Bovine Spongiform
Encephalopathy (BSE) atau yang disebut juga mad
cow diseade merupakan penyakit yang cukup memberi perhatian saat ini. kejadian
penyakit ini sudah meluas ke berbagai negara di dunia dan menjadi perhatian
dari Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE). Penyakit ini menjadi penting
karena agen penyebab bukan berasal dari mikroorganisme melainkan dari protein
yang mengalami mutasi genetic menjadi virulen yang disebut dengan prion.
Kejadian BSE pada ternak
biasanya dihubungkan dengan pemberian meat
bone meal (MBM) yang mengandung specified
risk material (SRM) dari jaringan tubuh hewan. MBM sendiri digunakan untuk
meningkatkan asupan protein pada ternak, namun saat ini penggunaannya menjadi
ramai dibirakan karena dampak yang ditimbulkannya.
Penyakit BSE telah
menimbulkan kerugian besar pada sector peternakan khususnya ternak sapu dimana
menimbulkan kasus kematian yang cukup besar. Disamping itu, penyakit ini pula
termasuk ke dalam zoonosis karena dapat ditularkan dari hewan ke manusia yang
disebut dengan penyakit Creutzfeldt-Jakob Disease (CJD). Penularan terjadi
melalui infeksi prion yang masuk ke tubuh manusia melalui konsumsi daging sapi
yang terinfeksi BSE. Penularan dari manusia ke manusia pun pernah dilaporkan.
Dengan demikian penyakit ini menjadi penting dilihat dari sisi kesehatan
masyarakat veteriner.
Etiologi
Penyakit sapi gila (Bovine Spongiform
Encephalopathy/BSE) adalah penyakit yang disebabkan oleh bahan infeksius yang
baru dikenal dan disebut PRION. Agent penyebab BSE adalah PRION.
BSE termasuk salah satu penyakit yg tergolong dalam Transmissible
Spongiform Encephalopathy (TSE) yaitu penyakit yg menyerang susunan syaraf
pusat dengan gejala histopatologik utama adanya degenerasi spongiosus atau
terbentuknya lubang-lubang kosong di dalam sel-sel otak, dapat menular kepada
manusia dan menyebabkan penyakit yang dalam istilah kedokteran disebut Subacute
Spongiform Encephalopathy (SSE).
Pada awalnya BSE diduga disebabkan oleh “slow
virus agent”, dan pada tahun 1982 istilah prion (proteinaseous infectious
particles). Sebelumnya, penyakit diduga disebabkan oleh pemberian pakan yang
mengandung protein asal ternak. Dan karena penyakit ini belum diketahui
penyebabnya, dinamai Transmissible Spongioform Encephalopathy (TSE).
Prion merupakan partikel protein yang bersifat
infeksius, tidak mengandung asam nukleat, tahan terhadap faktor atau senyawa
(zat) yang merusak asam nukleat, misalnya sinar ultraviolet, radiasi, dan enzim
nuclease. Partikel ini dapat muncul dan bereplikasi dengan merubah protein sel
normal dan membuatnya menjadi prion. Bandingkan dengan virus yang merupakan
kompleks yang terdiri atas genom RNA atau DNA, terbungkus dalam protein kapsid,
dengan atau tanpa selubung lipid. Setelah melalu ekstraksi dengan detergen,
digesti oleh protease dan nuclease, dengan elektroforesis agarose gel, protein
prion diketahui memiliki berat molekul 27-30 kilodalton (kD) dan dikodifikasi
sebagai PrP 27-30 penyakit scrapie (PrPsc) 27-30 kD, PrPC9D 27-30 kD.PrPc,
protein normal, peka terhadap protease; 33-35 kD. Dalam perbadingan uji lebih
lanjut prion dengan berat molekul 27-30 kD ternyata memiliki sifat infeksius.
Bila PrPsc bersentuhan dengan PrPc, yaitu protein gen normal tubuh, maka PrPc
akan berubah konfigurasinya dan segera membentuk agregat. Bagaimana agregat
tersebut berpengaruh terhadap terbentuknya degenerasi sel-sel syaraf belum
diketahui secara pasti. Berbeda dengan PrPsc yang resisten terhadap enzim
protease , dan mudah larut dalam pelarut yang kuat. PrPc (kode untuk protein
sel normal, protein prio cellular) mudah dirusak oleh enzim protease dan
gampang larut dalam pelarut protein yang ringan sekalipun. PrPc memiliki berat
molekul 33-35 kD. Agen protein prion ditemukan dan dibuktikan oleh Stanley B
Prusiner pada tahun 1982 (Subroto, 1991) . Protein sel yang disebut PrPc dinamakan
juga PrPres, PrPscr atau PrPtse. Prion dapat menyebabkan beberapa penyakit
seperti BSE atau scrapie yang disebabakan oleh strain yang berbeda dari PrPres.
Penyakit prion pada hewan yang telah ditemukan
meliputi scarpie (domba), BSE (sapi), transmissible mink encephalopathy (mink),
chronic wasting disease atau mad-elk disease (rusa besar atau mink dear dan
elk), feline spongioform encephalopathy (kucing) dan exotic myalate
encephalopathy (kuda, srigala dan oryx). Penyakit prion pada manusia meliputi
kuru cruetzfeld Jordan Disease (CJD), penyakit gerstmann-straussler-sheinker,
insomnial familial dan insomnia sporadik yang bersifat fatal.
Prion penyebab BSE, secra klasik memiliki dua
jenis tipe berbeda dan keduanya dapat ditemukan pada hewan ternak. Tipe yang
pertama memiliki fragmen dengan massa molekul yang tinggi dibandingkan BSE
klasik dan dinamakan H-type dan tipe kedua memiliki massa molekul yang lebih
rendah yang dinamakan L-type atau Amyloidotic
Spongiform Encephalopathy (BASE). Jenis tipe yang berbeda dari BSE
merepresentasikan strain dari BSE itu sendiri.
Penyakit BSE umumnya terjadi pada sapi. BSE
juga pernah dilaporkan pada domba dan kambing dan pada ruminansia liar seperti
bison serta ruminansia liar lainnya. Prion BSE juga dapat menular ke kelompok
kucing seperti kucing rumah, cheetah, puma, ocelot dan singa sehingga
menyebabkan Feline Spongiform
Encephalopathy. Di perancis pernah dilaporkan dua ekor lemur terinfeksi
prion. Pada percobaan, prion BSE dapat ditularkan ke tikus coba, mink,
marmoset, monyet cynomoglus.
Agen dapat berasal dari jaringan tubuh ternak
yang dijadikan pakan ternak atau dikenal sebagai Meat-Bone-Meal (MBM). MBM merupakan pengecilan partikel dari
bagian organ dan karkas hewan. Proses pengolahan MBM tidak dapat menginaktivasi
prion sehingga prion tetap bertahan pada produk tersebut. Pada saat pengolahan
MBM, semua bagian karkas yang dapat dikonsumsi digiling dan dilakukan
dekomposisi di dalam tangki besar, setelah itu dilakukan perebusan dengan
tekanan tinggi sehingga menghasilkan bubur protein di bawah lapisan lemak.
Setelah lemak dibuang, bubur protein tersebut dikeringkan dan dijadikan MVM.
Setelah itu dikemas dan didistribusikan untuk dijadikan pakan ternak dan juga
hewan kebun binatang.
Penularan Penyakit
BSE biasanya
ditransmisikan ketika hewan atau manusia memakan jaringan yang mengandung prion
BSE. Prion tersebut akan bereplikasi pada Peyer’s
patches dari ileum, dan akan menyebar melalui saraf-saraf tepi menuju
sistem saraf pusat. Pada ternak, prion dapat terakumulasi di dalam otak setelah
24 bulan ternak terinfeksi BSE. Konsentrasi prion terbesar berada pada susunan
saraf pusat dan ileum. Secara alami pada ternak yang terinfeksi, prion BSE akan
ditemukan pada otak, sumsum tulang belakang, retina dan ileum bagian distal.
Namun dengan teknik uji yang lebih sensitif, prion dapat dideteksi pada dorsal
root ganglia, saraf-saraf tepi dan kelenjar adrenal.
Pada beberapa penelitian, prion juga ditemukan di tonsil dan
sumsum tulang belakang. Beberapa sumber juga menyebutkan prion dapat ditemukan
di jaringan limfatik pada membrane nictitans. Beberapa jaringan bisa mengandung
prion setelah lama terinfeksi BSE. Adanya akumulasi prion pada saraf tepid an
kelnjar adrenal merupakan penyebab adanya akumulasi prion pada susunan saraf
pusat. Prion BSE tidak ditemukan pada otot, namun daging dapat terkontaminasi
jaringan saraf pusat pada saat tahap pemotongan dan proses di RPH. Secara bukti
epidemiologis dan studi ilmiah, BSE tidak ditransmisikan melalui susu, semen
atau embrio.
Penularan BSE dari hewan ke hewan secara horizontal masih
belum dapat dibuktikan. Penularan secara vertical dari induk ke anak pun jarang
terjadi. Hewan yang masih muda sangat peka terhadap infeksi dan kebanyakan
ternak terinfeksi BSE saat umur enam bulan pertama. Transmisi pada domba
percobaan menyerupai transmisi pada sapi, tetapi prion lebih tersebar di
seluruh tubuh. Pada domba yang diinokulasi secara oral, prion ditemukan pada
jaringan limfatik seperti limf, lufonous dan gut-associated lymphoid-tissue (GALT) serta susunan saraf pusat.
Transmisi melalui darah (Blood-Borne
Transmission) juga terjadi pada domba.
Pada manusia, penyakit variant Creutzfeldt-Jakob Disease (vCJD) diakibatkan oleh termakannya prion
BSE. Penyebaran dari manusia ke manusia pernah dilaporkan melalui transfusi
darah yang berasal dari pasien yang terinfeksi BSE secara asimptomatis.
Transmisi pada manusia juga dapat diakibatkan karena tranplantasi organ. Prion
di manusia pada kasus vCJD dapat ditemukan di otak, korda spinalis, dorsal root
ganglia, ganglion trigeminalis, retina, nervus opticus, jaringan limfatik,
limfonodus di seluruh tubuh, GALT dan sekum.
Masa inkubasi BSE pada sapi 2-8 tahun. Kejadian penyakit ini
umumnya pada hewan berumur 4-5 tahun. Pada percobaan yang pernah dilakukan pada
domba umur 6 bulan, masa inkubasi BSE berlangsung selama 21-38 bulan. Pada
domba berumur dua minggu masa inkubasi berlangsung selama 18-24 bulan. Pada
monyet Macaca yang diinfeksikan
secara peroral, masa inkubasi berlangsung selama 3-5 tahun.
Masa inkubasi unuk vCJD sangat sulit diperkirakan, namun
rata-rata masa inkubasi berkisar antara 11 dan 12 tahun, serta pernah
dilaporkan sampai 16 tahun. Pada kasus melalui transfuse darah, masa inkubasi
selama 6-8,5 tahun.
Gejala Klinis
Bovine Spongioform Encephalopathy (BSE)
merupakan penyakit neurologis yang umumnya bersifat subklinis dan membahayakan
pada ternak sapi. BSE dapat dibedakan
secara klinis dari gejala
neurologik yang khas (Wilesmith et al., 1988; Winter et al., 1989). Gejala klinis umumnya berupa
perubahan tingkah laku
dan temperamen berupa mudah terkejut, gugup dan
ketakutan (Wilesmith et al., 1988). Kemudian terjadi perubahan postur tubuh dan gerakan,
seperti ataksia kaki depan,
tremor, mudah terjatuh
dan
bentuk kepala
yang abnormal. Hewan masih dapat makan tetapi sangat cepat kehilangan berat badan dan menunjukan gejala kyposis.
Hewan yang terinfeksi akan terlihat sangat peka terhadap
suara dan sentuhan,
menendang,
gerakan berlebihan pada telinga
dan
menjilat hidung. Gejala ini akan berakhir
dengan inkoordinasi, paresis dan paralysis.
Gejala lain yang khas pada BSE adalah
sapi aktif berjalan kesana kemari. Pada beberapa hewan terdapat gejala pruritus
dimana hewan sering menjilat dan menggosokkan badannya karena gatal. Terdapat
pula gejala nonspesifik seperti kelemahan umum, kehilangan bobot badan,
menggesekkan antara gigi atas dan bawah (kemungkinan dikarenakan kesakitan pada
perut dan gangguan saraf), dan penurunan produksi susu. Muncul juga gejala seperti
penurunan aktivitas memamah biak, bradikardia dan aritmia.
Gambaran
klinis yang
dapat mendiferensiasi
BSE adalah peradangan pada
CNS
akibat infeksi viral dan bakterial (Scott et al., 1990).
Namun demikian
gejala klinis tersebut tidak mampu mengkonfirmasi
diagnosa terhadap penyakit BSE, karena
banyak penyakit lain yang menunjukkan gejala
klinis yang sama seperti
keracunan,
infeksi viral dan bakterial.
Gejala klinis BSE lama kelamaan semakin memburuj setelah
beberapa minggu sampai enam bulan, namun pernah juda dapat bersifat akut dan
langsung menunjukkan keparahan. Sifat akut dan cepat ini terjadi pada
ruminansia liar dan hewan liar. Ketika gejala klinis muncul, maka penyakit BSE
akan bersifat progresif dan mematikan. Pada tahap akhir gejala, hewan akan
lelah, roboh, koma dan mati.
Diagnosa
Encephalopathy
adalah kelainan patologis pada
jaringan otak yang digambarkan
berupa degenerasi dan nekrosis sistem syaraf pusat.
Kelainan encephalopathy merupakan salah satu
kelainan patologis yang
karakteristik pada
kasus penyakit BSE. Berbagai penyebab
dapat menimbulkan kelainan encephalopathy, antara
lain keracunan organofosfat
(Sherman, 1999; Cookson, 2001; Purdey,
1996), milk fever (Forslund et al., 1983), tanaman beracun (Seawright et al.,
1998), chronic wasting
disease (Stegelmeier, komunikasi
pribadi), Kuru dan agen mikroorganisme seperti virus, bakteri
dan parasit
(Davis et al., 1991).
Sedangkan prion
(PrPsc maupun PrPres) merupakan indikator utama untuk menetapkan diagnosa penyakit
(Hope
et
al.,
1988;
Bradley dan Wilesmith,
1993). Dari beberapa kelainan encephalopathy, prion tersebut pernah terdeteksi
dari
hewan yang mengalami keracunan organofosfat,
chronic wasting disease, keracunan
tanaman, milk
fever, penyakit Kuru dan CJD (Purdey,
1992).
Penyakit yang disebebkan oleh prion ini sulit untuk
didiagnosa menggunakan metode konvensional seperti PCR, serologi dan kultur
sel. Hal ini karena prion memiliki struktur protein yang hampir sama dengan
protein normal inang sehingga tidak dikenali sebagai benda asing di dalam
tubuh. Diagnosa laboratorium untuk penyakit ini juga sulit karena penyebaran
prion yang tidak merata di dalam tubuh. Konsentrasi prion yang tinggi di dalam
tubuh ditemukan pada sistem syaraf dan konsentrasi pion yang rendah ditemukan pada
cairan tubuh seperti darah dan urin.
Sampai saat ini, belum ada uji penyakit BSE pada hewan
hidup. Diagnosa penyakit ini hanya bisa dideteksi oleh pemeriksaan otak sapi
secara postmortem dengan mendeteksi prion (PrPres) pada jaringan saraf pusat. Akumulasi
prion bisa didapatkan dari otak dengan teknik immunohistokimia. Dapat juga
dilakukan dengan uji ELISA (Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay) dan Western Blotting.
Rapid test dapat dilakukan pada saat surveillance
namun membutuhkan jumlah sampel yang banyak untuk diuji. Sampel yang
positif pada rapid test dapat
dilanjutkan dengan uji konfirmasi yang lebih spesifik seperti pemeriksaan
immunohistokimia dan immunoblotting. Diagnosa dari BSE juga dapat dikonfirmasi
dengan mengidentifikasi prion fibril yang disebut Scrapie-Associated Fibril (SAF) dengan mikroskop electron pada
organ otak baik specimen beku maupun yang sudah autolysis. Prion dapat
dideteksi pada otak saat 3-6 bulan setelah masa onset berlangsung. Berikut adalah beberapa cara untuk mendeteksi
penyakit BSE:
1.
Histopatologi
dan Imunohistokimia
Metode diagnosa menggunakan histologi
atau imunohistokimia tidak hanya mendeteksi keberadaan prion BSE tetapi juga
penyebarannya di otak dan jaringan limfoid. Secara histopatologis, otak hewan
yang terkena BSE akan mengalami spongiosis. Perluasan astrosit pada jaringan
otak dapat dideteksi secara imunohistokimia menggunakan antibody terhadap
astrocytic marker protein Glial
Fibrillary Acidic Protein (GFAP)
2. Western
Blotting
Deteksi prion terjadi setelah pemisahan
sampel oleh elektroforesis dan transfer menuju membrane menggunakan antibodi
spesifik PrP dan antibodi sekunder alkali
fosfatase-coupled yang menghasilkan chemiluminescence.
Hasil positif ditandai dengan keberadaan sinyal PrP-immunoreactive dengan berat molekul rendah dan pola 3-band yang
khas.
3.
Serial Protein Misfolding Cyclic
Amplification (sPMCA)
Teknik ini merupakan sebuah penelitian
yang dipublikasikan pada jurnal Emerging
Infectious Disease (2012). Teknik ini digunakan untuk mendeteksi prion PrPsc pada saliva sapi
sebelum dan setelah onset penyakit BSE. Sebanyak 3 ekor sapi disuntkan dengan
prion BSE lalu diambil salivanya secara teratur dengan interval 4 bulan. Saliva
yang diambil dianalisa dengan menggunakan metode sodium phosphotungstic. Setelah
itu sampel diamplifikasi sebanyak 3-8 tabung.
Diagnosa secara tentative dapat dilakukan melalui sejarah
penyakit atau anamnesa, gejala klinis yang telihat dan adanya atrofi bagian
cortex melalui Magnetic Resonance Imaging
(MRI) pada otak. Pada tahap awal penyakit pemeriksaan menggunakan Electroencephalogram (EEG) terlihat
normal, namun akan terlihat adanya kelainan setelah mencapai tahap berikutnya.
Diagnosa secara definitif dapat dilakukan jika prion ditemukan pada biopsy
tonsil menggunakan immunoblot (Western
Blotting) atau immunohistokimia. Dapat juga dilakukan pemeriksaan
mikroskopis pada jaringan otak setelah dilakukan nekropsi. Pada pemeriksaan
histopatologi akan banyak ditemukan akumulasi amyloid yang dikeilingi oleh
vakuola. Prion akan banyak diteukan disekeliling akumulasi amyloid tersebut dan
terlihat dengan teknik pewarnaan immunohistokimia.
Diagnosa Banding
kemungkinan BSE dapat dikelirukan dengan penyakit lain yang
menyerang susunan syaraf pusat seperti pada Bovine Encephalitis (Rabies). Keracunan
logam berat seperti keracunan Pb juga menyebabkan gejala syaraf seperti pada
BSE. Disamping itu terdapat beberapa penyakit metabolis yang juga menyebabkan
gejala syaraf seperti nervous ketosis dan hypomagnesaemia.
Patologi
Agen BSE ayang menyerang
pusat syaraf menyebabkan degenerasi sel syaraf, dan terbetuk vakuola-vakuola
hingga terkesan seperti spons, selain jaringan otak jaringan lain yang
dicurigai yang terserang meliputi sum-sum tulang belakang, tonsil, tymus, limpa
dan usus, hingga jaringan tersebut dilarang untuk tidak dikonsumsi terutama
pada waktu kejadian BSE di Inggris. Dari pemeriksaan pasca mati sakit yang
dialami, yang sebelumnya memperlihatkan gejala klinis dan pembuktian secara
bioassay pada mencit. Terbukti bahwa agen infeksi hanya ditemukan pada jaringan
otak, sum-sum tulang belakang, belakang leher, ujung sum-sum tulang belakang
(cauda equine) dan retina (Subroto, 1991).
Dengan adanya proses
degenarasi sel-sel syaraf menyebabkan terjadinya inkoordinasi hingga sapi
menunjukan gejala gila, lari kesana kemari dan bahkan pada gejala yang lebih
berat sapi tidak sanggup untuk bangun (Subroto, 1991).
Tidak terdapat lesi yang spesifik untuk
penyakit BSE. Kelainan makroskopis seperti abrasi, laserasi dan kontusio pada
otak merupakan perubahan patologis sekunder akibat hewan terinfeksi mengalami
inkoordinasi dan gangguan syaraf lokomotor lainnya. Sebaliknya, lesi
mikroskopis pada jaringan sistem syaraf pusat merupakan kelainan yang sangat
spesifik dan dianggap patognomonis (Hope et al., 1988; Wells et al., 1989). Wells
et al (1987) dan Davis et al (1991) melaporkan bahwa kelainan histopatologis
ditandai dengan degenerasi pada grey matter batang otak baik secara
bilateral maupun simetris yang terdiri dari
vakuolisasi dan mikrokavitasi neuropil. Vakuolisasi neuronal
perikarya dapat dijumpai pada beberapa inti sel batang otak, khususnya
pada bagian dorsal nucleus dari nervus vagus, bentukan
retikular dan nuclei vestibular. Gliosis kadang-kadang dapat terlihat pada jaringan
otak tersebut.
Tingkat kerusakan jaringan otak
bervariasi diantara hewan dan bagian otak yang
diperiksa. Lesi pada penyakit BSE sering terjadi
pada nucleus tractus yang terpisah (soliter)
dan tractus
spinal dari syaraf trigeminus. Nuclei tersebut terdapat dalam daerah obex dari medulla
oblongata. Sehingga, obex menjadi lokasi pada otak yang sangat penting
untuk diagnosis histologis penyakit BSE. Cerebellar pendiculus dan
mesencephalon merupakan bagian penting lainnya dari otak untuk melakukan
pengamatan histologis terhadap infeksi BSE.
Pada pemeriksaan postmortem, perubahan
patologi anatomi tidak dapat terlihat, kecuali perubahan yang tidak spesifik
seperti kekurusan. Pada pemeriksaan histopatologi dapat dilihat kelainan pada
sistem saraf pusat. Terdapat vakuola pada neuron dan perubahan seperti sponge pada gray matter otak merupakan gambaran khas dari BSE. Dapat juga
terlihat adanya akumulasi amyloid namun tidak khas pada penyakit ini. Perubahan
seperti sponge pada otak juga terjadi
pada domba dan Macaca yang terinfeksi
prion.
Patologi anatomi secara umum pada otak
terlihat seperti spons atau karet busa (Spongiform
encephalopathy). Pada manusia, penderita yang mengalami kematian yang
cepat, otak tidak mengalami perubahan makroskopis. Sedangkan pada penderita
yang mengalami kematian lambat menunjukkan perubahan penurunan berat otak.
Dengan mikroskopik electron, terjadi perubahan otak dalam tiga tingkatan, yaitu
:
1. disebut
perubahan Spongiform atau mulai
membentuk vakuola berbentuk bulat atau lonjong dengan ukuran kecil 1mm dan paling besar 50mm.
2. Sel-sel
neuron mulai menghilang, kadang-kadang sukar dideteksi apabila kematian cepat
terjadi
Perubahan histopatologis dan perubahan
molekuler dari susunan syaraf pusat menunjukkan sifat yang karakteristik.
Dijumpai adanya vakuolisasi pada neuron dari substansi abu-abu (grey matter). Disinilah pembentukan
vakuolisasi yang paling menonjol. Pada neuron perikarya juga terjadi
pembentukan vakuolisasi grey matter merupakan
bentuk vakuolisasi yang paling banyak dijumpai. Hipertropi dari asitrosit
sering menemani pembentukan vakuolisasi. Adanya serebral amyloidosis merupakan
gambaran normal dijumpai pada penyakit BSE. Banyakya vakuola dijumpai paling
banyak pada medulla oblongata disusul pada otak tengah, thalamus, hipotamalamus
area septal (Sitepoe, 2000).
Epidemiologi dan Penyebaran Penyakit
Asal mula dari BSE belum banyak diketahui. Penyakit ini pertama
kali dilaporkan pada tahun 1980, tetapi kemungkinan terjadi pada sapi pada
tahun 1970. Dimungkinkn BSE berasal dari mutasi protein PrPc pada tubuh sapi
atau berasal dari mutasi prion penyakit scrapie yang mengontaminasi pakan
ruminansia. Sumber lain juga memperkirakan BSE berasal dari agen Transmissible Spongiform Encephalopathy (TSE)
dari satwa liar atau manusia.
Kasus BSE telah dilaporkan pada hewan ternak hampir seluruh negara
di Eropa, Kanada, Amerika Serikat, Israel dan Jepang. Penyakit ini pernah
terlihat pada ternak yang diimpor dari Pulau Falkland dan Oman. Keberadaan dari
penyakit ini tidak dapat dipastikan dari suatu negara tanpa adanya program surveillance yang memadai. Prion BSE
dengan jenis yang berbeda pernah dilaporkan di Eropa, Amerika Serikat dan
Jepang.
Tabel 1. Jumalh Kasus BSE di Beberapa Negara Eropa
Tabel 1. Jumalh Kasus BSE di Beberapa Negara Eropa
Negara
|
1999
|
2000
|
2001
|
Total Kasus Sejak 1987
|
Inggris
|
2254
|
1311
|
104
|
177.798
|
Perancis
|
31
|
162
|
50
|
294
|
Jerman
|
0
|
7
|
44
|
51
|
Irlandia
|
96
|
156
|
44
|
625
|
Italia
|
0
|
0
|
11
|
13
|
Portugis
|
159
|
150
|
34
|
564
|
Spanyol
|
0
|
2
|
35
|
37
|
Swiss
|
50
|
33
|
3
|
370
|
Prevalensi dari kasus BSE sangat bervariasi. Di beberapa negara,
tingkat kejadian BSE adalah 100 kasus persejuta sapi, namun berbeda di negara
dengan tingkat kejadian rendah yaitu dua kasus persejuta sapi. Epidemic
penyakit BSE telah dilaporkan pada beberapa negara di Eropa. Wabah pertama kali
muncul di Inggris dimana pada tahun 1980 tercatat 180.000 kasus BSE. Puncak
epidemic di Inggris terjadi pada tahun 1992 dengan hampir terjadi 1000 kasus
per minggunya. Pada saat itu tingkat insidensi mencapai 2-3%. Setelah dilakukan
tindakan pencegahan dengan pelarangan pemberian pakan MBM pada sapi, maka
tingkat kejadian menjadi menurun hingga hanya terjadi 5-10 kasus per minggunya
pada tahun 2004.
Prevalensi dari CJD tidak diketahui secara pasti. Kebanyakan kasus
terjadi pada manusia yang tinggal di Inggris dan Perancis. Pada Agustus 2007,
sebanyak 166 kasus CJD dilaporkan di Inggris. Tingkat kejadian penyakit yang
cukup besar muncul pada tahun 2000, dimana terdapat 28 kasus dan secara
bertahap turun menjadi 5 kasus pertahun di 2005 dan 2006. Pada November 2006,
21 kasus dilaporkan di Perancis, 4 kasus di Irlandia, 3 kasus di Amerika
Serikat, 2 kasus di Belanda dam 1 kasus di Kanada, Italia, Jepang, Portugis,
Arab Saudi dan Spanyol. Jumlah manusia yang terinfeksi namun bersifat asimptomatis
sulit diketahui. Namun perkiraan tingkat kejadian kasus pada manusia di Inggris
dengan selang kepercayaan 95% adalah 237 (49692) kasus per juta orang.
Antisipasi Kejadian Penyakit
Pada tahun 1996 hipotesis tentang konsumsi
MBM asal sapi terinfeksi penyakit BSE diragukan sebagai penyebab timbulnya penyakit
tersebut (Purdey, 1996). Keraguan tersebut didasari karena penggunaan MBM sebagai
pakan ternak sebenarnya telah dilarang di Inggris dan Eropa daratan, namun wabah BSE
masih tetap timbul dengan kasus kejadian yang cukup tinggi di negara-negara
tersebut. Purdey (1996) menambahkan bahwa munculnya
penyakit BSE di Inggris disebabkan karena penggunan pestisida golongan
organofosfat (phosmet) yang berlebihan untuk mengobati penyakit kulit pada
ternak sehingga phthalimide (pestisida golongan OP) pada dosis tinggi dianggap sebagai
pemicu utama terjadinya deformasi prion protein yang mengakibatkan
terjadinya wabah BSE. Kejadian yang sama juga pernah dilaporkan
bahwa pengobatan dermatitis dengan hexachlorophene pada manusia menimbulkan
absorpsi pada janin sehingga menimbulkan gejala vacuolar
encephalopathy yang mirip dengan BSE (Boothby, 1988).
Berdasarkan berita yang disampaikan oleh KOMPAS (2003) bahwa telah terjadi
kematian sapi perah sebanyak 400 ekor tanpa diketahui penyebabnya antara bulan
Nopember 2002 – Maret 2003 di Lembang, Jawa Barat. Kunjungan lapangan
selanjutnya dilakukan pada bulan April 2004 untuk mempelajari penyebab-penyebab
kematian sapi perah tersebut. Hasil pengamatan lapangan ternyata hanya 223 ekor
sapi perah yang mangalami kematian selama 7 bulan antara September 2002 – Mret
2003 (Dinas Peternakan Jawa Barat, komunikasi pribadi). Sementara itu, 167 ekor
sapi lainnya disebabkan karena dipotong paksa. Rangkupan hasil diagnosa yang dilakukan
oleh Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat terhadap 223 ekor sapi perah tersebut
tertera pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil diagnosa penyebab kematian sapi perah selama bulan September 2002 – Maret
2003*.
Diagnosa
|
Jumlah
kematian (ekor)
|
Mortalitas (%)
|
Displasia abomasum
|
49
|
21,99
|
Tympani
|
36
|
16,15
|
Milk fever
|
29
|
13,00
|
Abses
|
24
|
10,77
|
Keracunan
|
22
|
9,82
|
Ketosis
|
11
|
4,94
|
Lain-lain*)
|
52
|
23,33
|
Jumlah
|
223
|
100
|
Keterangan:
*) Termasuk enteritis, gastritis, gastroenteritis, pericarditis dan
lain- lain yang masing-masing
berjumlah 1 – 6
ekor.
Data diolah dari Laporan
Dinas Peternakan Jawa Barat
Pada Tabel 1 diatas terlihat bahwa dua diantara penyebab
kematian sapi tersebut pernah dilaporkan terdeteksi prion penyebab BSE yaitu
milk fever dan keracunan (Davis et al., 1991). Sehubungan dengan kasus
keracunan tersebut, Indraningsih dan Sani (2006) melakukan studi retrospektif
untuk mempelajari penyebab keracunan dengan melakukan koleksi sampel lapangan
yang terdiri dari pakan ternak (hijauan dan konsentrat), serum dan jaringan
otak.
Pola Pengendalian
Indonesia sampai saat ini masih dinyatakan bebas dari penyakit BSE, akan tetapi Indonesia pernah mengimpor
produk MBM dan produk ternak dari negara
yang terinfeksi penyakit
BSE sebelum tahun 1996. Disamping itu,
petugas kesehatan hewan di Indonesia belum berpengalaman di dalam mendiagnosa penyakit
tersebut. Investistigasi yang mendalam tentang penyakit ini belum pernah dilakukan
di Indonesia. Oleh karena perlu
mempertimbangkan pola-pola pengendalian penyakit tersebut agar tidak masuk atau tidak berjangkit di Indonesia.
Bovine spongioform encephalopathy dapat didiagnosa
berdasarkan gejala klinis dan kelainan-kelainan patologis yang khas.
Dampak penyakit
BSE adalah sangat nyata terhadap faktor sosial ekonomi. Meskipun penyakit tidak pernah muncul
di Indonesia sampai saat ini; petugas
kesehatan hewan, laboratorium
kesehatan hewan dan patologis harus memiliki pengalaman
tentang gejala- gejala khas dari penyakit tersebut. Disamping teknik diagnosa
yang akurat perlu dikembangkan untuk mengantisipasi
penyakit BSE. Beberapa teknologi diagnosa
dapat diterapkan untuk mendeteksi penyakit ini,
antara lain teknik
immunohistochemistry, bioassay, histopatologi,
Western blotting dan
ELISA (Novakofski et al., 2005). Disamping
itu, saat ini sudah tersedia
kit
diagnostik
komersial yang pada umumnya
berdasarkan
reaksi imunologis (Novakofski et al., 2005).
Untuk mengurangi
resiko masuknya
penyakit BSE ke Indonesia, maka perlu
melakukan surveilans dan monitoring penyakit
secara komprehensif, melaksanakan pelarangan impor
ternak ruminansia hidup, produk ternak dan MBM dari negara-negara yang terinfeksi.
Selanjutnya perlu dilakukan
penyebaran
informasi
mengenai penyakit BSE kepada masyarakat veteriner
dan industri ternak
ruminansia agar dapat membantu pelaksanaan
kegiatan surveilans dan
monitoring penyakit
tersebut. Peraturan-peraturan kesehatan harus
ditempatkan pada posisi utama dalam
mengantisipasi penyakit BSE.
Pencegahan dan Pengobatan
Tidak ada pengobatan untuk penyakit BSE
dan hewan yang diduga sakit dapat dieuthanasia untuk dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut. Pencegahan BSE dapat dilakukan dengan baik memberikan pakan
mengandung jaringan ruminansia yang mengandung prion pada hewan rentan.
Menghindari pemberian meat-bone-meal (MBM) pada ternak jauh lebih baik
dibandingkan melakukan proses pemanasan dan pengecilan partikel protein pada
MBM, karena tidak dapat menginaktivasi prion secara keseluruhan.
Kebijakan pelarangan penggunaan pakan
ruminansia asal jaringan tubuh ruminansia telah mengurangi kasus BSE secara
signifikan. Sehingga perlu dilakukan pelanggaran importasi MBM dan hewan maupun
produk hewan dari negara berstatus tidak bebas BSE ke negara bebas BSE.
Kegiatan surveillance pada daerah
endemis dan memiliki tingkat kejadian tinggi BSE dapat dilakukan secra
terprogram dan berkelanjutan sehingga dapat mengurangi angka kejadian kasus BSE
secara signifikan.
Perlu dilakukan pengawasan sapi poting di
RPH terhadap gejala klinis BSE yang muncul saat pemeriksaan antermortem.
Pemeriksaan ini dapat mencegah tersebarnya karkas yang berasal dari sapu yang
terinfeksi BSE terdistribusi ke masyarakat sehingg tidak dikonsumsi. Di
Inggris, karkas sapi dari hewan terinfeksi BSE tidak boleh dikonsumsi dan
dilakukan pengolahan dengan pemansan karkas pada suhu 133°C selama 20 menit.
Diperlukan juga pengawasan saat proses pengolahan karkas agar tidak
terkontaminasi dengan Specified Risk
Materials (SRM) dari penyakit BSE.
Pencegahan BSE dilakukan dengan menerapkan
Early Warning Sistem/sistem deteksi
dini yaitu antara lain dengan melakukan surveillance
pada lokasi yang terdeteksi adanya gejala neurologis pada ternak, program
peningkatan kesadaran masyarakat dengan penyulihan, melakukan rapi test setelah
pemotongan, melakukan transparansi laporan kasus BSE, pengawasan kebijakan
importasi hewan dan produknya sesuai dengan aturan OIE Terrestrial Code, Menghindari kontaminasi Specified risk material (SRM) seperti otak dan sumsum tulang
belakang saat prosesing karkas di RPH, melarang penggunaan SRM pada pakan
hewan, melakukan Stampin Out pada
hewan yang diduga terinfeksi akibat konsumsi pakan mengandung SRM, melakukan
pengelolaan limbah RPH dengan baik dan melakukan pendataan ternak untuk
mempermudah sistem surveillance dan
telusur jika terjadi kasus.
Dikarenakan prion dapat bertahan di
lingkungan selama beberapa tahun dan sulit untuk didesinfeksi, maka tindakan
pencegahannya adalah menghindari terjadinya kontaminasi pada permukaan dan
peralatan. Kertas plastic yang sekali pakai dapat digunakan untuk melindungi
meja dan juga area permukaan lainnya. Saat ini masih belum ada vaksin untuk
penyakit CJD maupun BSE.
Dekontaminasi dari prn yang berada di jaringan,
permukaan dan lingkungan sangat sulit dilakukan. Prion tersebut sangat resisten
pada kebanyakan desinfektan (termasuk formalin), pemanasan, radiasi ultraviolet
dan radiasi ionisasi. Terutama ketika prion terlindungi oleh materi organic
yang diawetkan dengan bahan fiksatif aldehida , titer prion terdeteksi tinggi.
Prion dapat terikat dengan kuat pada permukaan suatu bahan seperti stainless steel dan plastik tanpa
kehilangan infektivitasnya. Prion yang terikat pada bahan metal memilki
resisten yang lebih tinggi terhadap dekontaminasi.
Beberapa senyawa telah diteliti cukup
efektif untuk desinfeksi terhadap prion antara lain larutan sodium hidroksida
atau larutan sodium hipoklorit yang mengandung klorin 2%. Permukaan harus
didesinfeksi lebih dari satu jam pada suhu 20°C. Desinfeksi selama satu hari
direkomendasikan untuk peralatan. Perlakuan pembersihan sebelum desinfeksi
dapat mengeliminasi materi organic yang dapat melindungi prion.
Saat ini, penanganan menggunakan
desinfektan fenol, pembersih alkalis (KOH dengan detergent) dan pembersih
enzimatis yang dikombinasikan dengan uap hidrogen peroksida telah terbukti
dapat menginaktivasi prion scrapie. Pembersih alkalis dan desinfektan fenol
juga efektif terhadap prion BSE dan CJD. Inaktivasi prion secara fisik dapat
dilakukan dengan menggunakan autoclave pada suhu 134-138°C selama 10 menit pada 30 lb/in2
Kombinasi antara penangan secara kimiawi
dan fisik dapat lebih efektif, dimana desinfeksi secara kimia dilakukan
terlebih dahulu setelah itu dibilas dan dilakukan autoclave. Namun kombinasi
kedua penanganan ini tidak dapat menjamin untuk mengahancurkan seluruh prion
yang ada. Pada percobaan yang telah dilakukan, kawat stainless steel yang dicuci dengan sodium hidroksida dan dilakukan
autoclave tetap mengandung prion yang infektif. Peralatan bedah yang dilakukan
pembersihan berulang kali pun masih tetap dapat menularkan CJD. Dengan alasan
ini, maka dianjurkan untuk menggunakan peralatan yang sekali pakai dibandingkan
peralatan yang dicuci untuk beberapa kali pemakaian.
Hewan yang dinyatakan
positif BSE oleh uji akan ditindaklanjuti sesuai dengan peraturan negara yang
bersangkutan. Di Irlandia sapi yang positif BSE dan seluruh kawanannya
didepolusasi. Karkas yang terinfeksi dimusnahkan dan kawanan sapi yang
didepopulasi dikirim ke pabrik pemotongan khusus. Kohort dan keturunan dari
hewan yang positif BSE dilacak dan dimusnahkan. Produk dari kawanan yang
terinfeksi tidak boleh memasuki rantai makanan, baik maunisa maupun
hewan. Semua hewan dan karkas dikirim ke pabrik pengolahan SRMs
(perusahaan pengolahan kategori 1) untuk diproses dan dihancurkan.
Kompensasi akan diberikan kepada peternak untuk seluruh ternak yang terdaftar
yang dipotong sesuai dengan harga pasar. Kegiatan di peternakan yang
terinfeksi dibatasi, proses disinfeksi peternakan ditunda dan dilakukan
penyelidikan untuk melacak sumber infeksi (DAF 2005).
Belum ada obat maupun
vaksin BSE untuk hewan dan manusia. Semua hewan dan manusia yang tertular
prion BSE berakhir dengan kematian apabila gejala klinis telah muncul.
World Organization for Animal Health (WOAH) telah mengeluarkan rekomendasi
untuk pencegahan dan pengendalian BSE, diantaranya :
1.
setiap negara memiliki penilaian atau analisis risiko untuk
oenyakit BSE
2.
menghilangkan
SRMs dari seluruh karkas sapi berumur 12 bulan atau lebih
3.
memperbaiki
standar pengolahan produk buangan menggunakan temperature, tekanan dan waktu
yang sesuai saat diproses (133°C, 3 bar dan 20 menit)
4.
menghindari
kontaminasi silang dari produk buangan
5.
melakukan
surveilan secara aktif dan pasif
6.
memusnahkan
sapi yang menderita BSE.
Asudomo.
2011. Bovine Spongiform Encephalopathy.
British Medical Bulletin (66). Page:267-279
[CDC].
2012. Encephalopathy Infected Cattle.
Emerging Infectious Disease. 18:2091-2092. http//www.cdc.gov/eid/10.320/
Uskens,
U. 2001. Bovine Spongiform Encephalopathy
(BSE), Transmissible Spongiform
Encephalopathy, Mad Cow Disease. J Environ Sci & Pollut Rest 8:79-83
DOWNLOAD PDF : BOVINE SPONGIFORM ENCEPHALOPATHY
0 komentar:
Post a Comment