tahun 2010-2014, adalah peningkatan populasi ternak babi
baik itu ternak babi lokal maupun babi eks impor sebesar 1,15% setiap tahunnya,
sehingga jumlah populasi babi di Indonesia mencapai 7.204.768 ekor dan
menghasilkan daging sebesar 247.420 ton (Ditjen PKH 2013). Berdasarkan rencana
strategis Ditjen PKH, maka pelestarian babi lokal dapat dilakukan dengan cara
membatasi jumlah impor babi dan daging babi, mengembangkan ternak babi lokal
serta melakukan konservasi untuk mencegah terjadinya kemusnahan berbagai jenis
babi lokal.
Kemusnahan babi lokal dapat saja terjadi jika
peternak hanya memilih babi impor untuk diternakkan dan mengabaikan babi lokal
dan area pemeliharaan babi yang terbatas hanya pada daerah tertentu, karena
alasan sosio religius dari masyarakat Indonesia. Babi umumnya dipelihara secara
tradisional oleh masyarakat yang memiliki sosio religius non-Islam. Pada suatu
daerah di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan menurut Sariubang &
Kaharuddin (2011), pemeliharaan babi dilakukan secara tradisional sebesar 50%,
semi intensif 45% dan intensif sebesar 5%. Johns et al. (2010) melaporkan di
NTT sebagian besar babi diternakkan dengan sistem tradisional yaitu sebesar 85%. Selain itu penyebab turunnya populasi babi
lokal di Indonesia adalah tingkat
perburuan dari masyarakat yang tinggi. Kegiatan perburuan ini dilakukan untuk
pemenuhan kebutuhan protein hewani, obat dan sebagian hasil buruan dijual untuk
menambah pendapata. Hastiti (2011) menemukan pada masyarakat suku Dayak Kenyah
di Kalimantan Timur adalah kesukaan berburu babi berjanggut (Sus barbatus) untuk dikonsumsi dagingnya
dan memanfaatkannya untuk obat sakit perut, dan kuku untuk obat liver, sakit
dalam dan pegal-pegal.
Masalah lain yang harus
dihadapi dalam pengembangan babi lokal di Indonesia adalah peraturan-peraturan
dari pemerintah yang kurang mendukung pengembangan babi lokal dan produktivitas
babi lokal yang jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan babi impor. Peraturan-peraturan
pemerintah yang berhubungan dengan rencana tata ruang dan wilayah (RTRW)
menjadi masalah untuk pengembangan peternakan babi karena peraturan daerah
secara umum tidak mengakomodasi pengembangan peternakan babi di tengah
pemukiman. Produktivitas babi Bali yang rendah merupakan masalah yang umum
dijumpai, menurut Soewandi (2013)
pertambahan berat badan harian (PBBH) babi Bali adalah
0,14±0,05 kg, sedangkan PBBH pada babi impor (Landrace)
dapat mencapai 0,24±0,09 kg. Rendahnya
produktivitas tersebut membuat para peternak beralih
untuk beternak babi impor.
Populasi beberapa bangsa
babi lokal diduga terus terjadi
penurunan antara lain babi Jawa berkutil (Sus verrucosus), babi Kalimantan (Sus barbatus), babi Sulawesi
(Sus celebensis) dan Babirusa (Babyroussa babyrusa) sebagai akibat dari perburuan liar yang dilakukan oleh
pemburu. Kemusnahan babi lokal sudah terjadi pada babi
Kalimantan, dimana menurut Oliver & Leus (2008);
Semiadi et al. (2008); Kawanishi et al. (2008); Burton
& Macdonald (2008); Macdonald et al. (2008) dan Hastiti
(2011) populasinya sudah berada pada tahap vulnerable sampai endangered yaitu
hampir terancam
musnah.
Selain masalah
kemusnahan, masalah yang dihadapi
dalam pengembangannya adalah kurangnya informasi yang
dapat digunakan sebagai informasi penting untuk
proses pengembangan akibat kurangnya penelitian pada
babi lokal. Dalam bidang peternakan, sudah dihasilkan
bibit unggul pada domba, kambing, itik dan ayam,
tetapi belum dihasilkan bibit unggul babi. Sasaran di
bidang peternakan dan veteriner secara nasional telah
ditentukan bahwa perlu dibentuk galur unggul sapi, kambing, domba, itik, ayam
dan aneka ternak,
tetapi tidak disebutkan pembentukan galur unggul babi (Badan
Litbang Pertanian 2010).
Berdasarkan
masalah-masalah yang dihadapi dalam
proses pengembangan ternak babi lokal, maka diperlukan suatu
usaha pelestarian bangsa babi lokal yang ada di
Indonesia. Pelestarian adalah suatu usaha untuk mencegah
kemusnahan agar keragaman plasma nutfah babi lokal
di Indonesia tetap terjaga berdasarkan jumlah populasi
yang dianjurkan atau effective population size. Babi lokal perlu dilestarikan, karena menurut Labalut et
al. (2013) ada dua alasan ternak lokal perlu
diperhatikan pelestariannya. Kesatuu, bangsa-bangsa ternak lokal kalah bersaing dengan bangsa ternak impor yang lebih produktif
serta sudah tersebar luas dan kedua, program pemuliaan
bangsa ternak lokal dalam skala kecil dapat
berdampak pada nilai ekonomis yang diperoleh menjadi lebih
kecil.
Selain untuk mencegah kemusnahan, pelestarian perlu dilakukan karena sudah diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2011 tentang Sumberdaya Genetik Hewan dan Perbibitan
Ternak dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 117 Tahun
2014 tentang Penetapan dan Pelepasan Rumpun atau
Galur Hewan. Pada dua aturan tersebut, disebutkan
bahwa pelestarian dilakukan pada hewan atau ternak
karena merupakan sumberdaya genetik bagi Indonesia
dan bahwa sumberdaya genetik hewan atau ternak
dikuasai oleh pemerintah. PP Nomor 48 Tahun 2011 telah mengatur penguasaan oleh pemerintah pada
hewan atau ternak yang sebaran asli geografisnya lebih
dari satu provinsi, status populasinya tidak aman,
rasio populasi jantan dan betina tidak seimbang serta
habitatnya spesifik.
Berdasarkan permasalahan yang ada dan didukung oleh peraturan hukum yang berlaku maka
diperlukan pelestarian babi berbasis peternakan dengan
ternak babi lokal sebagai sumber ternaknya agar plasma
nutfah babi lokal dapat terjaga kelestariannya. Oleh
karena itu, tujuan penulisan ini adalah untuk menunjukkan beberapa jenis babi lokal beserta
karakteristiknya serta upaya yang dapat dilakukan untuk pelestarian
ternak babi lokal yang ada di Indonesia.
Pelestarian babi lokal dilakukan karena babi lokal
memiliki keunggulan dibandingkan
dengan babi impor. Muladno (2010) dalam orasi ilmiah pengukuhan guru besar menyatakan bahwa babi
lokal di Indonesia memiliki keunggulan dalam kualitas daging yang lebih baik dibandingkan
dengan kualitas daging babi Eropa. Keunggulan
lain yang dimiliki oleh babi lokal adalah mampu mengkonsumsi limbah rumah
tangga seperti yang dikonsumsi oleh babi Bali dan Toraja (Soewandi 2013;
Siagian 2014). Kelemahannya adalah pertumbuhan yang lambat dibandingkan dengan
babi impor.
Pelestarian babi lokal yang
ada di Indonesia adalah salah satu wujud pelestarian kekayaan sumberdaya
genetik Indonesia. Kegiatan pelestarian sebenarnya sudah ditetapkan dalam
Peraturan Menteri Pertanian No. 35/Permentan/OT.140/8/2006 tentang Pedoman
Pelestarian dan Pemanfaatan Sumberdaya Genetik Ternak serta mengatur kegiatan
pembudidayaan, pemuliaan, eksplorasi, konservasi dan penetapan kawasan
pelestariannya. Oleh karena itu, Chamdi (2005) menyatakan bahwa upaya
pelestarian dan pengembangan ternak perlu diperhatikan factor perbaikan genetik
ternak.
Solusi pelestarian ternak
lokal yang dilakukan di Perancis oleh peternak, pemerintah dan pihak swasta
yaitu (Labalut et al. 2013):
1.
Penyiapan ternak jantan unggul secara kolektif
untuk dijadikan pejantan yang berasal dari berbagai stasiun pusat breeding ternak lokal.
2. Penerapan program breeding produksi pejantan yang dibutuhkan konsumen
pada pusat stasiun breeding berdasarkan
kriteria yang diinginkan seperti sifat kualitas, morfologis dan ketahanan tubuh
ternak.
Ada tiga cara
pelestarian pada babi lokal yang dapat dilakukan menurut PP Nomor 48 Tahun 2011
adalah dengan cara (1) Menetapkan wilayah budaya dan pengembangan babi lokal
wilayah kabupaten/kota; (2) Mempertahankan keberadaan dan kemanfaatan lahan
penggembalaan umum untuk budidaya babi lokal; serta (3) Mengembangkan dan
meningkatkan produktivitas babi lokal. Pada babi lokal yang telah diternakkan
oleh masyarakat, maka pelestarian dilakukan dengan melakukan seleksi dalam
rumpun agar kemurnian tetap dipertahankan dan konservasinya melalui usaha
perbaikan pengelolaan ternak babi lokal (Chamdi 2005).
Pada babi
liar yang ada di Indonesia, cara melestarikannya dapat dilakukan dengan
menetapkan wilayah tertentu sebagai kawasan pelestarian dan mempertahankan
keberadaan serta kemanfaatan lahan penggembalaan babi. Pelestarian dapat
dilakukan apabila sudah ditetapkan kawasan pelestarian karena sampai saat ini
belum ada penetapan kawasan tertentu sebagai kawasan pelestarian untuk babi
lokal. Berdasarkan pernyataan Hardjosubroto (2004) serta Talib & Naim
(2012) bahwa kawasan pelestarian sumber genetik perlu dibentuk dan
dipertahankan agar pelestarian dapat berlangsung dengan baik dalam sistem kawin
acak. Oleh karena itu, ada beberapa wilayah di Indonesia yang dapat dijadikan
wilayah pelestarian antara lain Bali, NTT dan Papua karena sosio budaya masyarakat di sekitarnya. Selain
tiga daerah tersebut, pulau-pulau kecil yang belum berpenghuni atau pulau-pulau
terluar Indonesia yang berbatasan dengan negara lain dapat juga digunakan sebagai
wilayah pelestarian babi lokal secara ekstensif.
Pembuatan kawasan pelestarian pada
pulau-pulau kecil tersebut merupakan salah satu cara untuk melestarikan
babi-babi lokal yang masih hidup liar. Pembuatan kawasan itu akan menjaga
kemurnian bangsa babi lokal. Babi-babi lokal yang masih hidup liar antara lain
Sus verrucosus (Javan warty pig atau babi Jawa berkutil), Sus barbatus (bearded pig
atau babi berjanggut Kalimantan), Sus celebensis (Sulawesi warty pig atau babi berjanggut Sulawesi) dan Babyroussa
babyroussa (Babirusa).
Berdasarkan Permentan Nomor 117 Tahun 2014 disebutkan
bahwa pola pelesatarian lainnya adalah dengan cara membangun dan mengembangkan
sistem pembibitan ternak di pedesaan (village breeding center ) pada kawasan
yang secara sosio budaya senang pada ternak babi. Pola pembibitan dilakukan
dengan mengandalkan swadaya masyarakat, khususnya para peternak babi lokal
dengan pola kemitraan yang mengandalkan kerjasama antara perusahaan dengan peternak
babi lokal dalam sistem inti-plasma (Chamdi 2005). Dua pola pelestarian dan
pengembangan tersebut dapat diterapkan dalam pengembangan bibit babi lokal yang
potensial seperti babi lokal yang diternakkan oleh para peternak seperti babi
Bali, Timor, Toraja dan lain sebagainya.
Di Indonesia sudah terdapat Balai Pembibitan Ternak
Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BPTUHPT) Siborong-borong untuk ternak babi dan
kerbau di Provinsi Sumatera Utara. BPTU babi ini menurut Siagian (2014) dapat
melaksanakan konservasi plasma nutfah untuk tiga babi lokal yaitu babi Nias,
Tobassa, Samosir yang di Tapanuli Utara sudah disilangkan dengan babi impor
secara massif yang mengancam kepunahan babi lokal. Oleh karena itu, perlu diternakkan
adalah ternak babi lokal dengan menerapkan seleksi dalam rumpun untuk
meningkatkan produktivitas ternak babi lokal tersebut. Peningkatan produktivitas
dapat terjadi secara meluas dan lebih cepat melalui penyebaran semen babi
unggul yang dalam pelaksanaannya tetap diawasi oleh pemerintah.
Kegiatan pelestarian babi lokal harus
memiliki dampak positif kepada pelaku pelestarian dan pada lingkungan sekitar
saat melakukan pelestarian. Kegiatan pelestarian babi lokal ini dapat
diintegrasikan dengan kegiatan promosi wisata warisan dan tradisi lokal terkait
ternak babi. Kegiatan pelestarian yang diintegrasikan dengan promosi warisan
dan tradisi lokal (indigenous/traditional knowledge) akan membantu melestarikan warisan dan
tradisi lokal masyarakat sekitar serta menambah penghasilan masyarakat.
Ada tiga strategi
yang dapat digunakan untuk menambah nilai ternak lokal agar tidak mengalami
kepunahan (Ligda & Casabianca 2013). Untuk ternak babi strategi peningkatan
nilai tambah adalah:
1. Menghubungkan
bangsa-bangsa ternak babi lokal dengan produk-produk tradisional dan/atau
dengan wisata berbasis agribisnis terkait ternak dan produk babi tersebut.
2. Promosi
bangsa-bangsa ternak babi lokal pada sistem peternakan yang spesifik, seperti
produk organik, integrasi dengan komoditas pertanian melalui penerapan input yang
rendah pada peternakan skala kecil dan peternakan berbasis hobi.
3. Memfokuskan
strategi umum pada promosi bangsabangsa ternak babi lokal (penjualan, pembuatan
regulasi baik daerah maupun pusat, isu-isu organisasi dan peningkatan perhatian
umum) agar terbitnya aturan dan kebijakan dalam pengembangan babi lokal.
Pada beberapa
daerah di Indonesia ada yang menggunakan babi dalam budaya lokalnya. Di daerah
Papua Barat, babi mempunyai nilai budaya dan ekonomi yang penting, yaitu
merupakan sarana penting dalam adat istiadat seperti mas kawin, alat denda
dalam pelanggaran hukum informal dan lain-lain. Pada berbagai upacara/pesta
adat baik bersifat keluarga sendiri ataupun masyarakat desa, ketersediaan
masakan daging babi merupakan tambahan nilai sosiologis dalam masyarakat.
Selain digunakan dalam berbagai acara adat, babi juga digunakan tabungan
keluarga oleh para peternak (Bernaddeta et al. 2011). Berdasarkananalisis
ekonomi sebagai sebuah usaha dengan input produksi
rendah, dilaporkan oleh Sariubang & Kaharuddin (2011) bahwa di Kabupaten
Tana Toraja peluang untuk pengembangan usaha ternak babi merupakan salah satu
cara efisien untuk menjadi sumber pendapatan petani/peternak karena mudahnya proses
produksi dan luasnya pemasaran.
Selain di Papua,
ada budaya lain di Bali yaitu dibuat babi guling yang digunakan dalam berbagai
upacara adat dan kepercayaan (Soewandi 2013). Masyarakat Toraja Utara dalam
ritual adat setempat yaitu Rambu Solo dan Rambu Taka melakukan pemotongan
ternak khususnya kerbau dan babi dalam jumlah besar (Siagian 2014). Berdasarkan
adat budaya lokal yang membutuhkan babi maka babi lokal dapat dijadikan sumber
babi dalam acara adat tersebut, sehingga dapat diintegrasikan dengan promosi
wisata berbasis agribisnis dan diharapkan mampu menambah pemasukan dari
kelompok peternak dan masyarakat sekitar.
Potensi yang ada di daerah tersebut dapat
dijadikan sebagai desa wisata yang akan memberikan manfaat secara ekonomis bagi
masyarakat sekitarnya. Desa wisata merupakan pengembangan suatu desa dengan
memanfaatkan kemampuan faktor-faktor yang ada dalam masyarakat dan desa yang
berfungsi sebagai atribut produk wisata menjadi satu rangkaian aktivitas
pariwisata yang terpadu dan memiliki tema tertentu sesuai dengan karakteristik
desa tersebut (Murdiyanto 2011). Oleh karena itu, dengan adanya budaya yang
menggunakan babi sebagai adat-budaya setempat seperti di Papua Barat, Bali dan
Toraja Utara maka desa-desa yang berpartisipasi di dalamnya dapat dijadikan
desa atau kawasan wisata. Pada konsep desa wisata tersebut dapat diintegrasikan
dengan mengusung konsep desa sumber bibit babi lokal (pig village breeding
center ) sebagai kawasan yang mendukung desa wisata tersebut. Village breeding
center yang dibentuk ini, tidak
dijadikan satu dengan desa wisata tetapi desa lain yang letaknya ada di sekitar
desa wisata.
Ada berbagai macam usaha pelestarian dan
pengembangan yang dapat dilakukan dalam mendukung terjaganya sumberdaya genetik
ternak babi. Pelestarian dan pengembangan yang didasarkan pada peningkatan
produksi dan pemasaran harus dapat memberikan keuntungan bagi para pelakunya,
memberikan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya dan bagi
pelestarian dan perbaikan sumberdaya genetik babi lokal itu sendiri. Proses ini
disosialisasikan dan dijalankan secara terus menerus berdasarkan dinamika
perbaikan dan kebutuhan konsumen.
SUMBER :
Badan Litbang Pertanian. 2010. Rencana strategis Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta (Indonesia): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Bernaddeta WIR, Warsono IU, Basna A. 2011. Pengembangan babi lokal di lahan
kelapa sawit (palm-pig) untuk
menunjang ketahanan pangan spesifik
lokal Papua. Dalam: Rahayu S, Alimon AR,
Susanto A, Sodiq A, Indrasanti D, Haryoko I, Ismoyowati, Sumarmono J, Muatip K, Iriyanti N, et al., penyunting. Prospek dan Potensi
Sumberdaya Ternak Lokal dalam
Menunjang Ketahanan Pangan Hewani.
Prosiding Seminar Nasional. Purwokerto, 15 Oktober 2011. Purwokerto (Indonesia): UNSOED Press. hlm. 266-270.
BPS. 2014. Statistik Indonesiea: Statistical
yearbook of Indonesia 2014.
Jakarta (Indonesia): Badan Pusat Statistik.
Brickner WA. 2001. Karyotype analysis and chromosome banding. Second article. Encyclopedia
of live science. London (UK):
Nature Publishing Group.
Burton J, Macdonald AA. 2008. Sus celebensis. The
IUCN red list of threatened
species. Version 2014.2. IUCN Global
Species Programme Red List Unit [Internet]. [cited 24 November 2014]. Available from: http://www.iucnredlist.org/details /41773/0
Chamdi AN. 2005. Karakteristik sumberdaya genetik
ternak sapi Bali (Bos-bibos
banteng) dan alternatif pola konservasinya.
Biodiversitas. 6:70-75.
Choi SK, Ji-Eun L, Young-Jun K, Mi-Sook M,
Voloshina I, Myslenkov A, Oh JG,
Tae-hun K, Markov N, Seryodkin
I, et al. 2014. Genetic structure of wild boar (Sus scrofa) populations from East Asia based on microsatellite loci analyses. BMC
Genet. 15:1-10.
Ditjen PKH. 2013a. Statistik peternakan dan
kesehatan hewan 2013. Jakarta
(Indonesia): Direktorat Jenderal Peternakan
dan Kesehatan Hewan.
Ditjen PKH. 2013b. Rencana strategis Direktorat
Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan. Jakarta (Indonesia):
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan.
FAO. 2009. The State of The World’s Animal Genetic Resources for Food and Agricukture.
Rischkowsky B, Pilling D,
editors. Rome (Italy): Commission on Genetic
Resources for Food and Agriculture Food
and Agriculture Organization Of The United Nations.
Gea M. 2009. Penampilan ternak babi lokal periode
grower dengan penambahan
biotetes ”SOZOFM-4” dalam ransum.
Bogor (Indonesia): Institut Pertanian Bogor.
Hardjosubroto W. 2004. Alternatif kebijakan
pengelolaan berkelanjutan sumberdaya genetik sapi potong lokal dalam sistem
perbibitan ternak nasional. Dalam: Setiadi B, Priyanti A, Handiwirawan E,
Diwyanto K, Wijono DB, penyunting. Strategi Pengembangan Sapi Potong dengan
Pendekatan Agribisnis dan Berkelanjutan. Prosiding Lokakarya Nasional Sapi Potong.
Yogyakarta, 8-9 Oktober 2004. Bogor (Indonesia): Puslitbangnak: hlm. 29-34.
Hartatik T, Soewandi BDP, Volkandari SD, Tabun AC, Sumadi.
2014. Identification genetics of lokal pigs, Landrace and Duroc based on
qualitative analysis. In: SUSTAIN. Yogyakarta (Indonesia): Gadjah Mada University.
p. 1-6.
Hartatik T. 2013. Analisis genetika ternak lokal.
Hartatik T, penyunting. Yogyakarta (Indonesia): Universitas Gadjah Mada Press.
Hastiti RD. 2011. Kearifan lokal dalam perburuan
satwa liar Suku Dayak Kenyah, di Taman Nasional Kayan Mentarang, Kalimantan
Timur [Skripsi]. [Bogor (Indonesia)]: Institut Pertanian Bogor.
Hoffman JR, Falvo MJ. 2005. Protein-which is best?
J Sport Sci Med. 3:118-130.
Johns C, Cargill C, Patrick I, Geong M, Johanis.
2010. Budidaya ternak babi komersial oleh peternak kecil di NTT-peluang untuk
integrasi pasar yang lebih baik. Laporan Akhir ACIAR. Canberra (Australia): Australian
Centre for International Agricultural Research.
Kawanishi K, Gumal M, Oliver W. 2008. Sus barbatus.
The IUCN red list of threatened species. Version 2014.2. IUCN Global Species
Programme Red List Unit [Internet]. [cited 24 November 2014]. Available from: http://www.iucnredlist.
org/details/41772/0
Labalut J, Girard N, Jean-Miche A, Bibe B. 2013. Dissemination
of genetic progress: A key aspect of genetic improvement of lokal breeds. Anim
Genet Resour. 53:117-127
Leus K, Macdonald AA. 1997. From babirusa
(Babyrousa babyrussa) to domestic pig: The nutrition of swine. Proc Nutr Soc.
56:1001-1012.
Ligda C, Casabianca F. 2013. Adding value to lokal
breeds: Challenges, strategies and key factors. Anim Genet Resour. 53:107-116.
Macdonald AA, Burton J, Leus K. 2008. Babyrousa babyrussa.
The IUCN red list of threatened species. Version 2014.2. IUCN Global Species
Programme Red List Unit [Internet]. [cited 24 November 2014]. Available from: http://www.iucnredlist.org/details/ 2461/0
Muladno. 2010. Menata perbibitan ternak dalam
menjamin ketersediaan bibit/benih ternak di Indonesia. Orasi Ilmiah Guru Besar
IPB. Bogor (Indonesia): Institut Pertanian Bogor.
Murdiyanto E. 2011. Partisipasi masyarakat dalam pengembangan
desa wisata Karanggeneng, Purwobinangun, Pakem, Sleman. SEPA. 7:91-101.
Oliver W, Leus K. 2008. Sus scrofa. The IUCN red
list of threatened species. Version 2014.2. IUCN Global Species Programme Red
List Unit [Internet]. [cited 24 November 2014]. Available from: http://www.iucnredlist.org/details/
21174/0
Rothschild MF, Ruvinsky A, Larson G, Gongora J,
Cucchi T, Dobney K, Andersson L, Plastow G, Nicholas FW, Moran C, et al. 2011.
The genetics of the pig. 2nd ed. Rothschild MF, Ruvinsky A, editors. London:
CAB International.
Sariubang M, Kaharuddin. 2011. Analisis ekonomi pemeliharaan
ternak babi secara tradisional di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan. J Agrisistem.
7:115-122.
Semiadi G, Meijaard E, Oliver W. 2008. Sus
verrucosus. The IUCN red list of threatened species. Version 2014.2. IUCN
Global Species Programme Red List Unit [Internet]. [cited 24 November 2014].
Available from: http://www.iucnredlist. org/details/21174/0 Siagian PH. 2014.
Pig production in Indonesia. Animal Genetic Resources Knowledge Bank in Taiwan [Internet].
[cited 24 November 2014]. Available from: http://www.angrin.tlri.gov.
tw/English/2014 Swine/p175-186.pdf
Soewandi BDP. 2013. Estimasi output dan
identifikasi gen hormon pertumbuhan di Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali
[Tesis]. [Yogyakarta (Indonesia)]: Universitas Gadjah Mada.
Soewandi BDP, Sumadi, Hartatik T. 2013. Estimasi
output babi di Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Bul Peternak. 37:165172.
Talib C, Naim M. 2012. Grand design pembibitan
kerbau nasional. Dalam: Handiwirawan E, Talib C, Romjali E, Anggraeni A,
Tiesnamurti B, penyunting. Membangun Grand Design Perbibitan Kerbau Nasional.
Prosiding Lokakarya Nasional Perbibitan Kerbau 2012. Bukittingi, 13-15
September 2012. Bogor (Indonesia): Puslitbangnak. hlm. 8-25.
JANGAN LEWATKAN PROMO MENARIK DARI KAMI
ReplyDeleteHUBUNGI KONTAK Kami
BBM : D8E23B5C
WHAT APPS : +85581569708
LINE : togelpelangi
WE CHAT : togelpelangi
LIVE CHAT 24 JAM : WWW-ANGKAPELANGI-NET
Ayo coba keberuntungan anda
jutaan rupiah menunggu anda