Penyakit
Strategis
Penggolongan Penyakit Hewan Menular sebagai PHM strategis ditentukan berdasarkan tiga kriteria. Ketiga
kriteria tersebut berkaitan dengan dampak eksternalitas dari penyakit tersebut,
yaitu berkaitan dengan aspek ekonomi, politik dan strategis. Pertimbangan ekonomi
meliputi seberapa jauh PHM tersebut mengganggu produktivitas dan reproduktivitas ternak,
serta apakah ia dapat mengakibatkan gangguan perdagangan. Aspek politis
dipertimbangkan apabila munculnya PHM tersebut mengakibatkan keresahan
masyarakat, misalnya karena ia bersifat zoonosis. Selanjutnya, pertimbangan strategis
antara lain karena tingginya angka mortalitas, penyebaran penyakit yang cepat antar
daerah/kawasan sehingga membutuhkan pengaturan serta pengawasan lalu-lintas ternak
dan produknya (Putra, 2006).
Penyakit
hewan menular strategis secara nasional (Keputusan Dirjen Peternakan Th.
1997) ada 11 (sebelas) jenis dan telah ditambah 2 jenis lagi oleh komisi ahli
Keswan, adalah sebagai berikut:
1. Rabes
2.
Brucellosis
3.
Anthrax
4.
Jembrana
5.
Bovine Viral
Diarrhae (BVD)
6.
Septicemia
Epizootica (SE)
7.
Infectious Bovine
Rinotracheitis (IBR)
8.
Clasical Swine
Fever (Hog Cholera)
9.
Newcastle Disease
10.
Infectious Bursal
Disease
11.
Salmonellosis
12.
Trypanosomiasis
13.
Avian Influenza
(AI)
Dua penyakit terakhir (nomor
12 dan 13) merupakan tambahan yang diusulkan oleh Komisi Ahli Kesehatan Hewan. Berdasarkan
peraturan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan No 977/Kpts/PD 610/F/11/2011
tanggal 22 November 2011, dalam program pengendalian dan pemberantasan penyakit
hewan menular di tingkat nasional, terdapat 5 (lima) jenis penyakit hewan
menular strategis yang perlu mendapat prioritas dan perhatian khusus dalam
rangka mendukung program nasional peternakan dan kesehatan hewan. Kelima jenis penyakit tersebut
adalah
1) Penyakit keluron menular (Brucellosis) pada sapi potong atau sapi perah
2) Penyakit radang limpa (Antrax) pada ruminansia ;
3) Penyakit sampar babi (Hog Cholera);
4) Penyakit anjing gila (Rabies);
5) Penyakit influenza unggas (Avian Influenza)
Hog
Cholera
Hog Cholera (HC) atau
Classical swine fever adalah penyakit viral pada babi yang sangat ganas dan sangat menular. Penyakit ini dikenal sebagai
penyakit yang paling merugikan pada babi sehingga sangat ditakuti terutama oleh peternak babi. Sebelum tahun 1995, HC tidak ditemukan di Indonesia. Bebasnya
Indonesia dari penyakit ini dikukuhkan oleh Surat keputusan Menteri pertanian
No 81 /Kpts/TN . 560/1/1994 tanggal 31 Januari 1994. Akan tetapi, tidak lama
setelah surat keputusan tersebut dikeluarkan wabah yang diduga keras HC terjadi
di Indonesia. Pada bulan Maret 1995 terjadi wabah penyakit babi di lokasi
peternakan Kapuk Jakarta .
Gejala klinis dan kelainan patologi pada babi penderita sangat khasuntuk penyakit tersebut Sejak kejadian di Kapuk, wabah penyakit telah menyebar ke berbagai pulau di Indonesia. Virus Hog Cholera termasuk genus Pestivirus yang termasuk dalam family Flavivirdae, berbentuk bundar dengan diameter berkisar antara 40-50 nm, mempunyai nucleocapsid berbentuk hexagonal berukuran sekitar 29 nm, dan mengandung material genetik RNA berbentuk single stranded dan polarity positip (Horzinek, 1981). Secara immunologis dan genetis, virus HC mempunyai kesamaan yang sangat dekat dengan virus Bovine viral diarrhoea (BVD), kedua virus ini adalah anggota dari genus Pestivirus. Virus BVD selain patogen pada sapi, kadang kadang dapat pula menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada babi (Terpstradan dan Wensvoort, 1988). Kedua virus mempunyai susunan genom dan protein yang sama, keduanya mempunyai kesamaan sequence asam nukleat sebesar 66% dan asam amino sebesar 85% (Meyers et al ., 1989; Ru-Menapf, 1990). Karena persamaan yang banyak tersebut, diagnosis definitif HC sering sulit ditegakkan dengan hanya menggunakan antibody poliklonal. Berdasarkan uji cross neutralisasi, virus HC hanya dikenal satu serotype saja. Hal ini sangat memudahkan vaksinasi, karena untuk memulai suatu program vaksinasi tidak perlu dilakukan serotiping terlebih dahulu. Sekalipun virus HC hanya dikenal satu serotype saja, pengelompokan virus berdasarkan type antigen atau perbedaan sequence RNA masih mungkin dilakukan. Pengelompokan ini sangat bermanfaat dalam investigasi epidemiologis, misalnya dalam melacak asal virus dalam suatu wabah. Dengan menggunakan dua panel antibodi monoclonal (12 jenis antibodi monoklonal untuk glycoprotein El dan 11 jenis untuk E2), (Kosmidou et al., 1995) berhasil mengelompokkan 126 strain atau isolat virus HC menjadi 21 type antigenik. Selain menggunakan panel antibodi monoklonal, pengelompokan isolate dapat pula dibuat berdasarkan perbedaan sequencing produk reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR). Berdasarkan cara yang terakhir ini, Lowings et al., (1994) mengelompokkan 8 isolat kedalam 3 kelompok. Pengelompokan dengan cara yang terakhir ini dianggap jauh lebih bermanfaat dari cara yang pertama (antibody monoklonal).
Berdasarkan virulensinya, virus HC dapat dibagi menjadi tiga kelompok yakni virus dengan virulensi tinggi, virulensi sedang dan virulensi rendah. Akan tetapi pengolompokan virus berdasarkan virulensi ini kadang-kadang sangat sulit dilakukan karena virus yang biasanya mempunyai virulensi rendah kadang-kadang dapat juga menimbulkan penyakit yang parah (Dahle dan Liess, 1995). Disamping itu, virulensi HC kemungkinan juga bukan sifat yang permanen karena kenaikan virulensi dapat terjadi setelah pasasi virus pada babi (Dunne, 1975). Virus HC termasuk virus yang resisten terhadap lingkungan yang buruk. Akan tetapi viabilitasnya sangat tergantung pada media dimana virus tersebut berada. Pada media yang sederhana seperti supernatan kultur sel, virus dapat diinaktivasi dengan pemanasan pada suhu 56°C selama 1 jam, atau pada suhu 60°C selama 10 menit, sedangkan dalam darah yang didefibrinasi infektivitas virus masih bertahan setelah mengalami pemanasan selama 1 jam pada suhu 64°C atau selama 30 menit pada suhu 68° C. Virus juga stabil dalam kisaran pH yang panjang (antara pH 4 – pH 11). Karena selubung atau envelopenya mengandung lipid, virus sangat rentan terhadap pelarut lemak seperti ether, chloroform, dan detergent seperti desoxycholate, nonidet P40 dan saponin (Terpstra, 1991).
Gejala klinis dan kelainan patologi pada babi penderita sangat khasuntuk penyakit tersebut Sejak kejadian di Kapuk, wabah penyakit telah menyebar ke berbagai pulau di Indonesia. Virus Hog Cholera termasuk genus Pestivirus yang termasuk dalam family Flavivirdae, berbentuk bundar dengan diameter berkisar antara 40-50 nm, mempunyai nucleocapsid berbentuk hexagonal berukuran sekitar 29 nm, dan mengandung material genetik RNA berbentuk single stranded dan polarity positip (Horzinek, 1981). Secara immunologis dan genetis, virus HC mempunyai kesamaan yang sangat dekat dengan virus Bovine viral diarrhoea (BVD), kedua virus ini adalah anggota dari genus Pestivirus. Virus BVD selain patogen pada sapi, kadang kadang dapat pula menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada babi (Terpstradan dan Wensvoort, 1988). Kedua virus mempunyai susunan genom dan protein yang sama, keduanya mempunyai kesamaan sequence asam nukleat sebesar 66% dan asam amino sebesar 85% (Meyers et al ., 1989; Ru-Menapf, 1990). Karena persamaan yang banyak tersebut, diagnosis definitif HC sering sulit ditegakkan dengan hanya menggunakan antibody poliklonal. Berdasarkan uji cross neutralisasi, virus HC hanya dikenal satu serotype saja. Hal ini sangat memudahkan vaksinasi, karena untuk memulai suatu program vaksinasi tidak perlu dilakukan serotiping terlebih dahulu. Sekalipun virus HC hanya dikenal satu serotype saja, pengelompokan virus berdasarkan type antigen atau perbedaan sequence RNA masih mungkin dilakukan. Pengelompokan ini sangat bermanfaat dalam investigasi epidemiologis, misalnya dalam melacak asal virus dalam suatu wabah. Dengan menggunakan dua panel antibodi monoclonal (12 jenis antibodi monoklonal untuk glycoprotein El dan 11 jenis untuk E2), (Kosmidou et al., 1995) berhasil mengelompokkan 126 strain atau isolat virus HC menjadi 21 type antigenik. Selain menggunakan panel antibodi monoklonal, pengelompokan isolate dapat pula dibuat berdasarkan perbedaan sequencing produk reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR). Berdasarkan cara yang terakhir ini, Lowings et al., (1994) mengelompokkan 8 isolat kedalam 3 kelompok. Pengelompokan dengan cara yang terakhir ini dianggap jauh lebih bermanfaat dari cara yang pertama (antibody monoklonal).
Berdasarkan virulensinya, virus HC dapat dibagi menjadi tiga kelompok yakni virus dengan virulensi tinggi, virulensi sedang dan virulensi rendah. Akan tetapi pengolompokan virus berdasarkan virulensi ini kadang-kadang sangat sulit dilakukan karena virus yang biasanya mempunyai virulensi rendah kadang-kadang dapat juga menimbulkan penyakit yang parah (Dahle dan Liess, 1995). Disamping itu, virulensi HC kemungkinan juga bukan sifat yang permanen karena kenaikan virulensi dapat terjadi setelah pasasi virus pada babi (Dunne, 1975). Virus HC termasuk virus yang resisten terhadap lingkungan yang buruk. Akan tetapi viabilitasnya sangat tergantung pada media dimana virus tersebut berada. Pada media yang sederhana seperti supernatan kultur sel, virus dapat diinaktivasi dengan pemanasan pada suhu 56°C selama 1 jam, atau pada suhu 60°C selama 10 menit, sedangkan dalam darah yang didefibrinasi infektivitas virus masih bertahan setelah mengalami pemanasan selama 1 jam pada suhu 64°C atau selama 30 menit pada suhu 68° C. Virus juga stabil dalam kisaran pH yang panjang (antara pH 4 – pH 11). Karena selubung atau envelopenya mengandung lipid, virus sangat rentan terhadap pelarut lemak seperti ether, chloroform, dan detergent seperti desoxycholate, nonidet P40 dan saponin (Terpstra, 1991).
Epidemiologi Penyakit
Berdasarkan data OIE dari
bulan Januari 1991 sampai September 1994, HC terdapat diseluruh dunia kecuali
Amerika Utara. Sebagian besar wabah terjadi di Asia terutama Cina, India dan negara negara
Asia Tenggara. Di Eropa, kasus HC terbanyak tedapat di Jerman (Kramer et al., 1995). Kejadian di
Indonesia wabah Hog cholera pertama kali terjadi di Sumatera pada bulan januari
1995, namun kasus baru dikonfirmasi pada bulan mei 1995. Penyakit ini telah
tersebar di 8 kabupaten, yakni kabupaten Deli serdang, Karo, Dairi, Simalungun,
Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Nias, dan Toba Samosir. Oleh karena pada bulan April
1995 terjadi pula wabah di peternakan Kapuk, Jakarta setelah ada pemasukan 350 ekor
babi dari Sumatera Utara. Demikian pula terjadinya wabah di berbagai daerah di
Indonesia erat kaiannya dengan pemasukan babi dari daerah tertular.
Perdagangan ternak babi dan produknya antar daerah atau pulau yang
tidak memperhatikan prosedur karantina berdampak serius terhadap keamanan
kesehatan ternak di daerah. Sebagai konsekuensinya dampak social ekonomi menjadi
sangat besar. Daerah-daerah di Indonesia yang telah tertular hog cholera adalah
Sumatera Barat, Riau, DKI, Jakarta, Jawa barat, Jawa tengah, Jawa Timur, Kalimantan
Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Bali, dan Nusa Tenggara Timur
(Santhia, 2009). Di Propinsi Bali, penyakit pertama kali dilaporkan di Desa Sesetan
Denpasar Selatan Kota denpasar Pada bulan Oktober 1995 dalam waktu 3 bulan
penyakit dengan cepat menyebar ke kabupaten lainnya (Santhia, 2009). Di Propinsi NTB
sampai saat ini belum pernah ditemukan kasus klinik, tetapi secara serologik
dideteksi adanya antibodi virus HC di pulai Lombok (Santhia, 2009). Di Propinsi nusa
Tenggara Timur (NTT), kasus pertama kali terjadi di Desa Petawang dan
Wanga, Kabupaten Sumba Timur pada bulan juni 1997, tidak diketahui dengan pasti
asal sumber penularan penyakit tersebut, tetapi penaykit diketahui dengan cepat
menyebar. Di Kabupaten Sumba barat juga dilaporkan pada tahun 1998. Selajunya pada
bulan agustus 1998 kasus hog cholera dilaporkan di Desa Tarus, kabupaten Kupang,
setelah itu penyakit dengan cepat menyebar ke kabupaten lainnya di NTT, Sikka,
Timor Tengah Utara (TUU), Kote Kupang, Alor, dan Rote Ndao (Santhia, 2009).
Semua jenis atau ras babi
rentan terhadap Hog cholera. Pada babi peliharaan hampir 50% kasus ini terjadi pada babi
penggemukan, 15% babi pembibitan dan lebih dari 20% kelompok babi campuran. Telah dilaporkan
pula bahwa faktor keturunan tampaknya berpengaruh terhadap tingkat infeksi
virus Hog cholera. Pada saat wabah HC terjadi di provinsi bali pada bulan
Oktober-desember 1995, babi landrace terlihat lebih banyak terserang dibandingkan
babi saddleback dan babi local (Santhia, 2009).
Babi dari semua umur rentan
terhadap Hog cholera. Anak-anak babi yang berumur 4-5 minggu dan berasal dari
induk yang sebelumnya pernah divaksinasi dengan virus ganas ternyata relatif
lebih kebal dibandingkan dengan anak-anak babi yang lahir dari induk yang telah
divaksinasi dengan virus vaksin yang telah dilemahkan. Hal ini kemungkinan
kerena antibodi maternal dari anak babi setelah umur tersebut sangat rendah dan
tidak cukup untuk melindungi dari infeksi virus HC ganas berikutnya. Babi
landrace kelompok umur kurang dari 2 bulan yang terserang virus HC menunjukkan
prevalensi yang sangat lebih tinggi (88,2%) dibandingkan kelompok umur 2-5
bulan dan lebih dari 8 bulan (Santhia, 2009).
Cara Penularan
Babi adalah satu-satunya
induk semang alami virus HC, oleh karena itu babi penderita merupakan sumber
penularan yang terpenting. Virus masuk ke dalam tubuh babi biasanya melalui
rute oronasal. Cara penularan bisa dengan kontak langsung ataupun tidak
langsung. Penularan bisa secara horizontal ataupun vertikal, yakni dari induk
kepada fetus yang dikandung.
1. Penularan Secara Langsung
Penularan dari babi yang
sakit atau carrier ke babi yang sehat merupakan cara penularan yang paling
sering terjadi. Wabah penyakit sering diawali dengan pemasukan babi baru dari
daerah atau peternakan yang tertular HC. Babi yang sakit menyebarkan virus
terutama melalui sekresi oronasal dan lakrimal (Ressang, 1973). Jumlah atau
konsentrasi virus dalam sekresi tersebut dan lamanya babi mengeluarkan virus
tergantung kepada virulensi virus. Babi yang terinfeksi oleh virus yang virulen
akan mengeluarkan virus kedalam lingkungan sebelum timbul gejala klinis sampai
babi mati atau sampai terbentuk antibody bagi babi yang bertahan hidup.
Sedangkan babi yang terinfeksi oleh virus yang virulensinya sedang ataupun
rendah biasanya mengeluarkan virus dalam jumlah yang lebih rendah dan dalam
kurun waktu yang lebih pendek. Oleh karena itu, strain virus yang virulen
biasanya menularnya lebih cepat dan menimbulkan morbiditas yang jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan strain yang kurang virulen (Terpstra, 1991).
2. Penularan Secara Tidak Langsung
Karena virus HC cukup
resisten terhadap lingkungan yang kurang menguntungkan diluar induk semang,
penularan dengan cara tidak langsung juga sering terjadi. Virus HC dapat
bertahan dalam waktu yang lama dalam daging babi dan beberapa produk olahannya,
terutama dalam keadaan dingin atau beku. Masuknya HC ke negara atau daerah yang
bebas HC sering akibat impor daging babi atau produknya ke negara atau daerah
tersebut. Wabah HC bisa terjadi apabila babi diberi makan dengan sisa dapur
yang mengandung daging babi tercemar tersebut tanpa dimasak terlebih dahulu.
Cara penularan melalui sisa dapur ini sering terjadi. Hasil survei menunjukkan
bahwa sekitar 22% dari semua wabah yang terjadi di USA pada tahun 1973 terjadi
dengan cara seperti ini (Dunne, 1975). Kejadian serupa juga terjadi di Inggris.
Setelah negara ini dinyatakan bebas dari HC tahun 1966, terjadi dua kali
gelombang wabah di negeri ini, yakni tahun 1971 dan 1986. Kedua gelombang wabah
tersebut diketahui akibat impor produk daging babi yang tercemar virus HC
(Williams dan Matthews, 1988). Wabah terjadi setelah babi diberi makan dengan
sisa dapur yang mengandung produk daging babi tercemar tersebut.
Strategi Pengendalian Penyakit
Pada umumnya dikatakan bahwa penyakit pada
ternak babi disebabkan oleh infeksi, dan ternak yang terjangkit akan
memperlihatkan tanda-tanda klinis. Para ahli penyakit ternak khususnya ternak
babi menyadari bahwa problematika penyakit adalah sangat bervariasi penyebab
dan permasalahannya. Kenyataannya telah disepakati bahwa mengetahui atau
mempelajari penampilan produksi ternak babi seperti effisiensi dan konversi
makanan (ekm) serta pertambahan berat badan (pbb) adalah lebih sensitive dan
signifikan, sebagai indikator ternak terjangkit oleh penyakit, dibandingkan
dengan mempelajaro tanda-tanda klinis dari penyakit yang ada pada ternak babi
tersebut. Karena, perununan penampilan produksi ternak babi disebabkan oleh banyak
factor selain oleh organisme pembawa penyakit.
Penelitian yang mendalam tentang permasalahan
penyakit pada ternak babi saat ini menghasilkan suatu konsep penanggulangan
yang disebut multifactorial aetiology.
Dengan kata lain, ternak babi akan menjadi sakit apabila disebabkan oleh banyak
factor atau rangsangan (beberapa di antaranya memerlukan penanganan yang
berkesinambungan) atau penyebab sinergis.
Banyak kejadian mewabahnya penyakit infeksi
pada ternak babi disebabkan karena kombinasi bakteri, virus dan parasite;
karena pengaruh stress, makanan, factor lingkungan dan cara pengendalian.
Interaksi factor-faktor tersebut sering terjadi jika ternak babi sudah
mempunyai bibit penyakit dan cara penyebarannya.
Cara meningkatkan resistensi dan kekebalan (imunisasi) adalah dengan menurunkan
stress dan meningkatkan pembasmian agen stress dan meningkatkan pembasmian agen
pembawa penyakit sehingga mengurangi kemungkinan penyakit pada ternak babi.
Pembersihan kandang dan lingkunagn yang rutin, penyediaan deinfektan serta
sanitasi lainnya akan menurunkan penyebaran penyakit. Cara isolaso, sistem “all-in, all-out” dan cara pengendalian
lainnya harus digunakan sebaik mungkin. Stress karena kepanasan maupun
kedinginan harus diminimalkan dengan memelihara ternak babi pada tempat yang
sesuai, hangat, dan kering. Diagnosis yang tepat serta pengendalian total
penyakit yang diperlukan untuk merancang pengendalian dan program
penanggulangan guna menekan kerugian. Program pengobatan dan vaksisnasi harus
ditetapkan.
Sanitasi mrupakan dasar dari program pemeliharaan
kesehatan ternak babi yang efektif. Sanitasi didefinisikan secara luas sebagai
pekerjaan pengukuran kebersihan untuk kesehatan dan pengendalian penyakit.
Sanitasi bukan hanya membersihkan kandang dan desinfektasi; tetapi merupakan
pekerjaan yang harus menekan laju perkembangan mikroorganisme. Peternak yang
memiliki pengetahuan agen penyakit dan metode penyebarannya akan menemukan cara/strategi
penanggulangan guna meningkatkan keuntungan dari program sanitasi dan desinfektasi.
Beberapa prinsip dalam pengendalian penyakit
ternak babi.
1. Proteksi terhadap hal-hal luar, agar dapat
menurunkan tingkat infeksi ternak dengan cara-cara sebagai berikut:
-
areal peternak harus tertutup atau sumber ternak babi hanya dari satu
tempat
- usahakan masing-masing kelompok ternak babi saling terpisahkan, tidak
saling dicampur baur, pengosongan kandang sekali-kali, atau coba menggunakan
pola “all in/all out”.
-
Menjaga kebersihan dari kandang dan peralatan dengan baik
- Eliminasi konsentrasi baketri pathogen udara dengan ventilasi
perkandanagn yang baik.
Menurunkan kemungkinan terjangkit penyakit melalui:
-
vaksinasi secara teratur
-
jumlah calon induk jangan terlalu banyak dalam program pembibitan
-
jangan membiarkan kondisi babi terlalu banyak stress
2. Pencegahan terjadinya infeksi penyakit
-
eliminasi ternak sakit dengan langsung dipotong
-
repopulasi dengan ternak babi yang sehat hasilkan ternak bebas penyakit (disease free stock) melalui hysterectomy, hysterectomy atau medicated early weaning.
3. Pengurangan pengaruh-pengaruh penyakit
Pengaruh-pengaruh
penyakit dapat dikurangi dengan cara:
- Menghindari factor-faktor yang merugikan seperti kotoran, temperature
ekstrim, ventilasi kurang. Kepadatan tinggi, kekurangan makanan, kekurangan
zat-zat makanan serta kondisi stress.
- Mengurangi tingkat dan penyebab proses terjadinya penyakit melalui pemberian
dan penangan pakan dengan antibiotik atau chemotheraoeutic
agents.
-
Meminimalkan kerugian ekonomis dengan
pemotongan dan penyelamatan
- Menghindari pembelian ternak yang telah terjangkit
- Menyediakan tempat khusus untuk ternak babi yang sakit (ruang karantina)
4. Beberapa Hal Praktis untuk Sanitasi
Pengosongan
pembersihan kandang dan fasilitasnya adalah salah satu cara yang baik untuk
memutuskan siklus hidup penyakit terlebih jika dikombinasikan dengan
pembersihan kandang dan fasilitasnya dengan baik serta desinfektasi. Banyak
jenis penyakit yang disebabkan oleh organisme
pada peternakan tidak dapat hidup lama jika tidak berada pada ternak
yang menjadi media antara (tempat hidup sementara). Apabila semua ternak babi
dipindahkan, maka organisme pembawa bibit penyakit di lingkungan alam sekitar
akan dengan cepat menurun jumlahnya.
Fasilitas/kandang dapat dibiarkan kosong selama 3-4 minggiu atau lebih lama lebih baik, namun walaupun hanya
beberapa hari dapat dilaksanakan. Rotasi padang penggembalaan, tempat makanan
maupun kandang babi beranak juga membantu untuk menurunkan jumlah organisme
pembawa penyakit teristimewa jumlah telur parasite dan agen pembawa penyakit
lainnya.
Pembersihan
dan desinfektasi adalah penting untk penanggulangan dan pengontrolan
akumulas dan penyebaran penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme. Juga
dapat dikatakan sebagai salah satu cara yang sukses untuk memutuskan siklus
hidup dan mengontrol penularan penyakit. Perkandangan dan fasilitas yang
dibersihkan dengan baik serta penggunaan desinfektan yang benar adalah sangat
penting.
Bak
desinfektasi untuk tempat merenam kaki (footbath),
snagat membantu untuk mencegah penyebaran/penularan penyakit yang datang dari
peternakan lain atau masuk dari luar melalui pengunjung atau manusia yang
datang/masuk areal perkandangan. Jika membangun suatu fasilitas peternakan maka
bak ini harus dibuat dilantai tempat masuk/pintu masuk area perkandangan.
Cresol, phenol sintetik, aldehida dan chlorhexidin adalah desinfektasi yang
baik untuk digunakan. Larutam desinfetasi harus tetap baik; harus diganti
secara regular atau diganti apabila sudah terlihat terkontamisnasi dengan
bahan-bahan organic lainnya.
Memandikan/Mencuci
Induk Babi (washing sows), dengan air
sabun hangat atau detergen dan larutan germinal sedang sebelum dikandangkan
pada kandang untuk beranak (kandang induk) merupakan tata cara pemeliharaan
yang bail. Induk babi bersih akan mengakibatkan telur-telur parasite tidak
melekat pada kulit maupun badan induk babi, serta mencegah kemungkinan anak
babi yang datang pada waktu induk babi beranak. Kandang induk beranak harus
mempunyai fasilitas tersebut (washing
sows) pada sekitar pintu masuk untuk secara cepat dapat membersihkan induk
babi sebelum dimasukkan ke kandangnya.
Bangkai
ternak dan sisa-sisa setelah induk beranak, dpaat merupakan
sumber bibit penyakit untuk ternak babi lainnya. Bangkai maupun sisa-sisa induk
beranak (darah, tali pusar, plasenta) harus segera disingkirkan jauh-jauh dari
areal kandang atau dibakar sebelum ditanam serta jangan ada kemungkinan
terkontaminasi dengan air minum atau bahan makanan dan tanah di atas tempat
penimbunan bangkai, dan bangkai tersebut disiram dengan air jeruk/larutan asam
sebelum ditutup/ditimbun. Hewan peliharaan dan hewan pemangsa harus dihindarkan
terlebih jika hewan-hewan tersebut membawa bangkai dari peternakan lain dan
masuk ke areal peternakan lainnya.
5. Cara-Cara Pencegahan Penularan Penyakit
Penambahan ternak
baru dari luar merupakan slaah satu cara penularan penyakit yang potensial.
Beberapa hal yang perlu dilakukan:
- Membeli bibit ternak babi yang sehat. Hindari pengelompokkan ternak yang datang
dari berbagai areal peternakan/sumber
- Melakukan tes bibit ternak, lebih baik lagi kalau ternak yang baru dilengkapi
dengan surat keterangan bebas penyakit tertentu dan telah divaksinasi melalui
karantina hewan
- Memperhatikan dengan baik jika ternak babi tersebut diangkut dengan alat
angkut yang benar-benar bersih dan telah terdesinfektasi
- Mengisolasi (karantina) ternak baru tersebut pada kandang khusus selama 30-60
hari sekurang-kurangnya 300 kaki jarak dari kandang babi lainnya. Tes kembali
sebelum dimasukkan dalam areal kandang. Jangan pernah membeli induk atau
pejantan baru langsung di kandang induk, atau memasukkan anak babi pada ternak
babi yang baru didatangkan/masuk.
-
Menjauhkan pengunjung dari fasilitas peternakan (tempat bahan makanan dll).
Lebih baik menggunakan sepatu “boot”
karet dan rendam beberapa menit pada bak desinfektasi dan tukar pakaian
pengunjung dan pakaian khusus (jas) yang khusus digunakan dalam areal kandang.
Beberapa tatacara lain untuk membantu sanitasi dan pencegahan
penyakit, seperti:
- Melindungi bahan makanan dan air minum dari terkontaminasi dengan kotoran
maupun yang disebabkan oleh hewan lain seperti burung dsb.
-
Regular melakukan penyemprotan (deworming)
untuk membasmi telur parasit lainnya
-
Menyemprot atau rendam ternak babi dari kutu dan parasite lain
- Mengelompokkan ternak babi menurut umur dan pidahkan kelompok ternak babi
tersebut melalui sistem produksi ke pasaran
- Memperhatikan dan observasi ternak babi tersebut secara teratur dari
tanda-tanda klinis penyakit
-
Mengisolasi dan tanggulangi ternak babi yang sakit
-
Menempatkan ternak babi pada kandang yang baik
-
Memvaksinasi rutin untuk pencegahan penyakit
- Menghindari bahan makanan dan air minum dari kotoran untuk mencegah dari
kemungkinan penyakit-penyakit terntentu
- Lebih baik menggunakan tenaga khusus kesehatan untuk secara
tetap/beresimabungan mengadakan pemeriksaan/supervise
Peternakan yang baik serta nutrisi yang lengkap juga
membantu untuk sanitasi dan kesehatan ternak. Hal-hal ini akan mencegah ternak
terjangkit penyakit, menurunkan stress ternak, serta menurunkan penularan
penyakit.
6. Vaksinasi
Penanggulangan Hog Cholera pada babi bisa dilakukan
dengan cara vaksinasi baik aktif maupun inaktif. Anak babi dari induk yang
belum pernah divaksin bisa dilakukan vaksinasi pada saat umur 2 mingu, anak
babi dari induk yang telah divaksin dan mendapatkan kolostrum dari induk dapat
terlindungi sampai berumur 6 minggu, kemudian dilakukan vaksinasi pada saat
umur 6 – 8 minggu. Vaksinasi Hog cholera yang aman yaitu induk divaksin
2 minggu sebelum kawin. Untuk dapat mencegah kerugian yang ditimbulkan oleh
berjangkitnya wabah Hog cholera yang disebabkan oleh virus dari family flaviviridae
ini dapat dilakukan dengan mengimplementasikan manajemen beternak babi
secara benar. Adapun hal yang harus diperhatikan meliputi : kandang harus dalam
keadaan kering dan bersih, pemilihan bibit harus benar, komposisi pakan harus
sesuai dengan berat badan dan program vaksinasi disesuaikan dengan
petunjuk dari Dinas Peternakan. Wabah penyakit yang bersifat sporadis dapat
ditangani dengan pemberian vitamin dan menangkal keterlibatan mikroorganisma
sekunder dengan pemberian antibiotika (Berata et al, 2009). keterbatasan
dana maka pelaksanaan vaksinasi Hog cholera tidak dapat mencakup seluruh
populasi. Pada tahun 2011 telah dilakukan vaksinasi Hog cholera sebanyak 16.000
dari yang ditarget. Realisasi pelaksanaan dilapangan selengkapnya dapat dilihat
dalam tabel 3.4. Hasil dari vaksinasi yang dilakukan pada tahun 2011 tergolong
berhasil karena terjadi penurunan angka morbiditas jika dibandingkan dengan
tahun sebelumnya. Selain dari faktor agen, maka host dalam hal ini babi juga
berperan penting. Faktor umur, virulensi virus dan kekebalan tubuh hewan sangat
berpengaruh terhadap timbulnya gejala penyakit. Babi muda lebih rentan
terinfeksi virus hog cholera di banding babi dewasa. Maternally
Derived Antibodies atau kekebalan turunan dari induk pada anak babi yang
induknya divaksin secara baik akan bertahan hingga anak babi berumur 7
minggu. Vaksinasi pertama pada anak babi di rekomendasikan pada umur 4 minggu
bila induknya telah di vaksinasi dengan baik. Calon induk sebaiknya di
vaksinasi pada hari ke-4, ke-8 atau ke-12 setelah kawin dan di booster 14
hari kemudian. Vaksinasi hog cholera tidak berdampak terhadap terjadinya
aborsi pada induk (Lipowski et al. 2000).
Vaksin aktif
strain Cina (C-strain) adalah jenis vaksin yang paling banyak digunakan. Strain
ini WARTAZOA VOL 6 No. 1 Th. 1997 diperoleh dari isolat virus yang virulen yang
diatenuasi pada kelinci . Vaksin ini sangat efektif, menginduksi kekebalan
dengan cepat dan bertahan lama . Kekebalan terjadi 1 minggu setelah vaksinasi,
dan bertahan selama 2-3 tahun (van OIRCHOT, 1986) . Hasil pengamatan BIRONT et
al., (1987) menunjukkan bahwa kekebalan atau antibody yang terbentuk akibat
vaksinasi bukan hanya mampu melindungi babi dari terjadinya penyakit tetapi
juga mampu mencegah replikasi virus didalam tonsil atau tubuh babi . IN
berarti, vaksinasi dapat memotong rantai penyebaran virus. Selain itu bukti
telah banyak yang mendukung bahwa vaksin ini aman untuk dipakai . Virus strain
C ini tetap dalam kondisi atenuasi atau tidak berbalik menjadi virulen setelah
dipasase berulang-ulang pada babi, dan juga tidak menimbulkan penyakit sekalipun
pada babi dalam kondisi immunosupresiv dengan penyuntikkan preparat
Corticosteroid (VAN OIRCHOT, 1986). Virus ini juga dapat menembus barier
plasenta tetapi tidak menimbulkan gangguan pada babi bunting ataupun fetus yang
dikandungnya (VAN OIRCHOT, 1986) . Anak babi dari induk yang divaksin
terlindungi tehadap infeksi HC selama 5-8 minggu (TERPSTRA dan ROBIJNS, 1977) .
Selain strain C, vaksin aktif seperti Japanese GPE-strain dan French Thiverval strain
juga banyak digunakan (van OIRCHOT, 1986) . Kedua vaksin terakhir ini diatenuasi
pada tissue culture. Vaksin inaktif yang diproduksi dengan menginaktifkan virus
virulen dengan crystal violet dipakai secara luas di Eropa Barat pada tahun 1961-1968
. Akan tetapi pemakaian vaksin ini malah menghambat usaha pemberantasan
penyakit (TERPSTRA dan ROBUNS, 1977) . Hal ini disebabkan inaktivasi virus
kadang-kadang tidak sempurna sehingga babi yang divaksin menjadi terkena HC .
Disamping itu kekebalan yang diinduksi vaksin inaktif tebentuknya lama (2
minggu setelah vaksinasi) dan bertahan tidak lama . Oleh karena itu vaksin
inaktif tidak dipakai lagi .
Untuk negara
atau daerah yang bebas HC usaha dipusatkan pada pencegahan masuknya virus HC .
Usaha ini meliputi larangan import atau pemasukan ternak babi beserta produknya
dari daerah tertular atau tersangka . Disamping itu sisa-sisa dapur dari
angkutan darat, laut atau udara internasional dari daerah tertular perlu
dimusnahkan untuk menjaga kemungkinan masuknya virus HC (TERPSTRA, 1991). Apabila HC muncul dinegara yang
sebelumnya bebas HC, langkah awal yang paling penting untuk segera dilakukan
adalah mencari sumber penularan dan menetapkan luas penyebaran virus yang telah
terjadi . Langkah selanjutnya meliputi pelarangan pengeluaran babi dari daerah
tertular atau tersangka, surveillance yang teliti dan stamping out kalau
memungkinkan . Disamping itu tindakan sanitasi perlu dilakukan . Kandang dan peralatan
didesinfeksi dengan larutan NaOH 1 atau desinfektan lain, dan kandang harus
diistirahatkan selama 15 -30 hari, jangka waktu istirahat kandang yang diterima
secara internasional (TERPSTRA, 1991).
Pada tahun
1980, Masyarakat Ekonomi Eropa menyepakati untuk menerapkan suatu peraturan yang
dikenal dengan Directive 80/217 EEC yang
berisi tindakan yang harus diambil apabila terjadi wabah HC (ROBERTS, 1995) . Berdasarkan peraturan tersebut
tindakan minimal yang harus diambil apabila terjadi wabah adalah sebagai
berikut:
1. Pemusnahan semua babi dalam peternakan yang terinfeksi dan desinfeksi
kandang dan peralatan.
2. Penetapan zona proteksi dalam radius 3 km sekurang-kurangnya 15 hari,
dan zona surveillance radius 10 km sekurang kurangnya 30 hari .
3.
Larangan perpindahan babi dalam zona surveillance selama
sekurang-kurangnya 7 hari, setelah itu babi dapat dikirim secara langsung ke
abatoar, dipindahkan ke tempat lain dengan instruksi petugas yang berwenang
atau setelah melalui pemeriksaan klinis .
4. Sebelum pembatasan pembatasan dalam zona surveillance dihapuskan harus
dilakukan pemeriksaan klinis dan serologis. .
5. Pelaksanaan penyidikan epidemiologis.
6. Larangan vaksinasi kecuali dalam keadaan yang sangat khusus.
7. Daging babi dari zona surveillance harus diproses sesuai dengan aturan
yang ditetapkan dalam Directive 80/215 EEC.
Untuk memberantas HC dinegara dimana penyakit tersebut
enzootik bisa dilakukan dengan tindakan stamping out disertai dengan penerapan undang-undang
veteriner. dan sanitasi . Negara-negara yang telah berhasil memberantas HC
dengan cara ini adalah: Australia, Canada, Amerika Serikat, Inggris, Republik
Afrika Selatan dan negara negara Scandinavia. Cara kedua untuk pemberantasan HC
adalah dengan program vaksinasi. Belanda merupakan salah satu negara yang berhasil
memberantas HC dengan pelaksanaan program vaksinasi secara ketat dan teratur .
Untuk memberantas HC pada 3 daerah yang epizootik di negeri Belanda pada tahun
1973, dicanangkan program vaksinasi selama 1 tahun . Vaksin yang dipakai pada
program ini adalah vaksin aktif strain Cina . Vaksinasi masal dilakukan
terhadap semua babi berumur diatas 2 minggu . Setelah vaksinasi masal, vaksinasi
tambahan dilakukan terhadap babi yang berumur 6-8 minggu dan babi yang didatangkan
dari luar daerah . Jumlah kasus penyakit terlihat langsung menurun setelah 2
minggu pelaksanaan vaksinasi masal, dan kasus penyakit praktis tidak ditemukan
lagi setelah 5 bulan (TERPSTRA dan ROBIJNS, 1977) . Setelah berakhir program vaksinasi
1 tahun, HC di daerah yang tadinya enzootik berhasil diberantas .
Kesimpulan
Penyakit HC merupakan salah
satu penyakit yang sangat
penting di seluruh dunia. Sejak pertama kali ditemukan sekitar dua abad yang lalu sampai sekarang penyakit
ini tetap merupakan penyakit
epizootik disebagian besar dunia . Walaupun virus penyebab penyakit ini hanya satu serotype saja dan vaksin yang
efektif telah tersedia sejak lama,
banyak negara mengalami kesulitan untuk membebaskan negaranya dari penyakit ini . Kesulitan tersebut
kemungkinan berhubungan dengan sulitnya mencegah masuknya olahan daging babi
yang tercemar virus HC dari luar negeri . Kemungkinan kedua adalah kesufitan
dalam memberantas penyakit HC pada babi liar atau babi hutan, dan mencegah
penularan dari babi liar ke babi piaraan. Oleh Karen itu selain vaksinasi
dibutuhkan barrier keamanan yang
menyeluruh dengan mengimplementasikan manajemen
beternak babi secara benar. Adapun hal yang harus diperhatikan meliputi :
kandang harus dalam keadaan kering dan bersih, pemilihan bibit harus benar,
komposisi pakan harus sesuai dengan berat badan dan program vaksinasi
disesuaikan dengan petunjuk dari Dinas Peternakan.
Sumber :
Kramer, M ., Ahl, R., Teuffert, J., Kroschewski, K., Schluter, H . and
Otte, J . 1995 . Classical swine fever in Germany - some epidemiological
aspects. Proc. meeting Soc. Vet. Epid. Prev. Med, University of Reading, UK:
110 -118.
O.I.E. 2014. Classical Swine Fever (Hog Cholera). O.I.E Terrestrial
Manual. Chapter 2.8.3.
Penrith, M., Vosloo, W., dan Mather, C. 2011.
Classical Swine Fever (Hog Cholera):
Review of Aspect
Relevant to Control. Australian Animal Health Laboratory.
Tarigan, S., Bahri, S., dan Sarosa, A. 1997. Hog Cholera pada Babi.
Balai Penelitian Veteriner Bogor.
Natih, K., Nuryani, N., dan Alam, J. 2012. Deteksi Virus Hog Cholera
dengan End Method. Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan.
Bogor.
DOWNLOAD PDF : Strategi Pengendalian Penyakit Hog Cholera Pada Ternak Babi
DOWNLOAD PDF : Strategi Pengendalian Penyakit Hog Cholera Pada Ternak Babi
0 komentar:
Post a Comment