Timbulnya pemanasan global dipermukaan bumi akan mempengaruhi semua komponen lingkungan, baik abiotic (factor fisik dan kimia) maupun biotik (semua interaksi di antara (perwujudan) makanan, air, predasi, penyakit serta interaksi social dan seksual.
Faktor lingkungan abiotik adalah faktor yang paling berperan
dalam menyebabkan stres fisiologis (Yousef, 1984). Komponen lingkungan abiotik
utama yang pengaruhnya nyata terhadap ternak adalah temperatur, kelembaban
(Yousef, 1984 ; Chantalakhana dan Skunmun, 2002), curah hujan (Chantalakhana
dan Skunmun, 2002), angin dan radiasi matahari (Yousef, 1984 ; Cole and
Brander, 1986).
Perubahan temperatur lingkungan mempengaruhi produksi
ternak melalui empat cara:
a)
Dampak terhadap perubahan ketersedian dan harga bahan
pakan ( biji-bijian, tepung ikan dll)
b)
Dampaknya terhadap produksi dan kualitas padang rumput dan
hijauan makanan ternak
c)
Perubahan dalam distribusi hama dan penyakit ternak dan pengaruh
langsung dari cuaca dan temperatur ekstrim terhadap kesehatan
Pengaruh peningkatan temperatur lingkungan
bukan hanya berdampak secara tunggal, akan tetapi dapat
mempunyai multiefek terhadap faktor abiotik lainnya, seperti
radiasi, kelembaban, angin, dan faktor lainnya. Hal ini
menyebabkan kesukaran dalam mengukur parameter dan menganalisis
data hasil – hasil penelitian tentang pemanasan global di lapangan.
Pengaruh tidak
langsung dari perubahan temperatur lingkungan pada performans
ternak terutama mengahasilkan perubahan kualitas dan
kuantitas nutrisi pakan ternak. Hasil penelitian menduga
bahwa perubahan dalam iklim akan mempengaruhi kualitas dan
kuantitas hijiauan makanan ternak yang dihasilkan (Top dan Doyle, 1996).
Di sinilah kita harus menyadari bahwa telah dan
akan terjadi masalah terhadap pemanfaatan sumber daya alam kita, yaitu mulainya
terlihat adanya pergeseran-pergeseran yang menuju ke arah deforestrasi dan
degeneratif. Khususnya di sektor kesehatan hewan dan peternakan, sangat
terlihat terjadinya penurunan produktivitas dan munculnya berbagai penyakit
hewan, termasuk penyakit zoonosis (penyakit yang dapat menular dari dan ke
manusia), misalnya anthraks, flu burung (Avian Influenza, AI), dan
sebagainya. Hal ini sungguh berdampak pada kebutuhan pangan nasional, khususnya
protein hewani dan juga kesehatan manusia maupun hewan.
1. Dampak Pemanasan Global
di Sektor Peternakan Babi
Pengaruh pemanasan global terhadap produktivitas
ternak dapat berdampak langsung dan tidak langsung. Pengaruh langsung meliputi
: perubahan suhu tubuh yang mengakibatkan perubahan suhu darah yang memasuki
daerah hipotalamus; dan juga perubahan suhu tubuh menyebabkan perubahan
aktivitas metabolisme, produksi susu menurun dan timbulnya beberapa penyakit.
Sedangkan pengaruh tidak langsung adalah perubahan nafsu makan atau konsumsi
pakan, sehingga ketersediaan zat-zat pakan organik dan anorganik untuk
produktivitas ternak berkurang dan proses fisiologi dalam tubuh.
Babi akan menghasilkan
produksi yang baik bila berada dalam kondisi nyaman. Nyaman dalam arti ternak
babi dapat melangsungkan hidupnya tanpa berpengaruh pada produksi yang
diharapkan peternak. Karena saat ternak tidak merasa nyaman, maka akan terjadi
perubahan status faal yang dapat diamati peternak. Ini menjadi indicator dalam
mendeteksi produksi ternak yang menurun.
a. Dampak Terhadap Proses Fisiologis
Pada prinsipnya
peningkatan temperatur tubuh akibat peningkatan temperatur
lingkungan akan mempengaruhi dua faktor, yaitu kecepatan
reaksi kimia dalam tubuh dan peningkatan aktivitas enzimatik
(Proser, 1991; Rieutort, 1986). Temperatur merupakan salah satu ukuran
dari agitasi molekul yag mengontrol tingkat reaksi molekuler dan salah satu
faktor yang membatasi pelepasan energi dan pertumbuhan organisma. Bila
terjadi peningkatan temperatur lingkungan maka akan
menyebabkan perubahan terhadap temperatur tubuh yang akhirnya
mempengaruhi kecepatan reaksi biokimia dalam tubuh ternak tersebut,
sehingga temperatur dari suatu sistem kimia meningkat,
kecepatan reaksi akan meningkat juga
Ternak babi yang mengalami stress panas akibat meningkatnya temperature lingkungan, fungsi kelenjar tiroidnya akan terganggu. Hal ini akan mempengaruhi selera makan dan penampilan (MC Dowell, 1972). Stress panas kronik juga menyebabkan penurunan konsentrasi growth hormone dan glukokortikoid. Pengurangan konsentrasi hormon ini, berhubungan dengan metabolism elektrolit tersebut. Pada ternak yang menderita stress panas, kalium yang disekresikan melalui keringat tinggi menyebabkan pengurangan konsentrasi aldosterone (Anderson, et al. 1985).
Pengaruh langsung temperature yang tinggi terhadap ternak babi. Pada temperature tinggi beberapa babi masih dapat bertahan hidup namun dalam jangka waktu yang relative singkat. Hal ini dibuktikan oleh penelitian G.I Christison dan kolega yang menguji seekor babi dengan bobot badan 25kg untuk diekspos pada lingkungan bertemperatur 38°C selama 15 menit. Suhu rektal babi awal adalah 39,1°C naik menjadi 42,8°C. 30 menit kemudian suhu ingkunga dinaikkan hingga 44,8°C. setelah mencapai puncak suhu tadi, suhu diturunkan sedikit (±5°C) namun ternak babi tersebut mati 20 menit kemudian (Christison, 1968). Hal ini menunjukkan bahwa satu tekanan lingkungan yang ekstrim saja, yaitu cekaman panas (heat shock) sudah dapat membunuh seekor babi.
Masih dari penelitian Christison, 5 menit setelah kematian (post mortem), diambil cuplikan darah babi tersebut dan didapat hasil keasaman darah mencapai pH 7,37 menunjukkan darah menjadi lebih asam dari kondisi pH normalnya 7,46. Asam laktat (menunjukkan hasil sisa metabolisme) sebanyak 99 mg/100 ml darah, padahal normalnya hanya 11 mg/100 ml. Hal ini menunjukkan terjadinya metabolism yang tinggi, padahal ternak tidak melakukan kegiatan aktif apapun. Artinya dalam keadaan diam pada kondisi tertekan panas, tubuh akan bekerja keras hanya untuk mempertahankan suhu tubuh saja (homeostasis). Apalagi bila dalam kondisi harus berproduksi, maka produksi dipastikan tidak akan optimal.
Ternak babi yang mengalami stress panas akibat meningkatnya temperature lingkungan, fungsi kelenjar tiroidnya akan terganggu. Hal ini akan mempengaruhi selera makan dan penampilan (MC Dowell, 1972). Stress panas kronik juga menyebabkan penurunan konsentrasi growth hormone dan glukokortikoid. Pengurangan konsentrasi hormon ini, berhubungan dengan metabolism elektrolit tersebut. Pada ternak yang menderita stress panas, kalium yang disekresikan melalui keringat tinggi menyebabkan pengurangan konsentrasi aldosterone (Anderson, et al. 1985).
Pengaruh langsung temperature yang tinggi terhadap ternak babi. Pada temperature tinggi beberapa babi masih dapat bertahan hidup namun dalam jangka waktu yang relative singkat. Hal ini dibuktikan oleh penelitian G.I Christison dan kolega yang menguji seekor babi dengan bobot badan 25kg untuk diekspos pada lingkungan bertemperatur 38°C selama 15 menit. Suhu rektal babi awal adalah 39,1°C naik menjadi 42,8°C. 30 menit kemudian suhu ingkunga dinaikkan hingga 44,8°C. setelah mencapai puncak suhu tadi, suhu diturunkan sedikit (±5°C) namun ternak babi tersebut mati 20 menit kemudian (Christison, 1968). Hal ini menunjukkan bahwa satu tekanan lingkungan yang ekstrim saja, yaitu cekaman panas (heat shock) sudah dapat membunuh seekor babi.
Masih dari penelitian Christison, 5 menit setelah kematian (post mortem), diambil cuplikan darah babi tersebut dan didapat hasil keasaman darah mencapai pH 7,37 menunjukkan darah menjadi lebih asam dari kondisi pH normalnya 7,46. Asam laktat (menunjukkan hasil sisa metabolisme) sebanyak 99 mg/100 ml darah, padahal normalnya hanya 11 mg/100 ml. Hal ini menunjukkan terjadinya metabolism yang tinggi, padahal ternak tidak melakukan kegiatan aktif apapun. Artinya dalam keadaan diam pada kondisi tertekan panas, tubuh akan bekerja keras hanya untuk mempertahankan suhu tubuh saja (homeostasis). Apalagi bila dalam kondisi harus berproduksi, maka produksi dipastikan tidak akan optimal.
b. Dampak Terhadap Proses Reproduksi
Tingginya temperature lingkungan akan menyebabkan
cekaman panas (heat shock) dan akan
lebih diperparah lagi dampaknya bila kelembapan udara tinggi sehingga dapat
menyebabkan penurunan tingkat kebuntingan pada babi betina. Cekaman panas juga
menyebabkan lambatnya pubertas pada babi muda, tidak timbulnya birahi pada
induk babi, menekan aktivitas birahi, menyebabkan aborsi dan meningkatkan
kematian anak sebelum disapih.
Penurunan fertilitas terutama disebabkan oleh naiknya temperatur tubuh yang mempengaruhi fungsi ovarium, ekspresi berahi, kesehatan oosit dan perkembangan embrio (Biggers et al., 1987; Lucy, 2002). Alasan lain untuk gangguan performans reproduksi pada babi selama temperatur lingkungan naik termasuk penurunan intensitas berahi, gagalnya ovulasi, kekurangan implantasi, disintegrasi embrio dan aborsi fetus.
Perlu dicatat bahwa dampak negative pemanasan global bukan hanya terjadi pada babi betina, tetpai juga dapat mempengaruhi performa reproduksi babi jantan. Meningkatnya temperatur tubuh akibat naiknya temperatur lingkungan menurunkan kualitas semen selama 8 minggu setelah pejantan mendapat perlakuan cekaman panas dan menurunkan motilitas spermatozoa babi, tetapi pengaruh genetik (bangsa babi) bukan faktor penting yang menentukan kualitas sperma yang diejakulasikan setelah mendapat cekaman panas.
Pada tingkat embrio, pengaruh cekaman panas terhadap perkembangan embrio, mengurangi jumlah embrio tahap dua sel dan empat - delapan sel, tetapi tidak mempengaruhi perkembangan morula yang sedang tumbuh (Edward dan Hansen, 1997). Selanjutnya perkembangan oosit yang dibuahi menjadi embrio tahap dua sel tidak dipengaruhi cekaman panas, sebaliknya cekaman panas berpengaruh nyata terhadap perkembangan embrio dua sel menjadi tahap blastosis. Hal ini membuktikan bahwa pengaruh meningkatnya temperature terhadap perkembangan embrio lebih nyata menghambat pada embrio babi tahap dua sel dibanding pada tahap morulla. Kemampuan tahap awal embrio untuk menahan penyimpangan dalam tingginya temperature merupakan hasil perkembangan. Kemampuan yang berhubungan dengan perkembangan embrio dalam mentoleransi cekaman panas adalah kapasitas memproduksi molekul-molekul yang terlibat dalam perlindungan terhadap panas (temperature) seperti heat shock protein (hsp) (Neuer et al., 1999) atau antiseluler (Arechiga et al., 1955) . Protein hsp merupakan protein yang muncul setelah sel mengalami cekaman panas dan berfungsi menjamin suatu perlindungan terhadap sel bila terjadi cekaman panas berikutnya dan induksi cekaman lainnya (David dan Grongnet, 2001). Terdapat tiga famili hsp berdasarkan ukuran berat molekulnya, yaitu : 27 kDa, 70 kDa dan 90 kDa. Kawarsky dan King (2001) dalam mengidentikasi dan melokalisasi hsp 70 pada kultur oosit dan embryo babi melalui teknik RT-PCR memperlihatkan bahwa ekspresi hsp 70 mRNA dibawah kontrol cekaman panas dan embrio tahap awal dapat merespon cekaman panas dengan munculnya hsp 70 mRNA dan distribusi hsp 70 dalam plasma sel oosit dan oosit belum matang tidak dipengaruhi oleh pemaparan peningkatan temperatur. Protein ini berhubungan erat dengan pembentukan benang chromatin meiotik yang menunjukkan pernnya dalam menstabilkan struktur sel. Pada embrio tahap 8 sel dan seterusnya dibawah kontrol kondisi cekaman panas, hsp 70 terutama berdistribusi dalam sitoplasma yang kelihatanya dalam bentuk agregat pada beberapa embrio yang mendapat pemaparan peningkatan suhu.
Penurunan fertilitas terutama disebabkan oleh naiknya temperatur tubuh yang mempengaruhi fungsi ovarium, ekspresi berahi, kesehatan oosit dan perkembangan embrio (Biggers et al., 1987; Lucy, 2002). Alasan lain untuk gangguan performans reproduksi pada babi selama temperatur lingkungan naik termasuk penurunan intensitas berahi, gagalnya ovulasi, kekurangan implantasi, disintegrasi embrio dan aborsi fetus.
Perlu dicatat bahwa dampak negative pemanasan global bukan hanya terjadi pada babi betina, tetpai juga dapat mempengaruhi performa reproduksi babi jantan. Meningkatnya temperatur tubuh akibat naiknya temperatur lingkungan menurunkan kualitas semen selama 8 minggu setelah pejantan mendapat perlakuan cekaman panas dan menurunkan motilitas spermatozoa babi, tetapi pengaruh genetik (bangsa babi) bukan faktor penting yang menentukan kualitas sperma yang diejakulasikan setelah mendapat cekaman panas.
Pada tingkat embrio, pengaruh cekaman panas terhadap perkembangan embrio, mengurangi jumlah embrio tahap dua sel dan empat - delapan sel, tetapi tidak mempengaruhi perkembangan morula yang sedang tumbuh (Edward dan Hansen, 1997). Selanjutnya perkembangan oosit yang dibuahi menjadi embrio tahap dua sel tidak dipengaruhi cekaman panas, sebaliknya cekaman panas berpengaruh nyata terhadap perkembangan embrio dua sel menjadi tahap blastosis. Hal ini membuktikan bahwa pengaruh meningkatnya temperature terhadap perkembangan embrio lebih nyata menghambat pada embrio babi tahap dua sel dibanding pada tahap morulla. Kemampuan tahap awal embrio untuk menahan penyimpangan dalam tingginya temperature merupakan hasil perkembangan. Kemampuan yang berhubungan dengan perkembangan embrio dalam mentoleransi cekaman panas adalah kapasitas memproduksi molekul-molekul yang terlibat dalam perlindungan terhadap panas (temperature) seperti heat shock protein (hsp) (Neuer et al., 1999) atau antiseluler (Arechiga et al., 1955) . Protein hsp merupakan protein yang muncul setelah sel mengalami cekaman panas dan berfungsi menjamin suatu perlindungan terhadap sel bila terjadi cekaman panas berikutnya dan induksi cekaman lainnya (David dan Grongnet, 2001). Terdapat tiga famili hsp berdasarkan ukuran berat molekulnya, yaitu : 27 kDa, 70 kDa dan 90 kDa. Kawarsky dan King (2001) dalam mengidentikasi dan melokalisasi hsp 70 pada kultur oosit dan embryo babi melalui teknik RT-PCR memperlihatkan bahwa ekspresi hsp 70 mRNA dibawah kontrol cekaman panas dan embrio tahap awal dapat merespon cekaman panas dengan munculnya hsp 70 mRNA dan distribusi hsp 70 dalam plasma sel oosit dan oosit belum matang tidak dipengaruhi oleh pemaparan peningkatan temperatur. Protein ini berhubungan erat dengan pembentukan benang chromatin meiotik yang menunjukkan pernnya dalam menstabilkan struktur sel. Pada embrio tahap 8 sel dan seterusnya dibawah kontrol kondisi cekaman panas, hsp 70 terutama berdistribusi dalam sitoplasma yang kelihatanya dalam bentuk agregat pada beberapa embrio yang mendapat pemaparan peningkatan suhu.
c. Dampak Terhadap Produksi Susu
Penelitian Mullan dan
kolega pada 2003 menunjukkan akibat cekaman panas terhadap produksi susu pada
ternak babi betina pada masa laktasi/menyusui. Temperatur kandang yang melebihi
ECT (Evaporative Critical Temperature/Temperatur
Penguapan Kritis) dari babi betina periode laktasi menyebabkan berkurangnya Food intake (konsumsi pakan),
pengeluaran air susu, performa reproduksi dan tingkat pertumbuhan anak babi.
Hal ini diperkuat dengan bukti berupa penurunan penyerapan oksigen yang
berkurang dari normal pada suhu 18°C sebanyak 523 ml/menit menjadi 411 ml/menit pada suhu
28°C.
penurunan produksi yang terjadi adalah 25%, penurunan 40% konsumsi pakan. Maka
didapat solusi untuk mempertahankan produksi laktasi adalah dengan mengurangi
produksi panas yang dihasilkan ternak melalui manipulasi pakan, yaitu
penguranagn serat dan lemak yang notabene menghasilkan panas lebih saat
dicerna. Alternative lainnya adalah dengan memperluas area kulit yang basah
untuk mengurangi produksi panas pada ternak babi. Cara sederhananya adalah
dengan menyiram/membasahi kulit babi secara berkala.
d. Dampak Terhadap Konsumsi Pakan
Pengaruh temperatur lingkungan tinggi dijabarkan
oleh konsumsi oleh konsumsi air meningkat sedangkan konsumsi bahan kering
menurun. Rendahnya konsumsi pakan pada ternak babi merupakan salah satu cara
utama untuk beradaptasi terhadap temperatur merupakan salah satu cara untuk
beradaptasi terhadap temperature lingkungan tinggi, akan tetapi umumnya disusul
dengan penurunan performa produksi. Peningkatan sedikit daya cerna
ketika temperatur tinggi tidak dapat menghindar dari kekurangan energi.
Namun jika ternak mempunyai genotif beradaptasi baik dengan jenis
iklim tersebut, maka damapak terhadap konsumsi pakan dan performans
reproduksi sangat terbatas.
e. Dampak Terhadap Pertumbuhan
Lingkungan
dengan suhu tinggi pada tahap prenatal sebelum anak babi lahir dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan fetus. babi-babi bunting yang
dipelihara pada musim panas tanpa naungan menghasilkan anak-anak babi yang
nyata mempunyai bobot badan lebih kecil.
A.F Fraser pada tahun 1970 meneliti kehidupan ternak babi di Jamaika. Hasilnya menunjukkan bahwa ternak didapat rentan terhadap cekaman panas di negeri yang hangat. Tekanan yang dilakukan adalah temperature lingkunga yang tinggi, penyinaran matahari, menghasilkan pertumbuhan babi lebih rendah dibandingkan jenis babi yang sama apabila dipelihara di Negara sub-tropis (Fraser, 1970).
A.F Fraser pada tahun 1970 meneliti kehidupan ternak babi di Jamaika. Hasilnya menunjukkan bahwa ternak didapat rentan terhadap cekaman panas di negeri yang hangat. Tekanan yang dilakukan adalah temperature lingkunga yang tinggi, penyinaran matahari, menghasilkan pertumbuhan babi lebih rendah dibandingkan jenis babi yang sama apabila dipelihara di Negara sub-tropis (Fraser, 1970).
Tabel 1. Efek temperature lingkungan terhadap pertumbuhan babi
Bobot Badan (kg)
|
Temperatur Lingkungan (oC)
|
|||||||
4
|
10
|
16
|
21
|
27
|
32
|
38
|
43
|
|
45
|
0,60
|
0,62
|
0,72
|
0,91
|
0,89
|
0,64
|
0,18
|
-0,60
|
70
|
0,58
|
0,67
|
0,79
|
0,98
|
0,93
|
0,52
|
-0,09
|
-0,60
|
90
|
0,54
|
0,71
|
0,87
|
1,01
|
0,76
|
0,40
|
-0,35
|
-
|
115
|
0,50
|
0,76
|
0,94
|
0,97
|
0,68
|
0,28
|
-0,62
|
-
|
135
|
0,46
|
0,80
|
1,02
|
0,93
|
0,62
|
0,16
|
-0,88
|
-
|
160
|
0,43
|
0,85
|
1,09
|
0,90
|
0,55
|
0,15
|
-1,15
|
-
|
Suhu optimal bagi ternak babi berbeda menurut umur atau bobot badannya (Tabel 2) : anak babi yang baru lahir memerlukan suhu yang relatif tinggi, sedang babi dewasa memerlukan suhu yang relatif rendah.
Tabel 2. Suhu Optimal
Bagi Ternak Babi
Status Babi
|
Bobot Badan (kg)
|
Suhu Optimal
|
Baru Lahir
|
1-2
|
35
|
Menyusu
|
2-5
|
25-34
|
Lepas Sapih/fase bertumbuh
|
5-40
|
18-24
|
Fase bertumbuh-pengakhiran
|
40-90
|
12-22
|
Babi Buntung
|
130-250
|
14-20
|
Induk Menyusukan anak
|
130-250
|
5-18
|
Suhu atau
temperature lingkungan mikro harus dimodifikasi agar sesuai dengan tuntutan
hidup ternak babi yang dipelihara dalam kandang. Harus diusahakan agar
mikroklimat dalam kandang serasi bagi kehidupan atau kebutuhan fisiologis babi.
Bila suhu terlalu tinggi, babi akan kehilangan panas evaporatif (berkeringat
atau terengah-engah), kosumsi makanan biasanya menurun, konsumsi air, minum
meningkat, berusaha mencari kesejukan dan tingkah laku mungkin berubah, dan
factor-faktor tersebut mengakibatkan gangguan produksi. Suhu lingkungan yang
berbeda mengkibatkan pertumbuhan babi berbeda (Tabel 2 dan 3). Temperature yang
telalu tinggi atau terlalu rendah akan mengganggu kehidupan babi, sebab babi
akan bertumbuh baik di lingkungan zone termonetralnya, yakni berkisar antara
20-26oC.
Tabel 3. Efek Temperature Lingkungan terhadap
performans, karkas dan organ tubuh babi.
Temperatur Lingkungan (oC)
|
|||
Kriteria
|
7
|
23
|
33
|
PBBH (kg)
|
0,64
|
0,61
|
0,40
|
KMH (kg)
|
1,61
|
1,33
|
0,91
|
KPM (G/F)
|
0,40
|
1,33
|
0,45
|
Masa daging
|
39,0
|
34,6
|
35,9
|
Bobot tiroid
|
112,8
|
76,0
|
57,6
|
Bobot adrenal
|
98,2
|
84,5
|
74,1
|
Sejauh ini pembahasan dapat dirangkum sebagai berikut: Suhu terlalu tinggi dapat menyebabkan kematian cepat pada ternak babi. Tidak seperti yang banyak dipresiksi, ternyata kelembapan tidak terlalu berpengaruh menimbulkan stress pada ternak babi. Iklim tropis lebih rentan menyebabkan stress bagi babi disbanding iklim subtropics. Perbedaan ukuran tubuh menjadikan strata social diantara para babi, menyebabkan penurunan kekebalan tubuh/imun pada ternak babi yang lebih kecil. Temperature tinggi juga merangsang ternak menjadi lebih agresif/agonistic. Temperature tinggi menyebabkan penurunan produksi susu, panting (pernafasan cepat) dan pertumbuhan anak babi yang lambat di awal. Sejauh ini ilmu lingkungan dapat memberi solusi, diantaranya adalah melalui pendinginan temperature kandang, penyiram dan modifikasi pakan untuk menyeimbangkan nutrisi ransum. Karena hal tersebut tidak berdampak buruk bagi lingkungan, tidak menimbulkan residu dan minim efek samping
0 komentar:
Post a Comment