Friday, January 20, 2017

Strategi Pengendalian Penyakit Hog Cholera Pada Ternak Babi

Penyakit Strategis
     Penggolongan Penyakit Hewan Menular sebagai PHM strategis ditentukan berdasarkan tiga kriteria. Ketiga kriteria tersebut berkaitan dengan dampak  eksternalitas dari penyakit tersebut, yaitu berkaitan dengan aspek ekonomi, politik  dan strategis. Pertimbangan ekonomi meliputi seberapa jauh PHM tersebut mengganggu produktivitas dan reproduktivitas ternak, serta apakah ia dapat mengakibatkan gangguan perdagangan. Aspek politis dipertimbangkan apabila munculnya PHM tersebut mengakibatkan keresahan masyarakat, misalnya karena ia bersifat zoonosis. Selanjutnya, pertimbangan strategis antara lain karena tingginya angka mortalitas, penyebaran penyakit yang cepat antar daerah/kawasan sehingga membutuhkan pengaturan serta pengawasan lalu-lintas ternak dan produknya (Putra, 2006).
     Penyakit hewan menular strategis secara nasional (Keputusan Dirjen Peternakan Th. 1997) ada 11 (sebelas) jenis dan telah ditambah 2 jenis lagi oleh komisi ahli Keswan, adalah sebagai berikut:
1.     Rabes
2.     Brucellosis
3.     Anthrax
4.     Jembrana
5.     Bovine Viral Diarrhae (BVD)
6.     Septicemia Epizootica (SE)
7.     Infectious Bovine Rinotracheitis (IBR)
8.     Clasical Swine Fever (Hog Cholera)
9.     Newcastle Disease
10.  Infectious Bursal Disease
11.  Salmonellosis
12.  Trypanosomiasis
13.  Avian Influenza (AI)
     Dua penyakit terakhir (nomor 12 dan 13) merupakan tambahan yang diusulkan oleh Komisi Ahli Kesehatan Hewan. Berdasarkan peraturan Direktur  Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan No 977/Kpts/PD 610/F/11/2011 tanggal 22 November 2011, dalam program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular di tingkat nasional, terdapat 5 (lima) jenis penyakit hewan menular strategis yang perlu mendapat prioritas dan perhatian khusus dalam rangka mendukung program nasional peternakan dan kesehatan hewan. Kelima jenis penyakit tersebut adalah
1)    Penyakit keluron menular (Brucellosis) pada sapi potong atau sapi perah
2)    Penyakit radang limpa (Antrax) pada ruminansia ;
3)    Penyakit sampar babi (Hog Cholera);
4)    Penyakit anjing gila (Rabies);
5)    Penyakit influenza unggas (Avian Influenza)


Hog Cholera
Hog Cholera (HC) atau Classical swine fever adalah penyakit viral pada babi yang sangat ganas dan sangat menular. Penyakit ini dikenal sebagai penyakit yang paling merugikan pada babi sehingga sangat ditakuti terutama oleh peternak babi. Sebelum tahun 1995, HC tidak ditemukan di Indonesia. Bebasnya Indonesia dari penyakit ini dikukuhkan oleh Surat keputusan Menteri pertanian No 81 /Kpts/TN . 560/1/1994 tanggal 31 Januari 1994. Akan tetapi, tidak lama setelah surat keputusan tersebut dikeluarkan wabah yang diduga keras HC terjadi di Indonesia. Pada bulan Maret 1995 terjadi wabah penyakit babi di lokasi peternakan Kapuk Jakarta . 



Gejala klinis dan kelainan patologi pada babi penderita sangat khasuntuk penyakit tersebut  Sejak kejadian di Kapuk, wabah penyakit telah menyebar ke berbagai pulau di Indonesia. Virus Hog Cholera termasuk genus Pestivirus yang termasuk dalam family Flavivirdae, berbentuk bundar dengan diameter berkisar antara 40-50 nm, mempunyai nucleocapsid berbentuk hexagonal berukuran sekitar 29 nm, dan mengandung material genetik RNA berbentuk single stranded dan polarity positip (Horzinek, 1981). Secara immunologis dan genetis, virus HC mempunyai kesamaan yang sangat dekat dengan virus Bovine viral diarrhoea (BVD), kedua virus ini adalah anggota dari genus Pestivirus. Virus BVD selain patogen pada sapi, kadang kadang dapat pula menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada babi (Terpstradan dan Wensvoort, 1988). Kedua virus mempunyai susunan genom dan protein yang sama, keduanya mempunyai kesamaan sequence asam nukleat sebesar 66% dan asam amino sebesar  85% (Meyers et al ., 1989; Ru-Menapf, 1990). Karena persamaan yang banyak  tersebut, diagnosis definitif HC sering sulit ditegakkan dengan hanya menggunakan antibody poliklonal. Berdasarkan uji cross neutralisasi, virus HC hanya dikenal satu serotype saja. Hal ini sangat memudahkan vaksinasi, karena untuk memulai suatu program vaksinasi tidak perlu dilakukan serotiping terlebih dahulu. Sekalipun virus HC hanya dikenal satu serotype saja, pengelompokan virus berdasarkan type antigen atau  perbedaan sequence RNA masih mungkin dilakukan. Pengelompokan ini sangat bermanfaat dalam investigasi epidemiologis, misalnya dalam melacak asal virus dalam suatu wabah. Dengan menggunakan dua panel antibodi monoclonal (12 jenis antibodi monoklonal untuk glycoprotein El dan 11 jenis untuk E2), (Kosmidou et al., 1995) berhasil mengelompokkan 126 strain atau isolat virus HC menjadi 21 type antigenik. Selain menggunakan panel antibodi monoklonal, pengelompokan isolate dapat pula dibuat berdasarkan perbedaan sequencing produk reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR). Berdasarkan cara yang terakhir ini, Lowings et al., (1994) mengelompokkan 8 isolat kedalam 3 kelompok. Pengelompokan dengan cara yang terakhir ini dianggap jauh lebih bermanfaat dari cara yang pertama (antibody monoklonal). 
Berdasarkan virulensinya, virus HC dapat dibagi menjadi tiga kelompok yakni virus dengan virulensi tinggi, virulensi sedang dan virulensi rendah. Akan tetapi pengolompokan virus berdasarkan virulensi ini kadang-kadang sangat sulit dilakukan karena virus yang biasanya mempunyai virulensi rendah kadang-kadang dapat juga menimbulkan penyakit yang parah (Dahle dan Liess, 1995). Disamping itu, virulensi HC kemungkinan juga bukan sifat yang permanen karena kenaikan virulensi dapat terjadi setelah pasasi virus pada babi (Dunne, 1975). Virus HC termasuk virus yang resisten terhadap lingkungan yang buruk. Akan tetapi viabilitasnya sangat tergantung pada media dimana virus tersebut berada. Pada media yang sederhana seperti supernatan kultur sel, virus dapat diinaktivasi dengan pemanasan pada suhu 56°C selama 1 jam, atau pada suhu 60°C selama 10 menit, sedangkan dalam darah yang didefibrinasi infektivitas virus masih bertahan setelah mengalami pemanasan selama 1 jam pada suhu 64°C atau selama 30 menit pada suhu 68° C. Virus juga stabil dalam kisaran pH yang panjang (antara pH 4 – pH 11). Karena selubung atau envelopenya mengandung lipid, virus sangat rentan terhadap pelarut lemak seperti ether, chloroform, dan detergent seperti desoxycholate, nonidet P40 dan saponin (Terpstra, 1991).

Epidemiologi Penyakit
1.  Penyebaran Penyakit


       Berdasarkan data OIE dari bulan Januari 1991 sampai September 1994, HC terdapat diseluruh dunia kecuali Amerika Utara. Sebagian besar wabah terjadi di Asia terutama Cina, India dan negara negara Asia Tenggara. Di Eropa, kasus HC terbanyak tedapat di Jerman (Kramer et al., 1995). Kejadian di Indonesia wabah Hog cholera pertama kali terjadi di Sumatera pada bulan januari 1995, namun kasus baru dikonfirmasi pada bulan mei 1995. Penyakit ini telah tersebar di 8 kabupaten, yakni kabupaten Deli serdang, Karo, Dairi, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Nias, dan Toba Samosir. Oleh karena pada bulan April 1995 terjadi pula wabah di peternakan Kapuk, Jakarta setelah ada pemasukan 350 ekor babi dari Sumatera Utara. Demikian pula terjadinya wabah di berbagai daerah di Indonesia erat kaiannya dengan pemasukan babi dari daerah tertular. Perdagangan ternak babi dan produknya antar daerah atau pulau yang tidak memperhatikan prosedur karantina berdampak serius terhadap keamanan kesehatan ternak di daerah. Sebagai konsekuensinya dampak social ekonomi menjadi sangat besar. Daerah-daerah di Indonesia yang telah tertular hog cholera adalah Sumatera Barat, Riau, DKI, Jakarta, Jawa barat, Jawa tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Bali, dan Nusa Tenggara Timur (Santhia, 2009). Di Propinsi Bali, penyakit pertama kali dilaporkan di Desa Sesetan Denpasar  Selatan Kota denpasar Pada bulan Oktober 1995 dalam waktu 3 bulan penyakit dengan cepat menyebar ke kabupaten lainnya (Santhia, 2009). Di Propinsi NTB sampai saat ini belum pernah ditemukan kasus klinik, tetapi secara serologik dideteksi adanya antibodi virus HC di pulai Lombok (Santhia, 2009). Di Propinsi nusa Tenggara Timur (NTT), kasus pertama kali terjadi di Desa Petawang dan Wanga, Kabupaten Sumba Timur pada bulan juni 1997, tidak diketahui dengan pasti asal sumber penularan penyakit tersebut, tetapi penaykit diketahui dengan cepat menyebar. Di Kabupaten Sumba barat juga dilaporkan pada tahun 1998. Selajunya pada bulan agustus 1998 kasus hog cholera dilaporkan di Desa Tarus, kabupaten Kupang, setelah itu penyakit dengan cepat menyebar ke kabupaten lainnya di NTT, Sikka, Timor Tengah Utara (TUU), Kote Kupang, Alor, dan Rote Ndao (Santhia, 2009).

2.  Hewan Rentan



       Semua jenis atau ras babi rentan terhadap Hog cholera. Pada babi peliharaan hampir 50% kasus ini terjadi pada babi penggemukan, 15% babi pembibitan dan lebih dari 20% kelompok babi campuran. Telah dilaporkan pula bahwa faktor  keturunan tampaknya berpengaruh terhadap tingkat infeksi virus Hog cholera. Pada saat wabah HC terjadi di provinsi bali pada bulan Oktober-desember 1995, babi landrace terlihat lebih banyak terserang dibandingkan babi saddleback dan babi local (Santhia, 2009).
       Babi dari semua umur rentan terhadap Hog cholera. Anak-anak babi yang berumur 4-5 minggu dan berasal dari induk yang sebelumnya pernah divaksinasi dengan virus ganas ternyata relatif lebih kebal dibandingkan dengan anak-anak babi yang lahir dari induk yang telah divaksinasi dengan virus vaksin yang telah dilemahkan. Hal ini kemungkinan kerena antibodi maternal dari anak babi setelah umur tersebut sangat rendah dan tidak cukup untuk melindungi dari infeksi virus HC ganas berikutnya. Babi landrace kelompok umur kurang dari 2 bulan yang terserang virus HC menunjukkan prevalensi yang sangat lebih tinggi (88,2%) dibandingkan kelompok umur 2-5 bulan dan lebih dari 8 bulan (Santhia, 2009).


Cara Penularan
          Babi adalah satu-satunya induk semang alami virus HC, oleh karena itu babi penderita merupakan sumber penularan yang terpenting. Virus masuk ke dalam tubuh babi biasanya melalui rute oronasal. Cara penularan bisa dengan kontak langsung ataupun tidak langsung. Penularan bisa secara horizontal ataupun vertikal, yakni dari induk kepada fetus yang dikandung.

1.  Penularan Secara Langsung
       Penularan dari babi yang sakit atau carrier ke babi yang sehat merupakan cara penularan yang paling sering terjadi. Wabah penyakit sering diawali dengan pemasukan babi baru dari daerah atau peternakan yang tertular HC. Babi yang sakit menyebarkan virus terutama melalui sekresi oronasal dan lakrimal (Ressang, 1973). Jumlah atau konsentrasi virus dalam sekresi tersebut dan lamanya babi mengeluarkan virus tergantung kepada virulensi virus. Babi yang terinfeksi oleh virus yang virulen akan mengeluarkan virus kedalam lingkungan sebelum timbul gejala klinis sampai babi mati atau sampai terbentuk antibody bagi babi yang bertahan hidup. Sedangkan babi yang terinfeksi oleh virus yang virulensinya sedang ataupun rendah biasanya mengeluarkan virus dalam jumlah yang lebih rendah dan dalam kurun waktu yang lebih pendek. Oleh karena itu, strain virus yang virulen biasanya menularnya lebih cepat dan menimbulkan morbiditas yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan strain yang kurang virulen (Terpstra, 1991).

2.  Penularan Secara Tidak Langsung
       Karena virus HC cukup resisten terhadap lingkungan yang kurang menguntungkan diluar induk semang, penularan dengan cara tidak langsung juga sering terjadi. Virus HC dapat bertahan dalam waktu yang lama dalam daging babi dan beberapa produk olahannya, terutama dalam keadaan dingin atau beku. Masuknya HC ke negara atau daerah yang bebas HC sering akibat impor daging babi atau produknya ke negara atau daerah tersebut. Wabah HC bisa terjadi apabila babi diberi makan dengan sisa dapur yang mengandung daging babi tercemar tersebut tanpa dimasak terlebih dahulu. Cara penularan melalui sisa dapur ini sering terjadi. Hasil survei menunjukkan bahwa sekitar 22% dari semua wabah yang terjadi di USA pada tahun 1973 terjadi dengan cara seperti ini (Dunne, 1975). Kejadian serupa juga terjadi di Inggris. Setelah negara ini dinyatakan bebas dari HC tahun 1966, terjadi dua kali gelombang wabah di negeri ini, yakni tahun 1971 dan 1986. Kedua gelombang wabah tersebut diketahui akibat impor produk daging babi yang tercemar virus HC (Williams dan Matthews, 1988). Wabah terjadi setelah babi diberi makan dengan sisa dapur yang mengandung produk daging babi tercemar tersebut.


Strategi Pengendalian Penyakit
Pada umumnya dikatakan bahwa penyakit pada ternak babi disebabkan oleh infeksi, dan ternak yang terjangkit akan memperlihatkan tanda-tanda klinis. Para ahli penyakit ternak khususnya ternak babi menyadari bahwa problematika penyakit adalah sangat bervariasi penyebab dan permasalahannya. Kenyataannya telah disepakati bahwa mengetahui atau mempelajari penampilan produksi ternak babi seperti effisiensi dan konversi makanan (ekm) serta pertambahan berat badan (pbb) adalah lebih sensitive dan signifikan, sebagai indikator ternak terjangkit oleh penyakit, dibandingkan dengan mempelajaro tanda-tanda klinis dari penyakit yang ada pada ternak babi tersebut. Karena, perununan penampilan produksi ternak babi disebabkan oleh banyak factor selain oleh organisme pembawa penyakit.
Penelitian yang mendalam tentang permasalahan penyakit pada ternak babi saat ini menghasilkan suatu konsep penanggulangan yang disebut multifactorial aetiology. Dengan kata lain, ternak babi akan menjadi sakit apabila disebabkan oleh banyak factor atau rangsangan (beberapa di antaranya memerlukan penanganan yang berkesinambungan) atau penyebab sinergis.
Banyak kejadian mewabahnya penyakit infeksi pada ternak babi disebabkan karena kombinasi bakteri, virus dan parasite; karena pengaruh stress, makanan, factor lingkungan dan cara pengendalian. Interaksi factor-faktor tersebut sering terjadi jika ternak babi sudah mempunyai bibit penyakit dan cara penyebarannya.
Cara meningkatkan resistensi dan kekebalan (imunisasi) adalah dengan menurunkan stress dan meningkatkan pembasmian agen stress dan meningkatkan pembasmian agen pembawa penyakit sehingga mengurangi kemungkinan penyakit pada ternak babi. Pembersihan kandang dan lingkunagn yang rutin, penyediaan deinfektan serta sanitasi lainnya akan menurunkan penyebaran penyakit. Cara isolaso, sistem “all-in, all-out” dan cara pengendalian lainnya harus digunakan sebaik mungkin. Stress karena kepanasan maupun kedinginan harus diminimalkan dengan memelihara ternak babi pada tempat yang sesuai, hangat, dan kering. Diagnosis yang tepat serta pengendalian total penyakit yang diperlukan untuk merancang pengendalian dan program penanggulangan guna menekan kerugian. Program pengobatan dan vaksisnasi harus ditetapkan.
Sanitasi mrupakan dasar dari program pemeliharaan kesehatan ternak babi yang efektif. Sanitasi didefinisikan secara luas sebagai pekerjaan pengukuran kebersihan untuk kesehatan dan pengendalian penyakit. Sanitasi bukan hanya membersihkan kandang dan desinfektasi; tetapi merupakan pekerjaan yang harus menekan laju perkembangan mikroorganisme. Peternak yang memiliki pengetahuan agen penyakit dan metode penyebarannya akan menemukan cara/strategi penanggulangan guna meningkatkan keuntungan dari program sanitasi dan desinfektasi.
Beberapa prinsip dalam pengendalian penyakit ternak babi.

1.     Proteksi terhadap hal-hal luar, agar dapat menurunkan tingkat infeksi ternak dengan cara-cara sebagai berikut:
-       areal peternak harus tertutup atau sumber ternak babi hanya dari satu tempat
-  usahakan masing-masing kelompok ternak babi saling terpisahkan, tidak saling dicampur baur, pengosongan kandang sekali-kali, atau coba menggunakan pola “all in/all out”.
-       Menjaga kebersihan dari kandang dan peralatan dengan baik
-   Eliminasi konsentrasi baketri pathogen udara dengan ventilasi perkandanagn yang baik.
Menurunkan kemungkinan terjangkit penyakit melalui:
-       vaksinasi secara teratur
-       jumlah calon induk jangan terlalu banyak dalam program pembibitan
-       jangan membiarkan kondisi babi terlalu banyak stress

2.     Pencegahan terjadinya infeksi penyakit
-       eliminasi ternak sakit dengan langsung dipotong
-       repopulasi dengan ternak babi yang sehat hasilkan ternak bebas penyakit (disease free stock) melalui hysterectomy, hysterectomy atau medicated early weaning.

3.     Pengurangan pengaruh-pengaruh penyakit
Pengaruh-pengaruh penyakit dapat dikurangi dengan cara:
-  Menghindari factor-faktor yang merugikan seperti kotoran, temperature ekstrim, ventilasi kurang. Kepadatan tinggi, kekurangan makanan, kekurangan zat-zat makanan serta kondisi stress.
-     Mengurangi tingkat dan penyebab proses terjadinya penyakit melalui pemberian dan penangan pakan dengan antibiotik atau chemotheraoeutic agents.
-       Meminimalkan kerugian ekonomis  dengan pemotongan dan penyelamatan
-       Menghindari pembelian ternak yang telah terjangkit
-       Menyediakan tempat khusus untuk ternak babi yang sakit (ruang karantina)

4.     Beberapa Hal Praktis untuk Sanitasi
Pengosongan pembersihan kandang dan fasilitasnya adalah salah satu cara yang baik untuk memutuskan siklus hidup penyakit terlebih jika dikombinasikan dengan pembersihan kandang dan fasilitasnya dengan baik serta desinfektasi. Banyak jenis penyakit yang disebabkan oleh organisme  pada peternakan tidak dapat hidup lama jika tidak berada pada ternak yang menjadi media antara (tempat hidup sementara). Apabila semua ternak babi dipindahkan, maka organisme pembawa bibit penyakit di lingkungan alam sekitar akan dengan cepat  menurun jumlahnya. Fasilitas/kandang dapat dibiarkan kosong selama 3-4 minggiu atau lebih  lama lebih baik, namun walaupun hanya beberapa hari dapat dilaksanakan. Rotasi padang penggembalaan, tempat makanan maupun kandang babi beranak juga membantu untuk menurunkan jumlah organisme pembawa penyakit teristimewa jumlah telur parasite dan agen pembawa penyakit lainnya.
Pembersihan dan desinfektasi adalah penting untk penanggulangan dan pengontrolan akumulas dan penyebaran penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme. Juga dapat dikatakan sebagai salah satu cara yang sukses untuk memutuskan siklus hidup dan mengontrol penularan penyakit. Perkandangan dan fasilitas yang dibersihkan dengan baik serta penggunaan desinfektan yang benar adalah sangat penting.
Bak desinfektasi untuk tempat merenam kaki (footbath), snagat membantu untuk mencegah penyebaran/penularan penyakit yang datang dari peternakan lain atau masuk dari luar melalui pengunjung atau manusia yang datang/masuk areal perkandangan. Jika membangun suatu fasilitas peternakan maka bak ini harus dibuat dilantai tempat masuk/pintu masuk area perkandangan. Cresol, phenol sintetik, aldehida dan chlorhexidin adalah desinfektasi yang baik untuk digunakan. Larutam desinfetasi harus tetap baik; harus diganti secara regular atau diganti apabila sudah terlihat terkontamisnasi dengan bahan-bahan organic lainnya.
Memandikan/Mencuci Induk Babi (washing sows), dengan air sabun hangat atau detergen dan larutan germinal sedang sebelum dikandangkan pada kandang untuk beranak (kandang induk) merupakan tata cara pemeliharaan yang bail. Induk babi bersih akan mengakibatkan telur-telur parasite tidak melekat pada kulit maupun badan induk babi, serta mencegah kemungkinan anak babi yang datang pada waktu induk babi beranak. Kandang induk beranak harus mempunyai fasilitas tersebut (washing sows) pada sekitar pintu masuk untuk secara cepat dapat membersihkan induk babi sebelum dimasukkan ke kandangnya.
Bangkai ternak dan sisa-sisa setelah induk beranak, dpaat merupakan sumber bibit penyakit untuk ternak babi lainnya. Bangkai maupun sisa-sisa induk beranak (darah, tali pusar, plasenta) harus segera disingkirkan jauh-jauh dari areal kandang atau dibakar sebelum ditanam serta jangan ada kemungkinan terkontaminasi dengan air minum atau bahan makanan dan tanah di atas tempat penimbunan bangkai, dan bangkai tersebut disiram dengan air jeruk/larutan asam sebelum ditutup/ditimbun. Hewan peliharaan dan hewan pemangsa harus dihindarkan terlebih jika hewan-hewan tersebut membawa bangkai dari peternakan lain dan masuk ke areal peternakan lainnya.

5.     Cara-Cara Pencegahan Penularan Penyakit
Penambahan ternak baru dari luar merupakan slaah satu cara penularan penyakit yang potensial. Beberapa hal yang perlu dilakukan:
-     Membeli bibit ternak babi yang sehat. Hindari pengelompokkan ternak yang datang dari berbagai areal peternakan/sumber
-       Melakukan tes bibit ternak, lebih baik lagi kalau ternak yang baru dilengkapi dengan surat keterangan bebas penyakit tertentu dan telah divaksinasi melalui karantina hewan
-    Memperhatikan dengan baik jika ternak babi tersebut diangkut dengan alat angkut yang benar-benar bersih dan telah terdesinfektasi
-      Mengisolasi (karantina) ternak baru tersebut pada kandang khusus selama 30-60 hari sekurang-kurangnya 300 kaki jarak dari kandang babi lainnya. Tes kembali sebelum dimasukkan dalam areal kandang. Jangan pernah membeli induk atau pejantan baru langsung di kandang induk, atau memasukkan anak babi pada ternak babi yang baru didatangkan/masuk.
-       Menjauhkan pengunjung dari fasilitas peternakan (tempat bahan makanan dll). Lebih baik menggunakan sepatu “boot” karet dan rendam beberapa menit pada bak desinfektasi dan tukar pakaian pengunjung dan pakaian khusus (jas) yang khusus digunakan dalam areal kandang.
Beberapa tatacara lain untuk membantu sanitasi dan pencegahan penyakit, seperti:
-  Melindungi bahan makanan dan air minum dari terkontaminasi dengan kotoran maupun yang disebabkan oleh hewan lain seperti burung dsb.
-       Regular melakukan penyemprotan (deworming) untuk membasmi telur parasit lainnya
-       Menyemprot atau rendam ternak babi dari kutu dan parasite lain
-   Mengelompokkan ternak babi menurut umur dan pidahkan kelompok ternak babi tersebut melalui sistem produksi ke pasaran
-    Memperhatikan dan observasi ternak babi tersebut secara teratur dari tanda-tanda klinis penyakit
-       Mengisolasi dan tanggulangi ternak babi yang sakit
-       Menempatkan ternak babi pada kandang yang baik
-       Memvaksinasi rutin untuk pencegahan penyakit
-  Menghindari bahan makanan dan air minum dari kotoran untuk mencegah dari kemungkinan penyakit-penyakit terntentu
-      Lebih baik menggunakan tenaga khusus kesehatan untuk secara tetap/beresimabungan mengadakan pemeriksaan/supervise
Peternakan yang baik serta nutrisi yang lengkap juga membantu untuk sanitasi dan kesehatan ternak. Hal-hal ini akan mencegah ternak terjangkit penyakit, menurunkan stress ternak, serta menurunkan penularan penyakit.

6.     Vaksinasi
Penanggulangan Hog Cholera pada babi bisa dilakukan dengan cara vaksinasi baik aktif maupun inaktif. Anak babi dari induk yang belum pernah divaksin bisa dilakukan vaksinasi pada saat umur 2 mingu, anak babi dari induk yang telah divaksin dan mendapatkan kolostrum dari induk dapat terlindungi sampai berumur 6 minggu, kemudian dilakukan vaksinasi pada saat umur 6 – 8 minggu. Vaksinasi Hog cholera yang aman yaitu induk divaksin 2 minggu sebelum kawin. Untuk dapat mencegah kerugian yang ditimbulkan oleh berjangkitnya wabah Hog cholera yang disebabkan oleh virus dari family flaviviridae ini dapat dilakukan dengan mengimplementasikan manajemen beternak babi secara benar. Adapun hal yang harus diperhatikan meliputi : kandang harus dalam keadaan kering dan bersih, pemilihan bibit harus benar, komposisi pakan harus sesuai dengan berat badan dan  program vaksinasi disesuaikan dengan petunjuk dari Dinas Peternakan. Wabah penyakit yang bersifat sporadis dapat ditangani dengan pemberian vitamin dan menangkal keterlibatan mikroorganisma sekunder dengan pemberian antibiotika (Berata et al, 2009). keterbatasan dana maka pelaksanaan vaksinasi Hog cholera tidak dapat mencakup seluruh populasi. Pada tahun 2011 telah dilakukan vaksinasi Hog cholera sebanyak  16.000 dari yang ditarget. Realisasi pelaksanaan dilapangan selengkapnya dapat dilihat dalam tabel 3.4. Hasil dari vaksinasi yang dilakukan pada tahun 2011 tergolong berhasil karena terjadi penurunan angka morbiditas jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Selain dari faktor agen, maka host dalam hal ini babi juga berperan penting. Faktor umur, virulensi virus dan kekebalan tubuh hewan sangat berpengaruh terhadap timbulnya gejala penyakit. Babi muda lebih rentan terinfeksi virus hog cholera di banding babi dewasa.  Maternally Derived Antibodies atau kekebalan turunan dari induk pada anak babi yang induknya divaksin secara baik akan bertahan hingga anak  babi berumur 7 minggu. Vaksinasi pertama pada anak babi di rekomendasikan pada umur 4 minggu bila induknya telah di vaksinasi dengan baik. Calon induk sebaiknya di vaksinasi pada hari ke-4, ke-8 atau ke-12 setelah kawin dan di booster 14 hari kemudian. Vaksinasi hog cholera tidak berdampak terhadap terjadinya aborsi pada induk (Lipowski et al. 2000).
Vaksin aktif strain Cina (C-strain) adalah jenis vaksin yang paling banyak digunakan. Strain ini WARTAZOA VOL 6 No. 1 Th. 1997 diperoleh dari isolat virus yang virulen yang diatenuasi pada kelinci . Vaksin ini sangat efektif, menginduksi kekebalan dengan cepat dan bertahan lama . Kekebalan terjadi 1 minggu setelah vaksinasi, dan bertahan selama 2-3 tahun (van OIRCHOT, 1986) . Hasil pengamatan BIRONT et al., (1987) menunjukkan bahwa kekebalan atau antibody yang terbentuk akibat vaksinasi bukan hanya mampu melindungi babi dari terjadinya penyakit tetapi juga mampu mencegah replikasi virus didalam tonsil atau tubuh babi . IN berarti, vaksinasi dapat memotong rantai penyebaran virus. Selain itu bukti telah banyak yang mendukung bahwa vaksin ini aman untuk dipakai . Virus strain C ini tetap dalam kondisi atenuasi atau tidak berbalik menjadi virulen setelah dipasase berulang-ulang pada babi, dan juga tidak menimbulkan penyakit sekalipun pada babi dalam kondisi immunosupresiv dengan penyuntikkan preparat Corticosteroid (VAN OIRCHOT, 1986). Virus ini juga dapat menembus barier plasenta tetapi tidak menimbulkan gangguan pada babi bunting ataupun fetus yang dikandungnya (VAN OIRCHOT, 1986) . Anak babi dari induk yang divaksin terlindungi tehadap infeksi HC selama 5-8 minggu (TERPSTRA dan ROBIJNS, 1977) . Selain strain C, vaksin aktif seperti Japanese GPE-strain dan French Thiverval strain juga banyak digunakan (van OIRCHOT, 1986) . Kedua vaksin terakhir ini diatenuasi pada tissue culture. Vaksin inaktif yang diproduksi dengan menginaktifkan virus virulen dengan crystal violet dipakai secara luas di Eropa Barat pada tahun 1961-1968 . Akan tetapi pemakaian vaksin ini malah menghambat usaha pemberantasan penyakit (TERPSTRA dan ROBUNS, 1977) . Hal ini disebabkan inaktivasi virus kadang-kadang tidak sempurna sehingga babi yang divaksin menjadi terkena HC . Disamping itu kekebalan yang diinduksi vaksin inaktif tebentuknya lama (2 minggu setelah vaksinasi) dan bertahan tidak lama . Oleh karena itu vaksin inaktif tidak dipakai lagi .

Untuk negara atau daerah yang bebas HC usaha dipusatkan pada pencegahan masuknya virus HC . Usaha ini meliputi larangan import atau pemasukan ternak babi beserta produknya dari daerah tertular atau tersangka . Disamping itu sisa-sisa dapur dari angkutan darat, laut atau udara internasional dari daerah tertular perlu dimusnahkan untuk menjaga kemungkinan masuknya virus HC (TERPSTRA,  1991). Apabila HC muncul dinegara yang sebelumnya bebas HC, langkah awal yang paling penting untuk segera dilakukan adalah mencari sumber penularan dan menetapkan luas penyebaran virus yang telah terjadi . Langkah selanjutnya meliputi pelarangan pengeluaran babi dari daerah tertular atau tersangka, surveillance yang teliti dan stamping out kalau memungkinkan . Disamping itu tindakan sanitasi perlu dilakukan . Kandang dan peralatan didesinfeksi dengan larutan NaOH 1 atau desinfektan lain, dan kandang harus diistirahatkan selama 15 -30 hari, jangka waktu istirahat kandang yang diterima secara internasional (TERPSTRA, 1991).
Pada tahun 1980, Masyarakat Ekonomi Eropa menyepakati untuk menerapkan suatu peraturan yang dikenal dengan Directive 80/217 EEC  yang berisi tindakan yang harus diambil apabila terjadi wabah HC (ROBERTS,  1995) . Berdasarkan peraturan tersebut tindakan minimal yang harus diambil apabila terjadi wabah adalah sebagai berikut:
1.        Pemusnahan semua babi dalam peternakan yang terinfeksi dan desinfeksi kandang dan peralatan.
2.     Penetapan zona proteksi dalam radius 3 km sekurang-kurangnya 15 hari, dan zona surveillance radius 10 km sekurang kurangnya 30 hari .
3.          Larangan perpindahan babi dalam zona surveillance selama sekurang-kurangnya 7 hari, setelah itu babi dapat dikirim secara langsung ke abatoar, dipindahkan ke tempat lain dengan instruksi petugas yang berwenang atau setelah melalui pemeriksaan klinis .
4.       Sebelum pembatasan pembatasan dalam zona surveillance dihapuskan harus dilakukan pemeriksaan klinis dan serologis. .
5.           Pelaksanaan penyidikan epidemiologis.
6.           Larangan vaksinasi kecuali dalam keadaan yang sangat khusus.
7.        Daging babi dari zona surveillance harus diproses sesuai dengan aturan yang ditetapkan dalam Directive 80/215 EEC.
Untuk memberantas HC dinegara dimana penyakit tersebut enzootik bisa dilakukan dengan tindakan stamping out disertai dengan penerapan undang-undang veteriner. dan sanitasi . Negara-negara yang telah berhasil memberantas HC dengan cara ini adalah: Australia, Canada, Amerika Serikat, Inggris, Republik Afrika Selatan dan negara negara Scandinavia. Cara kedua untuk pemberantasan HC adalah dengan program vaksinasi. Belanda merupakan salah satu negara yang berhasil memberantas HC dengan pelaksanaan program vaksinasi secara ketat dan teratur . Untuk memberantas HC pada 3 daerah yang epizootik di negeri Belanda pada tahun 1973, dicanangkan program vaksinasi selama 1 tahun . Vaksin yang dipakai pada program ini adalah vaksin aktif strain Cina . Vaksinasi masal dilakukan terhadap semua babi berumur diatas 2 minggu . Setelah vaksinasi masal, vaksinasi tambahan dilakukan terhadap babi yang berumur 6-8 minggu dan babi yang didatangkan dari luar daerah . Jumlah kasus penyakit terlihat langsung menurun setelah 2 minggu pelaksanaan vaksinasi masal, dan kasus penyakit praktis tidak ditemukan lagi setelah 5 bulan (TERPSTRA dan ROBIJNS, 1977) . Setelah berakhir program vaksinasi 1 tahun, HC di daerah yang tadinya enzootik berhasil diberantas .


Kesimpulan
       Penyakit HC merupakan salah satu penyakit yang sangat penting di seluruh dunia. Sejak pertama kali ditemukan sekitar dua abad yang lalu sampai sekarang penyakit ini tetap merupakan penyakit epizootik disebagian besar dunia . Walaupun virus penyebab penyakit ini hanya satu serotype saja dan vaksin yang efektif telah tersedia sejak lama, banyak negara mengalami kesulitan untuk membebaskan negaranya dari penyakit ini . Kesulitan tersebut kemungkinan berhubungan dengan sulitnya mencegah masuknya olahan daging babi yang tercemar virus HC dari luar negeri . Kemungkinan kedua adalah kesufitan dalam memberantas penyakit HC pada babi liar atau babi hutan, dan mencegah penularan dari babi liar ke babi piaraan. Oleh Karen itu selain vaksinasi dibutuhkan barrier keamanan yang menyeluruh dengan mengimplementasikan manajemen beternak babi secara benar. Adapun hal yang harus diperhatikan meliputi : kandang harus dalam keadaan kering dan bersih, pemilihan bibit harus benar, komposisi pakan harus sesuai dengan berat badan dan  program vaksinasi disesuaikan dengan petunjuk dari Dinas Peternakan.


Sumber :
Kramer, M ., Ahl, R., Teuffert, J., Kroschewski, K., Schluter, H . and Otte, J . 1995 . Classical swine fever in Germany - some epidemiological aspects. Proc. meeting Soc. Vet. Epid. Prev. Med, University of Reading, UK: 110 -118.
O.I.E. 2014. Classical Swine Fever (Hog Cholera). O.I.E Terrestrial Manual. Chapter 2.8.3.
Penrith, M., Vosloo, W., dan Mather, C. 2011. Classical Swine Fever (Hog Cholera):
              Review of Aspect Relevant to Control. Australian Animal Health Laboratory.
Tarigan, S., Bahri, S., dan Sarosa, A. 1997. Hog Cholera pada Babi. Balai Penelitian Veteriner Bogor.

Natih, K., Nuryani, N., dan Alam, J. 2012. Deteksi Virus Hog Cholera dengan End Method. Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan. Bogor.


DOWNLOAD PDF : Strategi Pengendalian Penyakit Hog Cholera Pada Ternak Babi


0 komentar:

Post a Comment