Wednesday, January 18, 2017

Dampak Pemanasan Global Terhadap Produktivitas Ternak Babi



Timbulnya pemanasan global dipermukaan bumi akan mempengaruhi semua komponen lingkungan, baik abiotic (factor fisik dan kimia) maupun biotik (semua interaksi di antara (perwujudan) makanan, air, predasi, penyakit serta interaksi social dan seksual.
Faktor lingkungan abiotik adalah faktor yang paling berperan dalam menyebabkan stres fisiologis (Yousef, 1984). Komponen lingkungan abiotik utama yang pengaruhnya nyata terhadap ternak adalah temperatur, kelembaban (Yousef, 1984 ; Chantalakhana dan Skunmun, 2002), curah hujan (Chantalakhana dan Skunmun, 2002), angin dan radiasi matahari (Yousef, 1984 ; Cole and Brander, 1986).
Perubahan temperatur lingkungan  mempengaruhi produksi ternak melalui empat cara:
a)     Dampak terhadap perubahan ketersedian  dan harga bahan pakan ( biji-bijian, tepung ikan dll)
b)    Dampaknya terhadap produksi dan kualitas padang rumput dan hijauan makanan ternak
c)     Perubahan dalam distribusi hama dan penyakit ternak dan pengaruh langsung dari cuaca dan temperatur ekstrim  terhadap kesehatan
d)    Pertumbuhan dan reproduksi ternak.  (Smith et al, 1996).  

Pengaruh peningkatan  temperatur lingkungan bukan hanya berdampak secara   tunggal, akan tetapi  dapat  mempunyai  multiefek terhadap  faktor abiotik lainnya, seperti  radiasi,  kelembaban, angin,  dan faktor lainnya.  Hal ini menyebabkan  kesukaran dalam mengukur parameter  dan menganalisis data  hasil – hasil penelitian tentang pemanasan global di lapangan.
Pengaruh tidak langsung  dari perubahan temperatur lingkungan   pada performans ternak  terutama mengahasilkan  perubahan kualitas dan kuantitas   nutrisi pakan ternak.  Hasil penelitian menduga bahwa perubahan dalam iklim  akan mempengaruhi  kualitas dan kuantitas hijiauan makanan ternak yang dihasilkan (Top dan Doyle, 1996).

Di sinilah kita harus menyadari bahwa telah dan akan terjadi masalah terhadap pemanfaatan sumber daya alam kita, yaitu mulainya terlihat adanya pergeseran-pergeseran yang menuju ke arah deforestrasi dan degeneratif. Khususnya di sektor kesehatan hewan dan peternakan, sangat terlihat terjadinya penurunan produktivitas dan munculnya berbagai penyakit hewan, termasuk penyakit zoonosis (penyakit yang dapat menular dari dan ke manusia), misalnya anthraks, flu burung (Avian Influenza, AI), dan sebagainya. Hal ini sungguh berdampak pada kebutuhan pangan nasional, khususnya protein hewani dan juga kesehatan manusia maupun hewan.

   1.  Dampak Pemanasan Global di Sektor Peternakan Babi
Pengaruh pemanasan global terhadap produktivitas ternak dapat berdampak langsung dan tidak langsung. Pengaruh langsung meliputi : perubahan suhu tubuh yang mengakibatkan perubahan suhu darah yang memasuki daerah hipotalamus; dan juga perubahan suhu tubuh menyebabkan perubahan aktivitas metabolisme, produksi susu menurun dan timbulnya beberapa penyakit. Sedangkan pengaruh tidak langsung adalah perubahan nafsu makan atau konsumsi pakan, sehingga ketersediaan zat-zat pakan organik dan anorganik untuk produktivitas ternak berkurang dan proses fisiologi dalam tubuh.

Pengaruh Pada Babi


Babi akan menghasilkan produksi yang baik bila berada dalam kondisi nyaman. Nyaman dalam arti ternak babi dapat melangsungkan hidupnya tanpa berpengaruh pada produksi yang diharapkan peternak. Karena saat ternak tidak merasa nyaman, maka akan terjadi perubahan status faal yang dapat diamati peternak. Ini menjadi indicator dalam mendeteksi produksi ternak yang menurun.

  a.  Dampak Terhadap Proses Fisiologis
Pada prinsipnya peningkatan  temperatur tubuh  akibat peningkatan  temperatur lingkungan akan mempengaruhi  dua faktor, yaitu  kecepatan  reaksi kimia  dalam tubuh dan peningkatan aktivitas  enzimatik (Proser, 1991; Rieutort, 1986).  Temperatur merupakan salah satu ukuran dari agitasi molekul yag mengontrol tingkat reaksi molekuler dan salah satu faktor yang membatasi pelepasan energi dan pertumbuhan organisma.  Bila terjadi  peningkatan temperatur lingkungan maka  akan menyebabkan  perubahan  terhadap temperatur tubuh  yang akhirnya mempengaruhi  kecepatan reaksi biokimia  dalam tubuh ternak tersebut, sehingga   temperatur dari suatu sistem kimia meningkat,  kecepatan reaksi akan meningkat juga
Ternak babi yang mengalami stress panas akibat meningkatnya temperature lingkungan, fungsi kelenjar tiroidnya akan terganggu. Hal ini akan mempengaruhi selera makan dan penampilan (MC Dowell, 1972). Stress panas kronik juga menyebabkan penurunan konsentrasi growth hormone dan glukokortikoid. Pengurangan konsentrasi hormon ini, berhubungan dengan metabolism elektrolit tersebut. Pada ternak yang menderita stress panas, kalium yang disekresikan melalui keringat tinggi menyebabkan pengurangan konsentrasi aldosterone (Anderson, et al. 1985).
Pengaruh langsung temperature yang tinggi terhadap ternak babi. Pada temperature tinggi beberapa babi masih dapat bertahan hidup namun dalam jangka waktu yang relative singkat. Hal ini dibuktikan oleh penelitian G.I Christison dan kolega yang menguji seekor babi dengan bobot badan 25kg untuk diekspos pada lingkungan bertemperatur 38°C selama 15 menit. Suhu rektal babi awal adalah 39,1°C naik menjadi 42,8°C. 30 menit kemudian suhu ingkunga dinaikkan hingga 44,8°C. setelah mencapai puncak suhu tadi, suhu diturunkan sedikit (±5°C) namun ternak babi tersebut mati 20 menit kemudian (Christison, 1968). Hal ini menunjukkan bahwa satu tekanan lingkungan yang ekstrim saja, yaitu cekaman panas  (heat shock) sudah dapat membunuh seekor babi.
Masih dari penelitian Christison, 5 menit setelah kematian (post mortem), diambil cuplikan darah babi tersebut dan didapat hasil keasaman darah mencapai pH 7,37 menunjukkan darah menjadi lebih asam dari kondisi pH normalnya 7,46. Asam laktat (menunjukkan hasil sisa metabolisme) sebanyak 99 mg/100 ml darah, padahal normalnya hanya 11 mg/100 ml. Hal ini menunjukkan terjadinya metabolism yang tinggi, padahal ternak tidak melakukan kegiatan aktif apapun. Artinya dalam keadaan diam pada kondisi tertekan panas, tubuh akan bekerja keras hanya untuk mempertahankan suhu tubuh saja (homeostasis). Apalagi bila dalam kondisi harus berproduksi, maka produksi dipastikan tidak akan optimal.

 b.  Dampak Terhadap Proses Reproduksi
Tingginya temperature lingkungan akan menyebabkan cekaman panas (heat shock) dan akan lebih diperparah lagi dampaknya bila kelembapan udara tinggi sehingga dapat menyebabkan penurunan tingkat kebuntingan pada babi betina. Cekaman panas juga menyebabkan lambatnya pubertas pada babi muda, tidak timbulnya birahi pada induk babi, menekan aktivitas birahi, menyebabkan aborsi dan meningkatkan kematian anak sebelum disapih.
Penurunan fertilitas terutama disebabkan oleh naiknya  temperatur tubuh yang mempengaruhi fungsi ovarium, ekspresi berahi, kesehatan oosit dan perkembangan embrio (Biggers et al., 1987; Lucy, 2002).  Alasan lain untuk  gangguan performans reproduksi pada babi selama  temperatur lingkungan naik termasuk penurunan  intensitas berahi, gagalnya ovulasi, kekurangan implantasi, disintegrasi  embrio dan  aborsi fetus. 
Perlu dicatat bahwa dampak negative pemanasan global bukan hanya terjadi pada babi betina, tetpai juga dapat mempengaruhi performa reproduksi babi jantan. Meningkatnya temperatur tubuh akibat naiknya temperatur lingkungan  menurunkan  kualitas  semen selama 8 minggu  setelah pejantan  mendapat  perlakuan  cekaman  panas dan menurunkan motilitas  spermatozoa babi, tetapi  pengaruh genetik (bangsa babi)  bukan faktor penting yang menentukan  kualitas  sperma yang diejakulasikan setelah mendapat  cekaman panas.
Pada tingkat embrio, pengaruh cekaman panas terhadap perkembangan embrio, mengurangi  jumlah embrio  tahap dua sel dan empat - delapan sel, tetapi tidak mempengaruhi perkembangan morula yang sedang tumbuh (Edward dan Hansen, 1997). Selanjutnya perkembangan oosit yang dibuahi menjadi embrio tahap dua sel tidak dipengaruhi cekaman panas, sebaliknya cekaman panas berpengaruh nyata terhadap perkembangan embrio dua sel menjadi tahap blastosis. Hal ini membuktikan bahwa  pengaruh meningkatnya temperature  terhadap perkembangan embrio lebih nyata menghambat pada  embrio babi tahap dua sel dibanding  pada tahap morulla.  Kemampuan tahap awal embrio untuk menahan penyimpangan dalam tingginya temperature merupakan hasil  perkembangan. Kemampuan yang berhubungan dengan perkembangan embrio dalam mentoleransi cekaman panas  adalah kapasitas memproduksi molekul-molekul  yang terlibat dalam perlindungan terhadap panas (temperature) seperti  heat shock protein (hsp) (Neuer et al., 1999) atau antiseluler (Arechiga et al., 1955) .  Protein hsp  merupakan protein yang muncul  setelah sel mengalami cekaman panas dan berfungsi menjamin  suatu perlindungan terhadap sel bila terjadi cekaman panas  berikutnya  dan  induksi cekaman lainnya (David dan Grongnet, 2001).  Terdapat tiga famili hsp berdasarkan  ukuran berat molekulnya, yaitu : 27 kDa, 70 kDa  dan 90 kDa.  Kawarsky dan King  (2001) dalam mengidentikasi  dan melokalisasi hsp 70 pada kultur oosit dan embryo babi melalui teknik  RT-PCR memperlihatkan bahwa  ekspresi  hsp 70 mRNA dibawah kontrol  cekaman panas dan embrio tahap awal  dapat merespon cekaman panas dengan munculnya  hsp 70 mRNA dan distribusi hsp 70 dalam plasma sel oosit dan oosit belum matang tidak dipengaruhi oleh pemaparan  peningkatan temperatur.  Protein ini berhubungan erat dengan  pembentukan benang chromatin meiotik yang menunjukkan  pernnya dalam menstabilkan  struktur sel.  Pada embrio  tahap  8 sel dan seterusnya dibawah kontrol kondisi cekaman panas, hsp 70 terutama berdistribusi dalam sitoplasma yang kelihatanya dalam bentuk agregat pada beberapa embrio yang mendapat  pemaparan  peningkatan suhu.

c.  Dampak Terhadap Produksi Susu
Penelitian Mullan dan kolega pada 2003 menunjukkan akibat cekaman panas terhadap produksi susu pada ternak babi betina pada masa laktasi/menyusui. Temperatur kandang yang melebihi ECT (Evaporative Critical Temperature/Temperatur Penguapan Kritis) dari babi betina periode laktasi menyebabkan berkurangnya Food intake (konsumsi pakan), pengeluaran air susu, performa reproduksi dan tingkat pertumbuhan anak babi. Hal ini diperkuat dengan bukti berupa penurunan penyerapan oksigen yang berkurang dari normal pada suhu 18°C sebanyak 523 ml/menit menjadi 411 ml/menit pada suhu 28°C. penurunan produksi yang terjadi adalah 25%, penurunan 40% konsumsi pakan. Maka didapat solusi untuk mempertahankan produksi laktasi adalah dengan mengurangi produksi panas yang dihasilkan ternak melalui manipulasi pakan, yaitu penguranagn serat dan lemak yang notabene menghasilkan panas lebih saat dicerna. Alternative lainnya adalah dengan memperluas area kulit yang basah untuk mengurangi produksi panas pada ternak babi. Cara sederhananya adalah dengan menyiram/membasahi kulit babi secara berkala.

d.  Dampak Terhadap Konsumsi Pakan
Pengaruh temperatur lingkungan tinggi dijabarkan oleh konsumsi oleh konsumsi air meningkat sedangkan konsumsi bahan kering menurun. Rendahnya konsumsi pakan pada ternak babi merupakan salah satu cara utama untuk beradaptasi terhadap temperatur merupakan salah satu cara untuk beradaptasi terhadap temperature lingkungan tinggi, akan tetapi umumnya disusul dengan penurunan performa produksi. Peningkatan  sedikit  daya cerna ketika temperatur tinggi tidak dapat menghindar dari kekurangan energi.  Namun  jika ternak mempunyai genotif  beradaptasi baik dengan jenis iklim tersebut, maka damapak  terhadap konsumsi pakan dan performans reproduksi sangat terbatas.  

e.  Dampak Terhadap Pertumbuhan
Lingkungan dengan suhu tinggi pada tahap prenatal sebelum anak babi lahir dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan fetus. babi-babi bunting yang dipelihara pada musim panas tanpa naungan menghasilkan anak-anak babi yang nyata mempunyai bobot badan lebih kecil.
A.F Fraser pada tahun 1970 meneliti kehidupan ternak babi di Jamaika. Hasilnya menunjukkan bahwa ternak didapat rentan terhadap cekaman panas di negeri yang hangat. Tekanan yang dilakukan adalah temperature lingkunga yang tinggi, penyinaran matahari, menghasilkan pertumbuhan babi lebih rendah dibandingkan jenis babi yang sama apabila dipelihara di Negara sub-tropis (Fraser, 1970).

Tabel 1. Efek temperature lingkungan terhadap pertumbuhan babi
Bobot Badan (kg)
Temperatur Lingkungan (oC)
4
10
16
21
27
32
38
43
45
0,60
0,62
0,72
0,91
0,89
0,64
0,18
-0,60
70
0,58
0,67
0,79
0,98
0,93
0,52
-0,09
-0,60
90
0,54
0,71
0,87
1,01
0,76
0,40
-0,35
-
115
0,50
0,76
0,94
0,97
0,68
0,28
-0,62
-
135
0,46
0,80
1,02
0,93
0,62
0,16
-0,88
-
160
0,43
0,85
1,09
0,90
0,55
0,15
-1,15
-

Suhu optimal bagi ternak babi berbeda menurut umur atau bobot badannya (Tabel 2) : anak babi yang baru lahir memerlukan suhu yang relatif tinggi, sedang babi dewasa memerlukan suhu yang relatif rendah.

Tabel 2.  Suhu Optimal Bagi Ternak Babi
Status Babi
Bobot Badan (kg)
Suhu Optimal
Baru Lahir
1-2
35
Menyusu
2-5
25-34
Lepas Sapih/fase bertumbuh
5-40
18-24
Fase bertumbuh-pengakhiran
40-90
12-22
Babi Buntung
130-250
14-20
Induk Menyusukan anak
130-250
5-18

Suhu atau temperature lingkungan mikro harus dimodifikasi agar sesuai dengan tuntutan hidup ternak babi yang dipelihara dalam kandang. Harus diusahakan agar mikroklimat dalam kandang serasi bagi kehidupan atau kebutuhan fisiologis babi. Bila suhu terlalu tinggi, babi akan kehilangan panas evaporatif (berkeringat atau terengah-engah), kosumsi makanan biasanya menurun, konsumsi air, minum meningkat, berusaha mencari kesejukan dan tingkah laku mungkin berubah, dan factor-faktor tersebut mengakibatkan gangguan produksi. Suhu lingkungan yang berbeda mengkibatkan pertumbuhan babi berbeda (Tabel 2 dan 3). Temperature yang telalu tinggi atau terlalu rendah akan mengganggu kehidupan babi, sebab babi akan bertumbuh baik di lingkungan zone termonetralnya, yakni berkisar antara 20-26oC.

Tabel 3.  Efek Temperature Lingkungan terhadap performans, karkas dan organ tubuh babi.


Temperatur Lingkungan (oC)

Kriteria
7
23
33
PBBH (kg)
0,64
0,61
0,40
KMH (kg)
1,61
1,33
0,91
KPM (G/F)
0,40
1,33
0,45
Masa daging
39,0
34,6
35,9
Bobot tiroid
112,8
76,0
57,6
Bobot adrenal
98,2
84,5
74,1

Sejauh ini pembahasan dapat dirangkum sebagai berikut: Suhu terlalu tinggi dapat menyebabkan kematian cepat pada ternak babi. Tidak seperti yang banyak dipresiksi, ternyata kelembapan tidak terlalu berpengaruh menimbulkan stress pada ternak babi. Iklim tropis lebih rentan menyebabkan stress bagi babi disbanding iklim subtropics. Perbedaan ukuran tubuh menjadikan strata social diantara para babi, menyebabkan penurunan kekebalan tubuh/imun pada ternak babi yang lebih kecil. Temperature tinggi juga merangsang ternak menjadi lebih agresif/agonistic. Temperature tinggi menyebabkan penurunan produksi susu, panting (pernafasan cepat) dan pertumbuhan anak babi yang lambat di awal. Sejauh ini ilmu lingkungan dapat memberi solusi, diantaranya adalah melalui pendinginan temperature kandang, penyiram dan modifikasi pakan untuk menyeimbangkan nutrisi ransum. Karena hal tersebut tidak berdampak buruk bagi lingkungan, tidak menimbulkan residu dan minim efek samping


0 komentar:

Post a Comment