Thursday, January 26, 2017

Kebijakan Pengembangan Ternak Babi Lokal di Indonesia


Berdasarkan hasil sensus penduduk yang dilakukan sepuluh tahun sekali diperoleh bahwa penduduk Indonesia berjumlah 237.641.326 orang dan 29.568.464 orang diantaranya adalah non-Muslim atau sebesar 12,44% dari total penduduk Indonesia (BPS 2014). Oleh karena itu, daging babi memiliki potensi sebagai sumber protein hewani bagi sebagian penduduk di Indonesia. Menurut Hoffman & Falvo (2005) konsumsi ideal untuk anak-anak, remaja dan dewasa adalah sebesar 1,5; 1,0 dan 0,8 g protein/kg berat tubuh per hari masing-masingnya.
Di Indonesia, populasi babi terkonsentrasi pada beberapa daerah antara lain di Bali, Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi dan Papua. Penyebaran populasi babi tersebut baik jenis lokal maupun impor dalam lima tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 1 (Ditjen PKH 2013a) dan banyaknya populasi tersebut dapat dijadikan salah satu sumber daging bagi sekitar 13% penduduk Indonesia.
Babi tersebar secara luas di seluruh dunia terdiri dari berbagai bangsa dan delapan spesies, dimana 52 bangsa diantaranya tersebar pada beberapa negara di kawasan Asia Tenggara (FAO 2009). Indonesia memiliki lima spesies babi dari delapan spesies yang ada di dunia (Rothschild et al. 2011). Keberagaman spesies babi yang ada di Indonesia terbukti dengan ditemukannya empat alel yang berbeda dan merupakan jumlah alel mitokondria tertinggi yang telah ditemukan (Choi et al. 2014).

Tabel 1. Populasi Babi di Beberapa Provinsi yang ada di Indonesia Tahun 2009-2013
Sumber : Ditjen PKH (2013)

Rencana strategi Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan untuk tahun 2010-2014, adalah peningkatan populasi ternak babi baik itu ternak babi lokal maupun babi eks impor sebesar 1,15% setiap tahunnya, sehingga jumlah populasi babi di Indonesia mencapai 7.204.768 ekor dan menghasilkan daging sebesar 247.420 ton (Ditjen PKH 2013). Berdasarkan rencana strategis Ditjen PKH, maka pelestarian babi lokal dapat dilakukan dengan cara membatasi jumlah impor babi dan daging babi, mengembangkan ternak babi lokal serta melakukan konservasi untuk mencegah terjadinya kemusnahan berbagai jenis babi lokal.
Kemusnahan babi lokal dapat saja terjadi jika peternak hanya memilih babi impor untuk diternakkan dan mengabaikan babi lokal dan area pemeliharaan babi yang terbatas hanya pada daerah tertentu, karena alasan sosio religius dari masyarakat Indonesia. Babi umumnya dipelihara secara tradisional oleh masyarakat yang memiliki sosio religius non-Islam. Pada suatu daerah di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan menurut Sariubang & Kaharuddin (2011), pemeliharaan babi dilakukan secara tradisional sebesar 50%, semi intensif 45% dan intensif sebesar 5%. Johns et al. (2010) melaporkan di NTT sebagian besar babi diternakkan dengan sistem tradisional yaitu sebesar 85%.  Selain itu penyebab turunnya populasi babi lokal di Indonesia adalah  tingkat perburuan dari masyarakat yang tinggi. Kegiatan perburuan ini dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan protein hewani, obat dan sebagian hasil buruan dijual untuk menambah pendapata. Hastiti (2011) menemukan pada masyarakat suku Dayak Kenyah di Kalimantan Timur adalah kesukaan berburu babi berjanggut (Sus barbatus) untuk dikonsumsi dagingnya dan memanfaatkannya untuk obat sakit perut, dan kuku untuk obat liver, sakit dalam dan pegal-pegal.
Masalah lain yang harus dihadapi dalam pengembangan babi lokal di Indonesia adalah peraturan-peraturan dari pemerintah yang kurang mendukung pengembangan babi lokal dan produktivitas babi lokal yang jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan babi impor. Peraturan-peraturan pemerintah yang berhubungan dengan rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) menjadi masalah untuk pengembangan peternakan babi karena peraturan daerah secara umum tidak mengakomodasi pengembangan peternakan babi di tengah pemukiman. Produktivitas babi Bali yang rendah merupakan masalah yang umum dijumpai, menurut Soewandi (2013) pertambahan berat badan harian (PBBH) babi Bali adalah 0,14±0,05 kg, sedangkan PBBH pada babi impor (Landrace) dapat mencapai 0,24±0,09 kg. Rendahnya produktivitas tersebut membuat para peternak beralih untuk beternak babi impor.
Populasi beberapa bangsa babi lokal diduga terus terjadi penurunan antara lain babi Jawa berkutil (Sus verrucosus), babi Kalimantan (Sus barbatus), babi Sulawesi (Sus celebensis) dan Babirusa (Babyroussa babyrusa) sebagai akibat dari perburuan liar yang dilakukan oleh pemburu. Kemusnahan babi lokal sudah terjadi pada babi Kalimantan, dimana menurut Oliver & Leus (2008); Semiadi et al. (2008); Kawanishi et al. (2008); Burton & Macdonald (2008); Macdonald et al. (2008) dan Hastiti (2011) populasinya sudah berada pada tahap vulnerable sampai endangered yaitu hampir terancam musnah.
Selain masalah kemusnahan, masalah yang dihadapi dalam pengembangannya adalah kurangnya informasi yang dapat digunakan sebagai informasi penting untuk proses pengembangan akibat kurangnya penelitian pada babi lokal. Dalam bidang peternakan, sudah dihasilkan bibit unggul pada domba, kambing, itik dan ayam, tetapi belum dihasilkan bibit unggul babi. Sasaran di bidang peternakan dan veteriner secara nasional telah ditentukan bahwa perlu dibentuk galur unggul sapi, kambing, domba, itik, ayam dan aneka ternak, tetapi tidak disebutkan pembentukan galur unggul babi (Badan Litbang Pertanian 2010).
Berdasarkan masalah-masalah yang dihadapi dalam proses pengembangan ternak babi lokal, maka diperlukan suatu usaha pelestarian bangsa babi lokal yang ada di Indonesia. Pelestarian adalah suatu usaha untuk mencegah kemusnahan agar keragaman plasma nutfah babi lokal di Indonesia tetap terjaga berdasarkan jumlah populasi yang dianjurkan atau effective population size. Babi lokal perlu dilestarikan, karena menurut Labalut et al. (2013) ada dua alasan ternak lokal perlu diperhatikan pelestariannya. Kesatuu, bangsa-bangsa ternak lokal kalah bersaing dengan bangsa ternak impor yang lebih produktif serta sudah tersebar luas dan kedua, program pemuliaan bangsa ternak lokal dalam skala kecil dapat berdampak pada nilai ekonomis yang diperoleh menjadi lebih kecil.
Selain untuk mencegah kemusnahan, pelestarian perlu dilakukan karena sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2011 tentang Sumberdaya Genetik Hewan dan Perbibitan Ternak dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 117 Tahun 2014 tentang Penetapan dan Pelepasan Rumpun atau Galur Hewan. Pada dua aturan tersebut, disebutkan bahwa pelestarian dilakukan pada hewan atau ternak karena merupakan sumberdaya genetik bagi Indonesia dan bahwa sumberdaya genetik hewan atau ternak dikuasai oleh pemerintah. PP Nomor 48 Tahun 2011 telah mengatur penguasaan oleh pemerintah pada hewan atau ternak yang sebaran asli geografisnya lebih dari satu provinsi, status populasinya tidak aman, rasio populasi jantan dan betina tidak seimbang serta habitatnya spesifik.
Berdasarkan permasalahan yang ada dan didukung oleh peraturan hukum yang berlaku maka diperlukan pelestarian babi berbasis peternakan dengan ternak babi lokal sebagai sumber ternaknya agar plasma nutfah babi lokal dapat terjaga kelestariannya. Oleh karena itu, tujuan penulisan ini adalah untuk menunjukkan beberapa jenis babi lokal beserta karakteristiknya serta upaya yang dapat dilakukan untuk pelestarian ternak babi lokal yang ada di Indonesia.

Pelestarian babi lokal dilakukan karena babi lokal memiliki keunggulan dibandingkan dengan babi impor. Muladno (2010) dalam orasi ilmiah pengukuhan guru besar menyatakan bahwa babi lokal di Indonesia memiliki keunggulan dalam kualitas daging yang lebih baik dibandingkan dengan kualitas daging babi Eropa. Keunggulan lain yang dimiliki oleh babi lokal adalah mampu mengkonsumsi limbah rumah tangga seperti yang dikonsumsi oleh babi Bali dan Toraja (Soewandi 2013; Siagian 2014). Kelemahannya adalah pertumbuhan yang lambat dibandingkan dengan babi impor.
Pelestarian babi lokal yang ada di Indonesia adalah salah satu wujud pelestarian kekayaan sumberdaya genetik Indonesia. Kegiatan pelestarian sebenarnya sudah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 35/Permentan/OT.140/8/2006 tentang Pedoman Pelestarian dan Pemanfaatan Sumberdaya Genetik Ternak serta mengatur kegiatan pembudidayaan, pemuliaan, eksplorasi, konservasi dan penetapan kawasan pelestariannya. Oleh karena itu, Chamdi (2005) menyatakan bahwa upaya pelestarian dan pengembangan ternak perlu diperhatikan factor perbaikan genetik ternak.
Solusi pelestarian ternak lokal yang dilakukan di Perancis oleh peternak, pemerintah dan pihak swasta yaitu (Labalut et al. 2013):
1.     Penyiapan ternak jantan unggul secara kolektif untuk dijadikan pejantan yang berasal dari berbagai stasiun pusat breeding  ternak lokal.
2.     Penerapan program breeding  produksi pejantan yang dibutuhkan konsumen pada pusat stasiun breeding  berdasarkan kriteria yang diinginkan seperti sifat kualitas, morfologis dan ketahanan tubuh ternak.
Ada tiga cara pelestarian pada babi lokal yang dapat dilakukan menurut PP Nomor 48 Tahun 2011 adalah dengan cara (1) Menetapkan wilayah budaya dan pengembangan babi lokal wilayah kabupaten/kota; (2) Mempertahankan keberadaan dan kemanfaatan lahan penggembalaan umum untuk budidaya babi lokal; serta (3) Mengembangkan dan meningkatkan produktivitas babi lokal. Pada babi lokal yang telah diternakkan oleh masyarakat, maka pelestarian dilakukan dengan melakukan seleksi dalam rumpun agar kemurnian tetap dipertahankan dan konservasinya melalui usaha perbaikan pengelolaan ternak babi lokal (Chamdi 2005).
Pada babi liar yang ada di Indonesia, cara melestarikannya dapat dilakukan dengan menetapkan wilayah tertentu sebagai kawasan pelestarian dan mempertahankan keberadaan serta kemanfaatan lahan penggembalaan babi. Pelestarian dapat dilakukan apabila sudah ditetapkan kawasan pelestarian karena sampai saat ini belum ada penetapan kawasan tertentu sebagai kawasan pelestarian untuk babi lokal. Berdasarkan pernyataan Hardjosubroto (2004) serta Talib & Naim (2012) bahwa kawasan pelestarian sumber genetik perlu dibentuk dan dipertahankan agar pelestarian dapat berlangsung dengan baik dalam sistem kawin acak. Oleh karena itu, ada beberapa wilayah di Indonesia yang dapat dijadikan wilayah pelestarian antara lain Bali, NTT dan Papua karena sosio budaya masyarakat di sekitarnya. Selain tiga daerah tersebut, pulau-pulau kecil yang belum berpenghuni atau pulau-pulau terluar Indonesia yang berbatasan dengan negara lain dapat juga digunakan sebagai wilayah pelestarian babi lokal secara ekstensif.
Pembuatan kawasan pelestarian pada pulau-pulau kecil tersebut merupakan salah satu cara untuk melestarikan babi-babi lokal yang masih hidup liar. Pembuatan kawasan itu akan menjaga kemurnian bangsa babi lokal. Babi-babi lokal yang masih hidup liar antara lain Sus verrucosus  (Javan warty pig  atau babi Jawa berkutil), Sus barbatus  (bearded pig  atau babi berjanggut Kalimantan), Sus celebensis  (Sulawesi warty pig  atau babi berjanggut Sulawesi) dan Babyroussa babyroussa  (Babirusa).
Berdasarkan Permentan Nomor 117 Tahun 2014 disebutkan bahwa pola pelesatarian lainnya adalah dengan cara membangun dan mengembangkan sistem pembibitan ternak di pedesaan (village breeding center ) pada kawasan yang secara sosio budaya senang pada ternak babi. Pola pembibitan dilakukan dengan mengandalkan swadaya masyarakat, khususnya para peternak babi lokal dengan pola kemitraan yang mengandalkan kerjasama antara perusahaan dengan peternak babi lokal dalam sistem inti-plasma (Chamdi 2005). Dua pola pelestarian dan pengembangan tersebut dapat diterapkan dalam pengembangan bibit babi lokal yang potensial seperti babi lokal yang diternakkan oleh para peternak seperti babi Bali, Timor, Toraja dan lain sebagainya.
Di Indonesia sudah terdapat Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BPTUHPT) Siborong-borong untuk ternak babi dan kerbau di Provinsi Sumatera Utara. BPTU babi ini menurut Siagian (2014) dapat melaksanakan konservasi plasma nutfah untuk tiga babi lokal yaitu babi Nias, Tobassa, Samosir yang di Tapanuli Utara sudah disilangkan dengan babi impor secara massif yang mengancam kepunahan babi lokal. Oleh karena itu, perlu diternakkan adalah ternak babi lokal dengan menerapkan seleksi dalam rumpun untuk meningkatkan produktivitas ternak babi lokal tersebut. Peningkatan produktivitas dapat terjadi secara meluas dan lebih cepat melalui penyebaran semen babi unggul yang dalam pelaksanaannya tetap diawasi oleh pemerintah.

Kegiatan pelestarian babi lokal harus memiliki dampak positif kepada pelaku pelestarian dan pada lingkungan sekitar saat melakukan pelestarian. Kegiatan pelestarian babi lokal ini dapat diintegrasikan dengan kegiatan promosi wisata warisan dan tradisi lokal terkait ternak babi. Kegiatan pelestarian yang diintegrasikan dengan promosi warisan dan tradisi lokal (indigenous/traditional knowledge) akan membantu melestarikan warisan dan tradisi lokal masyarakat sekitar serta menambah penghasilan masyarakat.
Ada tiga strategi yang dapat digunakan untuk menambah nilai ternak lokal agar tidak mengalami kepunahan (Ligda & Casabianca 2013). Untuk ternak babi strategi peningkatan nilai tambah adalah:
1.     Menghubungkan bangsa-bangsa ternak babi lokal dengan produk-produk tradisional dan/atau dengan wisata berbasis agribisnis terkait ternak dan produk babi tersebut.
2.     Promosi bangsa-bangsa ternak babi lokal pada sistem peternakan yang spesifik, seperti produk organik, integrasi dengan komoditas pertanian melalui penerapan input yang rendah pada peternakan skala kecil dan peternakan berbasis hobi.
3.     Memfokuskan strategi umum pada promosi bangsabangsa ternak babi lokal (penjualan, pembuatan regulasi baik daerah maupun pusat, isu-isu organisasi dan peningkatan perhatian umum) agar terbitnya aturan dan kebijakan dalam pengembangan babi lokal.
Pada beberapa daerah di Indonesia ada yang menggunakan babi dalam budaya lokalnya. Di daerah Papua Barat, babi mempunyai nilai budaya dan ekonomi yang penting, yaitu merupakan sarana penting dalam adat istiadat seperti mas kawin, alat denda dalam pelanggaran hukum informal dan lain-lain. Pada berbagai upacara/pesta adat baik bersifat keluarga sendiri ataupun masyarakat desa, ketersediaan masakan daging babi merupakan tambahan nilai sosiologis dalam masyarakat. Selain digunakan dalam berbagai acara adat, babi juga digunakan tabungan keluarga oleh para peternak (Bernaddeta et al. 2011). Berdasarkananalisis ekonomi  sebagai sebuah usaha dengan input produksi rendah, dilaporkan oleh Sariubang & Kaharuddin (2011) bahwa di Kabupaten Tana Toraja peluang untuk pengembangan usaha ternak babi merupakan salah satu cara efisien untuk menjadi sumber pendapatan petani/peternak karena mudahnya proses produksi dan luasnya pemasaran.
Selain di Papua, ada budaya lain di Bali yaitu dibuat babi guling yang digunakan dalam berbagai upacara adat dan kepercayaan (Soewandi 2013). Masyarakat Toraja Utara dalam ritual adat setempat yaitu Rambu Solo dan Rambu Taka melakukan pemotongan ternak khususnya kerbau dan babi dalam jumlah besar (Siagian 2014). Berdasarkan adat budaya lokal yang membutuhkan babi maka babi lokal dapat dijadikan sumber babi dalam acara adat tersebut, sehingga dapat diintegrasikan dengan promosi wisata berbasis agribisnis dan diharapkan mampu menambah pemasukan dari kelompok peternak dan masyarakat sekitar.
Potensi yang ada di daerah tersebut dapat dijadikan sebagai desa wisata yang akan memberikan manfaat secara ekonomis bagi masyarakat sekitarnya. Desa wisata merupakan pengembangan suatu desa dengan memanfaatkan kemampuan faktor-faktor yang ada dalam masyarakat dan desa yang berfungsi sebagai atribut produk wisata menjadi satu rangkaian aktivitas pariwisata yang terpadu dan memiliki tema tertentu sesuai dengan karakteristik desa tersebut (Murdiyanto 2011). Oleh karena itu, dengan adanya budaya yang menggunakan babi sebagai adat-budaya setempat seperti di Papua Barat, Bali dan Toraja Utara maka desa-desa yang berpartisipasi di dalamnya dapat dijadikan desa atau kawasan wisata. Pada konsep desa wisata tersebut dapat diintegrasikan dengan mengusung konsep desa sumber bibit babi lokal (pig village breeding center ) sebagai kawasan yang mendukung desa wisata tersebut. Village breeding center  yang dibentuk ini, tidak dijadikan satu dengan desa wisata tetapi desa lain yang letaknya ada di sekitar desa wisata.
Ada berbagai macam usaha pelestarian dan pengembangan yang dapat dilakukan dalam mendukung terjaganya sumberdaya genetik ternak babi. Pelestarian dan pengembangan yang didasarkan pada peningkatan produksi dan pemasaran harus dapat memberikan keuntungan bagi para pelakunya, memberikan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya dan bagi pelestarian dan perbaikan sumberdaya genetik babi lokal itu sendiri. Proses ini disosialisasikan dan dijalankan secara terus menerus berdasarkan dinamika perbaikan dan kebutuhan konsumen.


SUMBER :
Badan Litbang Pertanian. 2010. Rencana strategis Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta (Indonesia): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Bernaddeta WIR, Warsono IU, Basna A. 2011. Pengembangan babi lokal di lahan kelapa sawit (palm-pig) untuk menunjang ketahanan pangan spesifik lokal Papua. Dalam: Rahayu S, Alimon AR, Susanto A, Sodiq A, Indrasanti D, Haryoko I, Ismoyowati, Sumarmono J, Muatip K, Iriyanti N, et al., penyunting. Prospek dan Potensi Sumberdaya Ternak Lokal dalam Menunjang Ketahanan Pangan Hewani. Prosiding Seminar Nasional. Purwokerto, 15 Oktober 2011. Purwokerto (Indonesia): UNSOED Press. hlm. 266-270.
BPS. 2014. Statistik Indonesiea: Statistical yearbook of Indonesia 2014. Jakarta (Indonesia): Badan Pusat Statistik.
Brickner WA. 2001. Karyotype analysis and chromosome banding. Second article. Encyclopedia of live science. London (UK): Nature Publishing Group.
Burton J, Macdonald AA. 2008. Sus celebensis. The IUCN red list of threatened species. Version 2014.2. IUCN Global Species Programme Red List Unit [Internet]. [cited 24 November 2014]. Available from: http://www.iucnredlist.org/details /41773/0
Chamdi AN. 2005. Karakteristik sumberdaya genetik ternak sapi Bali (Bos-bibos banteng) dan alternatif pola konservasinya. Biodiversitas. 6:70-75.
Choi SK, Ji-Eun L, Young-Jun K, Mi-Sook M, Voloshina I, Myslenkov A, Oh JG, Tae-hun K, Markov N, Seryodkin I, et al. 2014. Genetic structure of wild boar (Sus scrofa) populations from East Asia based on microsatellite loci analyses. BMC Genet. 15:1-10.
Ditjen PKH. 2013a. Statistik peternakan dan kesehatan hewan 2013. Jakarta (Indonesia): Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Ditjen PKH. 2013b. Rencana strategis Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta (Indonesia): Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.
FAO. 2009. The State of The World’s Animal Genetic Resources for Food and Agricukture. Rischkowsky B, Pilling D, editors. Rome (Italy): Commission on Genetic Resources for Food and Agriculture Food and Agriculture Organization Of The United Nations.
Gea M. 2009. Penampilan ternak babi lokal periode grower dengan penambahan biotetes ”SOZOFM-4” dalam ransum. Bogor (Indonesia): Institut Pertanian Bogor.
Hardjosubroto W. 2004. Alternatif kebijakan pengelolaan berkelanjutan sumberdaya genetik sapi potong lokal dalam sistem perbibitan ternak nasional. Dalam: Setiadi B, Priyanti A, Handiwirawan E, Diwyanto K, Wijono DB, penyunting. Strategi Pengembangan Sapi Potong dengan Pendekatan Agribisnis dan Berkelanjutan. Prosiding Lokakarya Nasional Sapi Potong. Yogyakarta, 8-9 Oktober 2004. Bogor (Indonesia): Puslitbangnak: hlm. 29-34.
Hartatik T, Soewandi BDP, Volkandari SD, Tabun AC, Sumadi. 2014. Identification genetics of lokal pigs, Landrace and Duroc based on qualitative analysis. In: SUSTAIN. Yogyakarta (Indonesia): Gadjah Mada University. p. 1-6.
Hartatik T. 2013. Analisis genetika ternak lokal. Hartatik T, penyunting. Yogyakarta (Indonesia): Universitas Gadjah Mada Press.
Hastiti RD. 2011. Kearifan lokal dalam perburuan satwa liar Suku Dayak Kenyah, di Taman Nasional Kayan Mentarang, Kalimantan Timur [Skripsi]. [Bogor (Indonesia)]: Institut Pertanian Bogor.
Hoffman JR, Falvo MJ. 2005. Protein-which is best? J Sport Sci Med. 3:118-130.
Johns C, Cargill C, Patrick I, Geong M, Johanis. 2010. Budidaya ternak babi komersial oleh peternak kecil di NTT-peluang untuk integrasi pasar yang lebih baik. Laporan Akhir ACIAR. Canberra (Australia): Australian Centre for International Agricultural Research.
Kawanishi K, Gumal M, Oliver W. 2008. Sus barbatus. The IUCN red list of threatened species. Version 2014.2. IUCN Global Species Programme Red List Unit [Internet]. [cited 24 November 2014]. Available from: http://www.iucnredlist. org/details/41772/0
Labalut J, Girard N, Jean-Miche A, Bibe B. 2013. Dissemination of genetic progress: A key aspect of genetic improvement of lokal breeds. Anim Genet Resour. 53:117-127
Leus K, Macdonald AA. 1997. From babirusa (Babyrousa babyrussa) to domestic pig: The nutrition of swine. Proc Nutr Soc. 56:1001-1012.
Ligda C, Casabianca F. 2013. Adding value to lokal breeds: Challenges, strategies and key factors. Anim Genet Resour. 53:107-116.
Macdonald AA, Burton J, Leus K. 2008. Babyrousa babyrussa. The IUCN red list of threatened species. Version 2014.2. IUCN Global Species Programme Red List Unit [Internet]. [cited 24 November 2014]. Available from: http://www.iucnredlist.org/details/ 2461/0
Muladno. 2010. Menata perbibitan ternak dalam menjamin ketersediaan bibit/benih ternak di Indonesia. Orasi Ilmiah Guru Besar IPB. Bogor (Indonesia): Institut Pertanian Bogor.
Murdiyanto E. 2011. Partisipasi masyarakat dalam pengembangan desa wisata Karanggeneng, Purwobinangun, Pakem, Sleman. SEPA. 7:91-101.
Oliver W, Leus K. 2008. Sus scrofa. The IUCN red list of threatened species. Version 2014.2. IUCN Global Species Programme Red List Unit [Internet]. [cited 24 November 2014]. Available from: http://www.iucnredlist.org/details/ 21174/0
Rothschild MF, Ruvinsky A, Larson G, Gongora J, Cucchi T, Dobney K, Andersson L, Plastow G, Nicholas FW, Moran C, et al. 2011. The genetics of the pig. 2nd ed. Rothschild MF, Ruvinsky A, editors. London: CAB International.
Sariubang M, Kaharuddin. 2011. Analisis ekonomi pemeliharaan ternak babi secara tradisional di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan. J Agrisistem. 7:115-122.
Semiadi G, Meijaard E, Oliver W. 2008. Sus verrucosus. The IUCN red list of threatened species. Version 2014.2. IUCN Global Species Programme Red List Unit [Internet]. [cited 24 November 2014]. Available from: http://www.iucnredlist. org/details/21174/0 Siagian PH. 2014. Pig production in Indonesia. Animal Genetic Resources Knowledge Bank in Taiwan [Internet]. [cited 24 November 2014]. Available from: http://www.angrin.tlri.gov. tw/English/2014 Swine/p175-186.pdf
Soewandi BDP. 2013. Estimasi output dan identifikasi gen hormon pertumbuhan di Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali [Tesis]. [Yogyakarta (Indonesia)]: Universitas Gadjah Mada.
Soewandi BDP, Sumadi, Hartatik T. 2013. Estimasi output babi di Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Bul Peternak. 37:165172.

Talib C, Naim M. 2012. Grand design pembibitan kerbau nasional. Dalam: Handiwirawan E, Talib C, Romjali E, Anggraeni A, Tiesnamurti B, penyunting. Membangun Grand Design Perbibitan Kerbau Nasional. Prosiding Lokakarya Nasional Perbibitan Kerbau 2012. Bukittingi, 13-15 September 2012. Bogor (Indonesia): Puslitbangnak. hlm. 8-25.

1 komentar:

  1. JANGAN LEWATKAN PROMO MENARIK DARI KAMI

    HUBUNGI KONTAK Kami
    BBM : D8E23B5C
    WHAT APPS : +85581569708
    LINE : togelpelangi
    WE CHAT : togelpelangi
    LIVE CHAT 24 JAM : WWW-ANGKAPELANGI-NET

    Ayo coba keberuntungan anda
    jutaan rupiah menunggu anda

    ReplyDelete