Thursday, January 19, 2017

Bovine Spongiform Encephalopathy (Penyakit Sapi Gila)





Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) atau yang disebut juga mad cow diseade merupakan penyakit yang cukup memberi perhatian saat ini. kejadian penyakit ini sudah meluas ke berbagai negara di dunia dan menjadi perhatian dari Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE). Penyakit ini menjadi penting karena agen penyebab bukan berasal dari mikroorganisme melainkan dari protein yang mengalami mutasi genetic menjadi virulen yang disebut dengan prion.
Kejadian BSE pada ternak biasanya dihubungkan dengan pemberian meat bone meal (MBM) yang mengandung specified risk material (SRM) dari jaringan tubuh hewan. MBM sendiri digunakan untuk meningkatkan asupan protein pada ternak, namun saat ini penggunaannya menjadi ramai dibirakan karena dampak yang ditimbulkannya.
Penyakit BSE telah menimbulkan kerugian besar pada sector peternakan khususnya ternak sapu dimana menimbulkan kasus kematian yang cukup besar. Disamping itu, penyakit ini pula termasuk ke dalam zoonosis karena dapat ditularkan dari hewan ke manusia yang disebut dengan penyakit Creutzfeldt-Jakob Disease (CJD). Penularan terjadi melalui infeksi prion yang masuk ke tubuh manusia melalui konsumsi daging sapi yang terinfeksi BSE. Penularan dari manusia ke manusia pun pernah dilaporkan. Dengan demikian penyakit ini menjadi penting dilihat dari sisi kesehatan masyarakat veteriner.
  
Etiologi
Penyakit sapi gila (Bovine Spongiform Encephalopathy/BSE) adalah penyakit yang disebabkan oleh bahan infeksius yang baru dikenal dan disebut PRION.  Agent penyebab BSE adalah PRION. BSE termasuk salah satu penyakit yg tergolong dalam Transmissible Spongiform Encephalopathy (TSE) yaitu penyakit yg menyerang susunan syaraf pusat dengan gejala histopatologik utama adanya degenerasi spongiosus atau terbentuknya lubang-lubang kosong di dalam sel-sel otak, dapat menular kepada manusia dan menyebabkan penyakit yang dalam istilah kedokteran disebut Subacute Spongiform Encephalopathy (SSE).

Pada awalnya BSE diduga disebabkan oleh “slow virus agent”, dan pada tahun 1982 istilah prion (proteinaseous infectious particles). Sebelumnya, penyakit diduga disebabkan oleh pemberian pakan yang mengandung protein asal ternak. Dan karena penyakit ini belum diketahui penyebabnya, dinamai Transmissible Spongioform Encephalopathy (TSE).
Prion merupakan partikel protein yang bersifat infeksius, tidak mengandung asam nukleat, tahan terhadap faktor atau senyawa (zat) yang merusak asam nukleat, misalnya sinar ultraviolet, radiasi, dan enzim nuclease. Partikel ini dapat muncul dan bereplikasi dengan merubah protein sel normal dan membuatnya menjadi prion. Bandingkan dengan virus yang merupakan kompleks yang terdiri atas genom RNA atau DNA, terbungkus dalam protein kapsid, dengan atau tanpa selubung lipid. Setelah melalu ekstraksi dengan detergen, digesti oleh protease dan nuclease, dengan elektroforesis agarose gel, protein prion diketahui memiliki berat molekul 27-30 kilodalton (kD) dan dikodifikasi sebagai PrP 27-30 penyakit scrapie (PrPsc) 27-30 kD, PrPC9D 27-30 kD.PrPc, protein normal, peka terhadap protease; 33-35 kD. Dalam perbadingan uji lebih lanjut prion dengan berat molekul 27-30 kD ternyata memiliki sifat infeksius. Bila PrPsc bersentuhan dengan PrPc, yaitu protein gen normal tubuh, maka PrPc akan berubah konfigurasinya dan segera membentuk agregat. Bagaimana agregat tersebut berpengaruh terhadap terbentuknya degenerasi sel-sel syaraf belum diketahui secara pasti. Berbeda dengan PrPsc yang resisten terhadap enzim protease , dan mudah larut dalam pelarut yang kuat. PrPc (kode untuk protein sel normal, protein prio cellular) mudah dirusak oleh enzim protease dan gampang larut dalam pelarut protein yang ringan sekalipun. PrPc memiliki berat molekul 33-35 kD. Agen protein prion ditemukan dan dibuktikan oleh Stanley B Prusiner pada tahun 1982 (Subroto, 1991) . Protein sel yang disebut PrPc dinamakan juga PrPres, PrPscr atau PrPtse. Prion dapat menyebabkan beberapa penyakit seperti BSE atau scrapie yang disebabakan oleh strain yang berbeda dari PrPres.
Penyakit prion pada hewan yang telah ditemukan meliputi scarpie (domba), BSE (sapi), transmissible mink encephalopathy (mink), chronic wasting disease atau mad-elk disease (rusa besar atau mink dear dan elk), feline spongioform encephalopathy (kucing) dan exotic myalate encephalopathy (kuda, srigala dan oryx). Penyakit prion pada manusia meliputi kuru cruetzfeld Jordan Disease (CJD), penyakit gerstmann-straussler-sheinker, insomnial familial dan insomnia sporadik yang bersifat fatal.
Prion penyebab BSE, secra klasik memiliki dua jenis tipe berbeda dan keduanya dapat ditemukan pada hewan ternak. Tipe yang pertama memiliki fragmen dengan massa molekul yang tinggi dibandingkan BSE klasik dan dinamakan H-type dan tipe kedua memiliki massa molekul yang lebih rendah yang dinamakan L-type atau Amyloidotic Spongiform Encephalopathy (BASE). Jenis tipe yang berbeda dari BSE merepresentasikan strain dari BSE itu sendiri.
Penyakit BSE umumnya terjadi pada sapi. BSE juga pernah dilaporkan pada domba dan kambing dan pada ruminansia liar seperti bison serta ruminansia liar lainnya. Prion BSE juga dapat menular ke kelompok kucing seperti kucing rumah, cheetah, puma, ocelot dan singa sehingga menyebabkan Feline Spongiform Encephalopathy. Di perancis pernah dilaporkan dua ekor lemur terinfeksi prion. Pada percobaan, prion BSE dapat ditularkan ke tikus coba, mink, marmoset, monyet cynomoglus.
Agen dapat berasal dari jaringan tubuh ternak yang dijadikan pakan ternak atau dikenal sebagai Meat-Bone-Meal ­(MBM). MBM merupakan pengecilan partikel dari bagian organ dan karkas hewan. Proses pengolahan MBM tidak dapat menginaktivasi prion sehingga prion tetap bertahan pada produk tersebut. Pada saat pengolahan MBM, semua bagian karkas yang dapat dikonsumsi digiling dan dilakukan dekomposisi di dalam tangki besar, setelah itu dilakukan perebusan dengan tekanan tinggi sehingga menghasilkan bubur protein di bawah lapisan lemak. Setelah lemak dibuang, bubur protein tersebut dikeringkan dan dijadikan MVM. Setelah itu dikemas dan didistribusikan untuk dijadikan pakan ternak dan juga hewan kebun binatang.

Penularan Penyakit
BSE biasanya ditransmisikan ketika hewan atau manusia memakan jaringan yang mengandung prion BSE. Prion tersebut akan bereplikasi pada Peyer’s patches dari ileum, dan akan menyebar melalui saraf-saraf tepi menuju sistem saraf pusat. Pada ternak, prion dapat terakumulasi di dalam otak setelah 24 bulan ternak terinfeksi BSE. Konsentrasi prion terbesar berada pada susunan saraf pusat dan ileum. Secara alami pada ternak yang terinfeksi, prion BSE akan ditemukan pada otak, sumsum tulang belakang, retina dan ileum bagian distal. Namun dengan teknik uji yang lebih sensitif, prion dapat dideteksi pada dorsal root ganglia, saraf-saraf tepi dan kelenjar adrenal.
Pada beberapa penelitian, prion juga ditemukan di tonsil dan sumsum tulang belakang. Beberapa sumber juga menyebutkan prion dapat ditemukan di jaringan limfatik pada membrane nictitans. Beberapa jaringan bisa mengandung prion setelah lama terinfeksi BSE. Adanya akumulasi prion pada saraf tepid an kelnjar adrenal merupakan penyebab adanya akumulasi prion pada susunan saraf pusat. Prion BSE tidak ditemukan pada otot, namun daging dapat terkontaminasi jaringan saraf pusat pada saat tahap pemotongan dan proses di RPH. Secara bukti epidemiologis dan studi ilmiah, BSE tidak ditransmisikan melalui susu, semen atau embrio.
Penularan BSE dari hewan ke hewan secara horizontal masih belum dapat dibuktikan. Penularan secara vertical dari induk ke anak pun jarang terjadi. Hewan yang masih muda sangat peka terhadap infeksi dan kebanyakan ternak terinfeksi BSE saat umur enam bulan pertama. Transmisi pada domba percobaan menyerupai transmisi pada sapi, tetapi prion lebih tersebar di seluruh tubuh. Pada domba yang diinokulasi secara oral, prion ditemukan pada jaringan limfatik seperti limf, lufonous dan gut-associated lymphoid-tissue (GALT) serta susunan saraf pusat. Transmisi melalui darah (Blood-Borne Transmission) juga terjadi pada domba.
Pada manusia, penyakit variant Creutzfeldt-Jakob Disease (vCJD) diakibatkan oleh termakannya prion BSE. Penyebaran dari manusia ke manusia pernah dilaporkan melalui transfusi darah yang berasal dari pasien yang terinfeksi BSE secara asimptomatis. Transmisi pada manusia juga dapat diakibatkan karena tranplantasi organ. Prion di manusia pada kasus vCJD dapat ditemukan di otak, korda spinalis, dorsal root ganglia, ganglion trigeminalis, retina, nervus opticus, jaringan limfatik, limfonodus di seluruh tubuh, GALT dan sekum.
Masa inkubasi BSE pada sapi 2-8 tahun. Kejadian penyakit ini umumnya pada hewan berumur 4-5 tahun. Pada percobaan yang pernah dilakukan pada domba umur 6 bulan, masa inkubasi BSE berlangsung selama 21-38 bulan. Pada domba berumur dua minggu masa inkubasi berlangsung selama 18-24 bulan. Pada monyet Macaca yang diinfeksikan secara peroral, masa inkubasi berlangsung selama 3-5 tahun.
Masa inkubasi unuk vCJD sangat sulit diperkirakan, namun rata-rata masa inkubasi berkisar antara 11 dan 12 tahun, serta pernah dilaporkan sampai 16 tahun. Pada kasus melalui transfuse darah, masa inkubasi selama 6-8,5 tahun.

Gejala Klinis
Bovine Spongioform Encephalopathy (BSE) merupakan penyakit neurologis yang umumnya bersifat subklinis dan membahayakan pada ternak sapi. BSE dapat dibedakan secara klinis dari gejala neurologik yang khas (Wilesmith et al., 1988; Winter et al., 1989). Gejala klinis umumnya berupa  perubahan  tingkah  laku  dan temperamen berupa mudah terkejut, gugup dan ketakutan (Wilesmith et al., 1988). Kemudian terjadi perubahan postur tubuh dan gerakan, seperti ataksia kaki depan, tremor, mudah terjatuh dan bentuk kepala yang abnormal. Hewan masih dapat makan tetapi sangat cepat kehilangan berat badan dan menunjukan gejala kyposis. Hewan yang terinfeksi akan terlihat sangat peka terhadap suara dan sentuhan, menendang, gerakan berlebihan pada telinga dan menjilat hidung. Gejala ini akan berakhir dengan inkoordinasi, paresis dan paralysis.
Gejala lain yang khas pada BSE adalah sapi aktif berjalan kesana kemari. Pada beberapa hewan terdapat gejala pruritus dimana hewan sering menjilat dan menggosokkan badannya karena gatal. Terdapat pula gejala nonspesifik seperti kelemahan umum, kehilangan bobot badan, menggesekkan antara gigi atas dan bawah (kemungkinan dikarenakan kesakitan pada perut dan gangguan saraf), dan penurunan produksi susu. Muncul juga gejala seperti penurunan aktivitas memamah biak, bradikardia dan aritmia.
Gambaran  klinis  yang  dapat mendiferensiasi BSE adalah peradangan pada CNS akibat infeksi viral dan bakterial (Scott et al., 1990). Namun demikian gejala klinis tersebut  tidak  mampu  mengkonfirmasi diagnosa  terhadap  penyakit  BSE,  karena banyak penyakit lain yang menunjukkan gejala klinis  yang  sama  seperti  keracunan,  infeksi viral dan bakterial.
Gejala klinis BSE lama kelamaan semakin memburuj setelah beberapa minggu sampai enam bulan, namun pernah juda dapat bersifat akut dan langsung menunjukkan keparahan. Sifat akut dan cepat ini terjadi pada ruminansia liar dan hewan liar. Ketika gejala klinis muncul, maka penyakit BSE akan bersifat progresif dan mematikan. Pada tahap akhir gejala, hewan akan lelah, roboh, koma dan mati.

Diagnosa
Encephalopathy adalah kelainan patologis pada jaringan otak yang digambarkan berupa degenerasi dan nekrosis sistem syaraf pusat. Kelainan encephalopathy merupakan salah satu kelainan  patologis   yang   karakteristik  pada kasus penyakit BSE. Berbagai penyebab dapat menimbulkan kelainan encephalopathy, antara lain keracunan organofosfat (Sherman, 1999; Cookson, 2001; Purdey, 1996), milk fever (Forslund et al., 1983), tanaman beracun (Seawright et al., 1998), chronic wasting disease (Stegelmeier, komunikasi pribadi), Kuru dan agen mikroorganisme seperti virus, bakteri  dan  parasit  (Davis   et   al.,   1991). Sedangkan    prion    (PrPsc      maupun    PrPres) merupakan indikator utama untuk menetapkan diagnosa  penyakit  (Hope  et  al.,  1988; Bradley dan Wilesmith, 1993). Dari beberapa kelainan encephalopathy, prion tersebut pernah terdeteksi dari hewan yang mengalami keracunan organofosfat, chronic wasting   disease,   keracunan   tanaman,   milk fever, penyakit Kuru dan CJD (Purdey, 1992).
Penyakit yang disebebkan oleh prion ini sulit untuk didiagnosa menggunakan metode konvensional seperti PCR, serologi dan kultur sel. Hal ini karena prion memiliki struktur protein yang hampir sama dengan protein normal inang sehingga tidak dikenali sebagai benda asing di dalam tubuh. Diagnosa laboratorium untuk penyakit ini juga sulit karena penyebaran prion yang tidak merata di dalam tubuh. Konsentrasi prion yang tinggi di dalam tubuh ditemukan pada sistem syaraf dan konsentrasi pion yang rendah ditemukan pada cairan tubuh seperti darah dan urin.
Sampai saat ini, belum ada uji penyakit BSE pada hewan hidup. Diagnosa penyakit ini hanya bisa dideteksi oleh pemeriksaan otak sapi secara postmortem dengan mendeteksi prion (PrPres) pada jaringan saraf pusat. Akumulasi prion bisa didapatkan dari otak dengan teknik immunohistokimia. Dapat juga dilakukan dengan uji ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) dan Western Blotting. Rapid test dapat dilakukan pada saat surveillance namun membutuhkan jumlah sampel yang banyak untuk diuji. Sampel yang positif pada rapid test dapat dilanjutkan dengan uji konfirmasi yang lebih spesifik seperti pemeriksaan immunohistokimia dan immunoblotting. Diagnosa dari BSE juga dapat dikonfirmasi dengan mengidentifikasi prion fibril yang disebut Scrapie-Associated Fibril (SAF) dengan mikroskop electron pada organ otak baik specimen beku maupun yang sudah autolysis. Prion dapat dideteksi pada otak saat 3-6 bulan setelah masa onset berlangsung.  Berikut adalah beberapa cara untuk mendeteksi penyakit BSE:
1.     Histopatologi dan Imunohistokimia
Metode diagnosa menggunakan histologi atau imunohistokimia tidak hanya mendeteksi keberadaan prion BSE tetapi juga penyebarannya di otak dan jaringan limfoid. Secara histopatologis, otak hewan yang terkena BSE akan mengalami spongiosis. Perluasan astrosit pada jaringan otak dapat dideteksi secara imunohistokimia menggunakan antibody terhadap astrocytic marker protein Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP)
2.     Western Blotting
Deteksi prion terjadi setelah pemisahan sampel oleh elektroforesis dan transfer menuju membrane menggunakan antibodi spesifik PrP dan antibodi sekunder alkali fosfatase-coupled yang menghasilkan chemiluminescence. Hasil positif ditandai dengan keberadaan sinyal PrP-immunoreactive dengan berat molekul rendah dan pola 3-band yang khas.
3.     Serial Protein Misfolding Cyclic Amplification (sPMCA)
Teknik ini merupakan sebuah penelitian yang dipublikasikan pada jurnal Emerging Infectious Disease (2012). Teknik ini digunakan untuk mendeteksi prion PrPsc pada saliva sapi sebelum dan setelah onset penyakit BSE. Sebanyak 3 ekor sapi disuntkan dengan prion BSE lalu diambil salivanya secara teratur dengan interval 4 bulan. Saliva yang diambil dianalisa dengan menggunakan metode sodium phosphotungstic. Setelah itu sampel diamplifikasi sebanyak 3-8 tabung.
Diagnosa secara tentative dapat dilakukan melalui sejarah penyakit atau anamnesa, gejala klinis yang telihat dan adanya atrofi bagian cortex melalui Magnetic Resonance Imaging (MRI) pada otak. Pada tahap awal penyakit pemeriksaan menggunakan Electroencephalogram (EEG) terlihat normal, namun akan terlihat adanya kelainan setelah mencapai tahap berikutnya. Diagnosa secara definitif dapat dilakukan jika prion ditemukan pada biopsy tonsil menggunakan immunoblot (Western Blotting) atau immunohistokimia. Dapat juga dilakukan pemeriksaan mikroskopis pada jaringan otak setelah dilakukan nekropsi. Pada pemeriksaan histopatologi akan banyak ditemukan akumulasi amyloid yang dikeilingi oleh vakuola. Prion akan banyak diteukan disekeliling akumulasi amyloid tersebut dan terlihat dengan teknik pewarnaan immunohistokimia.

Diagnosa Banding
kemungkinan BSE dapat dikelirukan dengan penyakit lain yang menyerang susunan syaraf pusat seperti pada Bovine Encephalitis (Rabies). Keracunan logam berat seperti keracunan Pb juga menyebabkan gejala syaraf seperti pada BSE. Disamping itu terdapat beberapa penyakit metabolis yang juga menyebabkan gejala syaraf seperti nervous ketosis dan hypomagnesaemia.

Patologi
Agen BSE ayang menyerang pusat syaraf menyebabkan degenerasi sel syaraf, dan terbetuk vakuola-vakuola hingga terkesan seperti spons, selain jaringan otak jaringan lain yang dicurigai yang terserang meliputi sum-sum tulang belakang, tonsil, tymus, limpa dan usus, hingga jaringan tersebut dilarang untuk tidak dikonsumsi terutama pada waktu kejadian BSE di Inggris. Dari pemeriksaan pasca mati sakit yang dialami, yang sebelumnya memperlihatkan gejala klinis dan pembuktian secara bioassay pada mencit. Terbukti bahwa agen infeksi hanya ditemukan pada jaringan otak, sum-sum tulang belakang, belakang leher, ujung sum-sum tulang belakang (cauda equine) dan retina (Subroto, 1991).
Dengan adanya proses degenarasi sel-sel syaraf menyebabkan terjadinya inkoordinasi hingga sapi menunjukan gejala gila, lari kesana kemari dan bahkan pada gejala yang lebih berat sapi tidak sanggup untuk bangun (Subroto, 1991).
Tidak terdapat lesi yang spesifik untuk penyakit BSE. Kelainan makroskopis seperti abrasi, laserasi dan kontusio pada otak merupakan perubahan patologis sekunder akibat hewan terinfeksi mengalami inkoordinasi dan gangguan syaraf lokomotor lainnya. Sebaliknya, lesi mikroskopis pada jaringan sistem syaraf pusat merupakan kelainan yang sangat spesifik dan dianggap patognomonis (Hope et al., 1988; Wells et al., 1989). Wells et al (1987) dan Davis et al (1991) melaporkan bahwa kelainan histopatologis ditandai dengan degenerasi pada grey matter batang otak baik secara bilateral maupun simetris yang terdiri dari vakuolisasi dan mikrokavitasi neuropil. Vakuolisasi neuronal perikarya dapat dijumpai pada beberapa inti sel batang otak, khususnya pada bagian dorsal nucleus dari nervus vagus, bentukan retikular dan nuclei vestibular. Gliosis kadang-kadang dapat terlihat pada jaringan otak tersebut.
Tingkat kerusakan jaringan otak bervariasi diantara hewan dan bagian otak yang diperiksa. Lesi pada penyakit BSE sering terjadi pada nucleus tractus yang terpisah (soliter) dan tractus spinal dari syaraf trigeminus. Nuclei tersebut terdapat dalam daerah obex dari medulla oblongata. Sehingga, obex menjadi lokasi pada otak yang sangat penting untuk diagnosis histologis penyakit BSE. Cerebellar pendiculus dan mesencephalon merupakan bagian penting lainnya dari otak untuk melakukan pengamatan histologis terhadap infeksi BSE.
Pada pemeriksaan postmortem, perubahan patologi anatomi tidak dapat terlihat, kecuali perubahan yang tidak spesifik seperti kekurusan. Pada pemeriksaan histopatologi dapat dilihat kelainan pada sistem saraf pusat. Terdapat vakuola pada neuron dan perubahan seperti sponge pada gray matter otak merupakan gambaran khas dari BSE. Dapat juga terlihat adanya akumulasi amyloid namun tidak khas pada penyakit ini. Perubahan seperti sponge pada otak juga terjadi pada domba dan Macaca yang terinfeksi prion.

Patologi anatomi secara umum pada otak terlihat seperti spons atau karet busa (Spongiform encephalopathy). Pada manusia, penderita yang mengalami kematian yang cepat, otak tidak mengalami perubahan makroskopis. Sedangkan pada penderita yang mengalami kematian lambat menunjukkan perubahan penurunan berat otak. Dengan mikroskopik electron, terjadi perubahan otak dalam tiga tingkatan, yaitu :
1.          disebut perubahan Spongiform atau mulai membentuk vakuola berbentuk bulat atau lonjong dengan ukuran kecil 1mm dan paling besar 50mm.
2.        Sel-sel neuron mulai menghilang, kadang-kadang sukar dideteksi apabila kematian cepat terjadi
3.             Hilangnya sel-sel neuron diikuti dengan proliferasi astrosit.

Perubahan histopatologis dan perubahan molekuler dari susunan syaraf pusat menunjukkan sifat yang karakteristik. Dijumpai adanya vakuolisasi pada neuron dari substansi abu-abu (grey matter). Disinilah pembentukan vakuolisasi yang paling menonjol. Pada neuron perikarya juga terjadi pembentukan vakuolisasi grey matter merupakan bentuk vakuolisasi yang paling banyak dijumpai. Hipertropi dari asitrosit sering menemani pembentukan vakuolisasi. Adanya serebral amyloidosis merupakan gambaran normal dijumpai pada penyakit BSE. Banyakya vakuola dijumpai paling banyak pada medulla oblongata disusul pada otak tengah, thalamus, hipotamalamus area septal (Sitepoe, 2000).

Epidemiologi dan Penyebaran Penyakit
Asal mula dari BSE belum banyak diketahui. Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1980, tetapi kemungkinan terjadi pada sapi pada tahun 1970. Dimungkinkn BSE berasal dari mutasi protein PrPc pada tubuh sapi atau berasal dari mutasi prion penyakit scrapie yang mengontaminasi pakan ruminansia. Sumber lain juga memperkirakan BSE berasal dari agen Transmissible Spongiform Encephalopathy (TSE) dari satwa liar atau manusia.
Kasus BSE telah dilaporkan pada hewan ternak hampir seluruh negara di Eropa, Kanada, Amerika Serikat, Israel dan Jepang. Penyakit ini pernah terlihat pada ternak yang diimpor dari Pulau Falkland dan Oman. Keberadaan dari penyakit ini tidak dapat dipastikan dari suatu negara tanpa adanya program surveillance yang memadai. Prion BSE dengan jenis yang berbeda pernah dilaporkan di Eropa, Amerika Serikat dan Jepang.
 Tabel 1. Jumalh Kasus BSE di Beberapa Negara Eropa

Negara
1999
2000
2001
Total Kasus Sejak 1987
Inggris
2254
1311
104
177.798
Perancis
31
162
50
294
Jerman
0
7
44
51
Irlandia
96
156
44
625
Italia
0
0
11
13
Portugis
159
150
34
564
Spanyol
0
2
35
37
Swiss
50
33
3
370

Prevalensi dari kasus BSE sangat bervariasi. Di beberapa negara, tingkat kejadian BSE adalah 100 kasus persejuta sapi, namun berbeda di negara dengan tingkat kejadian rendah yaitu dua kasus persejuta sapi. Epidemic penyakit BSE telah dilaporkan pada beberapa negara di Eropa. Wabah pertama kali muncul di Inggris dimana pada tahun 1980 tercatat 180.000 kasus BSE. Puncak epidemic di Inggris terjadi pada tahun 1992 dengan hampir terjadi 1000 kasus per minggunya. Pada saat itu tingkat insidensi mencapai 2-3%. Setelah dilakukan tindakan pencegahan dengan pelarangan pemberian pakan MBM pada sapi, maka tingkat kejadian menjadi menurun hingga hanya terjadi 5-10 kasus per minggunya pada tahun 2004.
Prevalensi dari CJD tidak diketahui secara pasti. Kebanyakan kasus terjadi pada manusia yang tinggal di Inggris dan Perancis. Pada Agustus 2007, sebanyak 166 kasus CJD dilaporkan di Inggris. Tingkat kejadian penyakit yang cukup besar muncul pada tahun 2000, dimana terdapat 28 kasus dan secara bertahap turun menjadi 5 kasus pertahun di 2005 dan 2006. Pada November 2006, 21 kasus dilaporkan di Perancis, 4 kasus di Irlandia, 3 kasus di Amerika Serikat, 2 kasus di Belanda dam 1 kasus di Kanada, Italia, Jepang, Portugis, Arab Saudi dan Spanyol. Jumlah manusia yang terinfeksi namun bersifat asimptomatis sulit diketahui. Namun perkiraan tingkat kejadian kasus pada manusia di Inggris dengan selang kepercayaan 95% adalah 237 (49692) kasus per juta orang.

Antisipasi Kejadian Penyakit
Pada tahun 1996 hipotesis tentang konsumsi MBM asal sapi terinfeksi penyakit BSE diragukan sebagai penyebab timbulnya penyakit tersebut (Purdey, 1996). Keraguan tersebut didasari karena penggunaan MBM sebagai pakan ternak sebenarnya telah dilarang di Inggris dan Eropa daratan, namun wabah BSE masih tetap timbul dengan kasus kejadian yang cukup tinggi di negara-negara tersebut. Purdey (1996) menambahkan bahwa munculnya penyakit BSE di Inggris disebabkan karena penggunan pestisida golongan organofosfat (phosmet) yang berlebihan untuk mengobati penyakit kulit pada ternak sehingga phthalimide (pestisida golongan OP) pada dosis tinggi dianggap sebagai pemicu utama terjadinya deformasi prion protein yang mengakibatkan terjadinya wabah BSE. Kejadian yang sama juga pernah dilaporkan bahwa pengobatan dermatitis dengan hexachlorophene pada manusia menimbulkan absorpsi pada janin sehingga menimbulkan gejala vacuolar encephalopathy yang mirip dengan BSE (Boothby, 1988). Berdasarkan berita yang disampaikan oleh KOMPAS (2003) bahwa telah terjadi kematian sapi perah sebanyak 400 ekor tanpa diketahui penyebabnya antara bulan Nopember 2002 – Maret 2003 di Lembang, Jawa Barat. Kunjungan lapangan selanjutnya dilakukan pada bulan April 2004 untuk mempelajari penyebab-penyebab kematian sapi perah tersebut. Hasil pengamatan lapangan ternyata hanya 223 ekor sapi perah yang mangalami kematian selama 7 bulan antara September 2002 – Mret 2003 (Dinas Peternakan Jawa Barat, komunikasi pribadi). Sementara itu, 167 ekor sapi lainnya disebabkan karena dipotong paksa. Rangkupan hasil diagnosa yang dilakukan oleh Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat terhadap 223 ekor sapi perah tersebut tertera pada Tabel 2.

     Tabel 2. Hasil diagnosa penyebab kematian sapi perah selama bulan September 2002 Maret 2003*.
Diagnosa
Jumlah kematian (ekor)
Mortalitas (%)
Displasia abomasum
49
21,99
Tympani
36
16,15
Milk fever
29
13,00
Abses
24
10,77
Keracunan
22
9,82
Ketosis
11
4,94
Lain-lain*)
52
23,33
Jumlah
223
100
Keterangan:
*) Termasuk enteritis, gastritis, gastroenteritis, pericarditis dan lain- lain yang masing-masing berjumlah 1 6 ekor.
Data diolah dari Laporan Dinas Peternakan Jawa Barat

Pada Tabel 1 diatas terlihat bahwa dua diantara penyebab kematian sapi tersebut pernah dilaporkan terdeteksi prion penyebab BSE yaitu milk fever dan keracunan (Davis et al., 1991). Sehubungan dengan kasus keracunan tersebut, Indraningsih dan Sani (2006) melakukan studi retrospektif untuk mempelajari penyebab keracunan dengan melakukan koleksi sampel lapangan yang terdiri dari pakan ternak (hijauan dan konsentrat), serum dan jaringan otak.

Pola Pengendalian
Indonesia sampai saat ini masih dinyatakan bebas dari penyakit BSE, akan tetapi Indonesia pernah mengimpor produk MBM dan produk ternak  dari  negara  yang  terinfeksi  penyakit BSE sebelum tahun 1996. Disamping itu, petugas kesehatan hewan di Indonesia belum berpengalaman di dalam mendiagnosa penyakit tersebut. Investistigasi yang mendalam tentang penyakit ini belum pernah dilakukan di Indonesia. Oleh karena perlu mempertimbangkan pola-pola pengendalian penyakit tersebut agar tidak masuk atau tidak berjangkit di Indonesia.
Bovine spongioform encephalopathy dapat didiagnosa berdasarkan gejala klinis dan kelainan-kelainan patologis yang  khas. Dampak penyakit BSE adalah sangat nyata terhadap faktor sosial ekonomi. Meskipun penyakit tidak pernah muncul di Indonesia sampai saat ini; petugas kesehatan hewan, laboratorium kesehatan hewan dan patologis harus memiliki pengalaman tentang gejala- gejala khas dari penyakit tersebut.  Disamping teknik diagnosa yang akurat perlu dikembangkan untuk mengantisipasi penyakit BSE. Beberapa teknologi diagnosa dapat diterapkan untuk mendeteksi penyakit ini, antara lain teknik immunohistochemistry, bioassay, histopatologi, Western blotting dan ELISA (Novakofski et al., 2005). Disamping itu, saat ini sudah tersedia kit diagnostik komersial yang pada umumnya berdasarkan reaksi imunologis (Novakofski et al., 2005).
Untuk mengurangi resiko masuknya penyakit   BSE   ke   Indonesia,   maka   perlu melakukan surveilans dan monitoring penyakit secara komprehensif, melaksanakan pelarangan impor ternak ruminansia hidup, produk ternak dan MBM dari negara-negara yang terinfeksi. Selanjutnya     perlu    dilakukan penyebaran informasi   mengenai   penyakit   BSE   kepada masyarakat   veteriner   dan   industri   ternak ruminansia agar dapat membantu pelaksanaan kegiatan  surveilans  dan  monitoring  penyakit tersebut. Peraturan-peraturan kesehatan harus ditempatkan pada  posisi     utama  dalam mengantisipasi penyakit BSE.

Pencegahan dan Pengobatan
Tidak ada pengobatan untuk penyakit BSE dan hewan yang diduga sakit dapat dieuthanasia untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Pencegahan BSE dapat dilakukan dengan baik memberikan pakan mengandung jaringan ruminansia yang mengandung prion pada hewan rentan. Menghindari pemberian meat-bone-meal (MBM) pada ternak jauh lebih baik dibandingkan melakukan proses pemanasan dan pengecilan partikel protein pada MBM, karena tidak dapat menginaktivasi prion secara keseluruhan.
Kebijakan pelarangan penggunaan pakan ruminansia asal jaringan tubuh ruminansia telah mengurangi kasus BSE secara signifikan. Sehingga perlu dilakukan pelanggaran importasi MBM dan hewan maupun produk hewan dari negara berstatus tidak bebas BSE ke negara bebas BSE. Kegiatan surveillance pada daerah endemis dan memiliki tingkat kejadian tinggi BSE dapat dilakukan secra terprogram dan berkelanjutan sehingga dapat mengurangi angka kejadian kasus BSE secara signifikan.
Perlu dilakukan pengawasan sapi poting di RPH terhadap gejala klinis BSE yang muncul saat pemeriksaan antermortem. Pemeriksaan ini dapat mencegah tersebarnya karkas yang berasal dari sapu yang terinfeksi BSE terdistribusi ke masyarakat sehingg tidak dikonsumsi. Di Inggris, karkas sapi dari hewan terinfeksi BSE tidak boleh dikonsumsi dan dilakukan pengolahan dengan pemansan karkas pada suhu 133°C selama 20 menit. Diperlukan juga pengawasan saat proses pengolahan karkas agar tidak terkontaminasi dengan Specified Risk Materials (SRM) dari penyakit BSE.
Pencegahan BSE dilakukan dengan menerapkan Early Warning Sistem/sistem deteksi dini yaitu antara lain dengan melakukan surveillance pada lokasi yang terdeteksi adanya gejala neurologis pada ternak, program peningkatan kesadaran masyarakat dengan penyulihan, melakukan rapi test setelah pemotongan, melakukan transparansi laporan kasus BSE, pengawasan kebijakan importasi hewan dan produknya sesuai dengan aturan OIE Terrestrial Code, Menghindari kontaminasi Specified risk material (SRM) seperti otak dan sumsum tulang belakang saat prosesing karkas di RPH, melarang penggunaan SRM pada pakan hewan, melakukan Stampin Out pada hewan yang diduga terinfeksi akibat konsumsi pakan mengandung SRM, melakukan pengelolaan limbah RPH dengan baik dan melakukan pendataan ternak untuk mempermudah sistem surveillance dan telusur jika terjadi kasus.
Dikarenakan prion dapat bertahan di lingkungan selama beberapa tahun dan sulit untuk didesinfeksi, maka tindakan pencegahannya adalah menghindari terjadinya kontaminasi pada permukaan dan peralatan. Kertas plastic yang sekali pakai dapat digunakan untuk melindungi meja dan juga area permukaan lainnya. Saat ini masih belum ada vaksin untuk penyakit CJD maupun BSE.
Dekontaminasi dari prn yang berada di jaringan, permukaan dan lingkungan sangat sulit dilakukan. Prion tersebut sangat resisten pada kebanyakan desinfektan (termasuk formalin), pemanasan, radiasi ultraviolet dan radiasi ionisasi. Terutama ketika prion terlindungi oleh materi organic yang diawetkan dengan bahan fiksatif aldehida , titer prion terdeteksi tinggi. Prion dapat terikat dengan kuat pada permukaan suatu bahan seperti stainless steel dan plastik tanpa kehilangan infektivitasnya. Prion yang terikat pada bahan metal memilki resisten yang lebih tinggi terhadap dekontaminasi.
Beberapa senyawa telah diteliti cukup efektif untuk desinfeksi terhadap prion antara lain larutan sodium hidroksida atau larutan sodium hipoklorit yang mengandung klorin 2%. Permukaan harus didesinfeksi lebih dari satu jam pada suhu 20°C. Desinfeksi selama satu hari direkomendasikan untuk peralatan. Perlakuan pembersihan sebelum desinfeksi dapat mengeliminasi materi organic yang dapat melindungi prion.
Saat ini, penanganan menggunakan desinfektan fenol, pembersih alkalis (KOH dengan detergent) dan pembersih enzimatis yang dikombinasikan dengan uap hidrogen peroksida telah terbukti dapat menginaktivasi prion scrapie. Pembersih alkalis dan desinfektan fenol juga efektif terhadap prion BSE dan CJD. Inaktivasi prion secara fisik dapat dilakukan dengan menggunakan autoclave pada suhu 134-138°C selama 10 menit pada 30 lb/in2
Kombinasi antara penangan secara kimiawi dan fisik dapat lebih efektif, dimana desinfeksi secara kimia dilakukan terlebih dahulu setelah itu dibilas dan dilakukan autoclave. Namun kombinasi kedua penanganan ini tidak dapat menjamin untuk mengahancurkan seluruh prion yang ada. Pada percobaan yang telah dilakukan, kawat stainless steel yang dicuci dengan sodium hidroksida dan dilakukan autoclave tetap mengandung prion yang infektif. Peralatan bedah yang dilakukan pembersihan berulang kali pun masih tetap dapat menularkan CJD. Dengan alasan ini, maka dianjurkan untuk menggunakan peralatan yang sekali pakai dibandingkan peralatan yang dicuci untuk beberapa kali pemakaian.
Hewan yang dinyatakan positif BSE oleh uji akan ditindaklanjuti sesuai dengan peraturan negara yang bersangkutan.  Di Irlandia sapi yang positif BSE dan seluruh kawanannya didepolusasi.  Karkas yang terinfeksi dimusnahkan dan kawanan sapi yang didepopulasi dikirim ke pabrik pemotongan khusus. Kohort dan keturunan dari hewan yang positif BSE dilacak dan dimusnahkan.  Produk dari kawanan yang terinfeksi tidak boleh memasuki rantai makanan, baik maunisa maupun hewan.  Semua hewan dan karkas dikirim ke pabrik pengolahan SRMs (perusahaan  pengolahan kategori 1) untuk diproses dan dihancurkan.  Kompensasi akan diberikan kepada peternak untuk seluruh ternak yang terdaftar yang dipotong sesuai dengan harga pasar.  Kegiatan di peternakan yang terinfeksi dibatasi, proses disinfeksi peternakan ditunda dan dilakukan penyelidikan untuk melacak sumber infeksi (DAF 2005).
Belum ada obat maupun vaksin BSE untuk hewan dan manusia.  Semua hewan dan manusia yang tertular prion BSE berakhir dengan kematian apabila gejala klinis telah muncul.  World Organization for Animal Health (WOAH) telah mengeluarkan rekomendasi untuk pencegahan dan pengendalian BSE, diantaranya :
1.     setiap negara memiliki penilaian atau analisis risiko untuk oenyakit BSE
2.     menghilangkan SRMs dari seluruh karkas sapi berumur 12 bulan atau lebih
3.     memperbaiki standar pengolahan produk buangan menggunakan temperature, tekanan dan waktu yang sesuai saat diproses (133°C, 3 bar dan 20 menit)
4.     menghindari kontaminasi silang dari produk buangan
5.     melakukan surveilan secara aktif dan pasif
6.     memusnahkan sapi yang menderita BSE.



Sumber :

Asudomo. 2011. Bovine Spongiform Encephalopathy. British Medical Bulletin (66). Page:267-279

[CDC]. 2012. Encephalopathy Infected Cattle. Emerging Infectious Disease. 18:2091-2092. http//www.cdc.gov/eid/10.320/

Uskens, U. 2001. Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE), Transmissible Spongiform Encephalopathy, Mad Cow Disease. J Environ Sci & Pollut Rest 8:79-83 

DOWNLOAD PDF : BOVINE SPONGIFORM ENCEPHALOPATHY


0 komentar:

Post a Comment