Meningkatkan
produksi daging merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan
sekaligus memajukan tingkat kecerdasan sumber daya manusia Indonesia.Daging
sapi adalah sumber protein hewani yang kontribusinya dalam memenuhi kebutuhan
konsumen nasional baru sekitar 23% (Luthan, 2006).
Pogram swasembada
daging memerlukan upaya terobosan yang efektif serta dukungan yang memadai dari
pemerintah dan masyarakat, khususnya yang bergerak di bidang usaha sapi potong.
Peningkatan
produktivitas sapi potong memerlukan strategi khusus dalam program pemberian
pakan, karena biaya pakan pada sebuah usaha peternakan mencapai 70–80% dari
biaya operasional usaha.
Selain
harus berkualitas, pakan juga harus ekonomis supaya dapat memberikan keuntungan
bagi peternak, namun di Indonesia, pakan yang diberikan ke sapi potong pada
umumnya sesuai dengan kemampuan peternak; bukan sesuai dengan kebutuhan
ternaknya.
Pakan
hijauan bervariasi jenis dan jumlahnya sedangkan pakan penguat diberikan dalam
jumlah yang tidak menentu dan diberikan dalam jumlah banyak saat musim panen,
sebaliknya sangat terbatas pada musim tanam (Aryogi et al., 2000).
Pasokan pakan berkualitas rendah merupakan
hal yang biasa, yang apabila terjadi secara terus menerus dalam waktu yang
cukup lama akan berpengaruh negatip terhadap produktivitas.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis
menyusun artikel ini dengan
harapan dapat menjadi tambahan wawasan yang bermanfaat bagi masyarakat
veteriner.
A. Bahan Pakan dan Bahan Penyusun Ransum Seimbang.
Di dalam Ilmu Makanan Ternak terdapat
beberapa istilah penting yang perlu dipahami diantaranya adalah :
1. Zat Nutrien
Zat
nutrien adalah zat-zat gizi di dalam bahan pakan yang sangat diperlukan untuk
hidup ternak meliputi protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin dan air
(Tillman et al., 1998).
2. Bahan Pakan.
Bahan
pakan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan dan dapat dicerna sebagian atau
seluruhnya tanpa mengganggu kesehatan ternak yang memakannya (Tillman et al.,
1998). Bahan
pakan terdiri dari 2 kelompok, yaitu bahan pakan asal tanaman dan asal non
tanaman (ternak atau ikan). Berdasarkan sifat fisik dan kimianya dibedakan
menjadi 8 klas yaitu : hijauan kering dan jerami, tanaman padangan rumput, hijauan
segar, silage dan haylage; sumber energi; sumber protein; suplemen vitamin,
mineral; aditif dan non aditif (Kellems and Church, 1998). Kualitas
suatu bahan pakan ditentukan oleh kandungan zat nutrien atau komposisi
kimianya, serta tinggi rendahnya zat antinutrisi yang terkandung di dalamnya
(Soejono et al., 2006).
3. Ransum (Pakan).
Merupakan
campuran dari dua atau lebih bahan pakan yang diberikan untuk seekor ternak
selama sehari semalam. Ransum harus dapat memenuhi kebutuhan zat nutrien yang
diperlukan ternak untuk berbagai fungsi tubuhnya, yaitu untuk hidup pokok,
produksi maupun reproduksi (Siregar, 1995). Pada
umumnya ransum untuk ternak ruminansia
terdiri dari pakan hijauan dan pakan konsentrat. Pakan pokok (basal)
dapat berupa rumput, legum, perdu, pohon – pohonan serta tanaman sisa panen;
sedangkan pakan konsentrat antara lain berupa biji-bijian, bungkil, bekatul dan
tepung ikan.
4. Ransum Seimbang.
Adalah
ransum yang diberikan selama 24 jam yang mengandung semua zat nutrien (jumlah
dan macam nutriennya) dan perbandingan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi
sesuai dengan tujuan pemeliharaan ternak (Chuzaemi, 2002). Pengetahuan tentang kualifikasi bahan pakan diperlukan
untuk menyusun ransum seimbang. Penyusunan ransum seimbang yang sesuai dengan
kebutuhan ternak, diharapakan akan dapat menghasilkan produksi yang optimal.
B. Strategi Penyusunan Ransum Seimbang.
Ransum
yang seimbang sesuai dengan kebutuhan ternak merupakan syarat mutlak
dihasilkannya produktivitas yang optimal. Penyusunan ransum tidak boleh
merugikan peternak, misalnya peningkatan berat badan yang tidak dapat memenuhi
target, salah pemberian pakan karena terlalu banyak dalam memperkirakan
kandungan nutrien pakan ataupun karena adanya zat anti nutrisi.
Terdapat
tiga (3) macam metode yang biasa digunakan dalam penyusunan formula ransum
yaitu pearson square method, least cost
formulation dan trial and error. Pearson square method adalah
metode penyusunan pakan yang berasal dari perhitungan 4 macam bahan. Least cost formulation adalah penyusunan
ransum ekonomis dengan dasar linear programming. Metode trial and error dapat dilakukan peternak dengan cara mengubah –
ubah komposisi (persentase) bahan pakan dalam ransum dengan mempertimbangkan
kriteria rasional, ekonomis dan aplikatip. Saat ini telah pula tersedia
beberapa software atau program yang dapat digunakan untuk penyusunan formula
ransum seperti MIXID atau aplikasi EXCEL. Selanjutnya untuk penyampuran bahan
pakan terutama dalam membuat konsentrat, dapat dilakukan secara manual atau
dengan menggunakan mesin.
C. Metode Pemberian Pakan dan
Penyusunan Ransum Sapi Potong.
PH rumen harus stabil untuk
efisiensi rumen yang maksimum. Jika
hewan memakan atau diberi makan konsentrat terlebih dahulu, mereka akan
memproduksi sedikit air liur dan oleh karena itu rumen akan lebih asam. Dengan
memberi makanan kasar dahulu, ternak sudah akan memproduksi air liur untuk
menyeimbangkan porsi konsentrat makanan mereka.
Pakan
kasar harus dipotong dengan panjang yang benar antara 2,5 dan 3 cm untuk
pemamahbiakan yang memadai. Jika panjang
potongan terlalu panjang, hewan harus mengunyah lebih banyak untuk memutusnya
sehingga menurunkan asupan makan. Jika panjang potongan terlalu pendek, tidak
akan merangsang memamah biak. Selain itu pencampuran ransum harus sempurna tanpa gumpalan besar salah satu
komponen-terutama ketika memberi makan urea yang dapat berpotensi menjadi
racun. Jika ransum tidak tercampur dengan baik, ganti pisau pencampur atau
seluruh mixer.
Pakan
yang sudah lama dan basah akan menumbuhkan jamur, terutama di daerah tropis
yang hangat dan lembab. Walaupun kebanyakan jamur mungkin hanya mengurangi
asupan, tetapi beberapa dapat menghasilkan mikotoksin yang dapat berakibat
fatal.
Pemberian
pakan untuk sapi potong umumnya diberikan menurut jenis kelamin (jantan atau
betina), berat badan, taraf pertumbuhan/status fisiologis (pedet, sapihan,
bunting dan lain – lain) serta tingkat produksi, yaitu :
1. Sapi Dara
Usaha
pembesaran sapi dara di tingkat peternakan rakyat masih belum banyak dilakukan
karena dipandang belum menguntungkan dan biayanya mahal. Pemeliharaan sapi dara
merupakan bagian penting dalam upaya pengembangan sapi potong karena merupakan
calon penghasil bakalan. Peningkatan efisiensi usaha pemeliharaan sapi potong
dara perlu dilakukan melalui efisiensi biaya pakan.
Perkembangan
organ reproduksi terjadi selama masa pertumbuhan sehingga status
fisiologis sapi dara harus benar – benar
diperhatikan, karena kekurangan gizi
dapat menyebabkan tidak berfungsinya ovarium (Matondang et al, 2001) sebaliknya bisa mengalami gangguan reproduksi seperti
terjadinya kegagalan kebuntingan dan terjadinya kemajiran bila berat badan sapi
meningkat secara berlebihan (Wijono, 1992).
Pembesaran
sapi dara berhubungan erat dengan efisiensi reproduksi; keberhasilannya tergantung pada pola
pemeliharaan yang 95% dipengaruhi oleh pakan, kesehatan dan faktor lingkungan.
Menurut Kuswandi et al., (2003) berat badan minimal 250 kg pada waktu
kawin pertama jarang tercapai pada umur
15 bulan. Hal tersebut diduga disebabkan oleh rendahnya potensi pertumbuhan
calon induk atau kurang terpenuhinya pakan.
Terpenuhinya
zat nutrisi yang dibutuhkan ternak diharapkan sapi dara akan mengalami pubertas
pada umur yang tepat dan pada kondisi yang optimal. Pada kondisi tubuh yang
optimal pada saat kawin, diharapkan dapat memperkecil kemungkinan kegagalan
perkawinan sehingga yang secara tidak langsung akan memperpendek jarak beranak
(calving interval).
Menurut
Umiyasih et al. (2003) PBBH optimal untuk sapi dara yaitu 0,5
kg/hari dapat tercapai apabila jumlah pemberian bahan kering pakan pada sapi
dara adalah 3% dari berat badan. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa konsentrat
yang mengandung PK 12% dan TDN sebanyak 60% ideal digunakan sebagai pakan
penguat pada sapi potong dara karena selain menghasilkan PBBH yang optimal
untuk sapi potong juga menghasilkan nilai ekonomis yang tinggi.
Kebutuhan
zat nutrien untuk sapi dara dengan bobot badan 300 kg dengan kenaikan berat
badan 500 g/hari ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kebutuhan zat nutrien sapi dara BB 300 kg.
BB
(kg)
|
PBBH
|
BK (kg)
|
TDN
(kg)
|
PK
(g)
|
Ca
(g)
|
P
(g)
|
300
|
0.5
|
7,1
|
3.8
|
423
|
14
|
14
|
Berdasarkan
kebutuhan zat nutrient, bahan pakan penyusun ransum yang dsesuai adalah jerami
padi, dedak halus kampung dan bungkil kelapa. Konsumsi jerami padi dibatasi
1,33 % berat badan. Selanjutnya dilakukan perhitungan kandungan zat – zat
makanan dan dibandingkan dengan kebutuhan zat nutrien (Tabel 2).
Tabel 2.
Perbandingan kebutuhan zat nutrien dengan yang tersedia oleh bahan pakan.
Uraian
|
BK (kg)
|
TDN (kg)
|
PK (g)
|
Ca
|
P
|
Jerami padi
|
4
|
2,4
|
96
|
8
|
3
|
Dedak halus
|
2,06
|
1,25
|
130
|
14
|
31
|
Bungkil kelapa
|
1,05
|
0,82
|
209
|
3
|
7
|
Jumlah
|
7,11
|
4,47
|
435
|
25
|
41
|
Kebutuhan
|
7,1
|
3.8
|
423
|
14
|
14
|
Perbandingan
Ca : P yang ideal adalah 1 : 1. Untuk mencapai perbandingan tersebut, maka di
dalam ransum harus ditambahkan kalsium karbonat (CaCO3). Sumber CaCO3
yang mudah di dapat adalah dolomit atau kapur. CaCO3 mengandug
Ca 36%. Untuk mencapai keseimbangan tersebut, maka di dalam ransum
harus ditambahkan kapur sebanyak : (41 – 25)/ 0,36 = 44,44 gram.
Untuk perhitungan susunan ransum sapi dara dalam bentuk
segar adalah sebagai berikut :
- Jerami
padi = (100/60) x 4 kg = 6,67
kg
- Dedak
halus = (100/86) x 2,06 = 2,44 kg
- bungkil
kelapa = (100/86) x 1,05 = 1,22 kg
2. Sapi Induk Bunting Muda
Kebutuhan
pakan sapi bunting diperlukan untuk pembentukan jaringan-jaringan baru seperti
janin, membrana janin, pembesaran uterus dan perkembangan glandula mammary (kelenjar susu). Namun standart pemberian pakan
untuk sapi bunting hanya untuk 1/3 masa
kebuntingan terakhir, sedangkan pada masa kebuntingan sebelumnya dapat
menggunakan standar pakan untuk kebutuhan pokok sapi dewasa biasa (Tillman et al., 1998). Sapi betina muda yang
bunting juga masih mengalami pertumbuhan badan, sehingga pemberian pakan harus
menjamin tercukupinya kebutuhan untuk pertumbuhan jaringan selama terjadi
kebuntingan dan pertumbuhan induk semangnya (Tillman et al., 1998).
Kebutuhan
karbohidrat selama kebuntingan sangat besar, karena dibutuhkan energi dalam
jumlah besar. Kebutuhan mineral terbanyak pada saat terjadinya kebuntingan
adalah kalsium dan fosfor karena dibutuhkan untuk pembentukan tulang janin.
Pemberian pakan pada ternak ruminansia harus menjamin pemenuhan kebutuhan
vitamin A dan D. Sapi bunting membutuhkan juga pemenuhan kebutuhan vitamin A
sebagai cadangan selama laktasi nantinya.
Penggunaan
dedak sebagai pakan penguat pada sapi induk bunting muda sebanyak 2 % berat
badan berdasarkan kebutuhan bahan kering dengan penambahan suplemen yang
mengandung kalsium, fosfat dan vitamin ADEK dapat menghasilkan PBBH 0,7 kg dan
perbandingan keuntungan- biaya produksi B/C yang tinggi yaitu 2,7.
3. Sapi Induk Bunting Tua
Hingga Laktasi.
Sistem
pemeliharaan pada peternakan rakyat yang intensif dikandangkan menyebabkan
jumlah pakan yang dikonsumsi sangat tergantung pada pakan yang tersedia di
kandang. Affandhy et al. (2003)
menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara jumlah pakan yang tersedia
dengan jumlah tenaga kerja keluarga. Pemberian pakan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan ternak tetapi sesuai dengan kemampuan peternak merupakan salah satu
faktor penyebab rendahnya produktivitas.
Rendahnya
kualitas ransum dalam tiga bulan awal setelah beranak; khususnya protein kasar
(PK) yang hanya sekitar 50 – 65% dari kebutuhan merupakan penyebab tidak
optimalnya lama waktu periode birahi setelah melahirkan( anoestrus post partus). Sedangkankekurangan BK dan TDN ini
mengakibatkan terjadinya penurunan berat induk yang sedang laktasi rata-rata
sebesar 0,36 kg/ekor serta tidak mampu meningkatkan berat pedet.
Oleh
sebab itu, pemanfaatan sumber pakan asal biomass lokal disertai dengan
teknologi peningkatan nilai nutrien, misalnya melalui suplementasi merupakan
alternatif pilihan. Suplementasi dengan menggunakan daun tanaman leguminosa
pohon dan semak selama dua bulan pertama setelah beranak merupakan salah satu
alternatif untuk memperpendek periode APP (Yusran et al., 1998).
4. Sapi Jantan.
Ransum
sapi yang digemukkan ditujukan untuk membentuk daging dan lemak badan. Untuk
itu ransum harus mengandung protein dan energi yang memenuhi kebutuhan untuk
pertumbuhan, pemeliharaan tubuh serta dan pembentukan lemak. Penggemukan oleh
perusahaan swasta, dilakukan tergantung daerah dan persediaan bahan pakan serta
musim.
Di
Indonesia, peternak membeli sapi – sapi jantan muda yang beratnya kurang 200
kg. Penggemukan dilakukan 5-6 bulan menggunakan sistem kereman. Pakan yang
diberikan berupa rumput dan konsentrat yang terdiri dari campuran dedak dan ubi
kayu yang diparut. Keuntungan lain yang diperoleh dari penggemukan sistem
kereman adalah berupa pupuk kandang.
Penggemukan oleh perusahaan swasta
dilakukan tergantung daerah dan persediaan bahan pakan serta musim. Sistem
penggemukan tersebut adalah :
a. Penggemukan di Padang Rumput
(Pasture Fattenning).
Penggemukan
pada sistem ini dilakukan dengan jalan menggembalakan di padang rumput
(pastura) yang luas. Padang rumput biasanya merupakan campuran antara rumput
dengan leguminosa. Kualitas rumput dari padang rumput harus berkualitas tinggi
sehingga tidak perlu ditambahan konsentrat. Penggemukan yang menggunakan sistem
ini dapat dilakukan didaerah – daerah yang mempunyai padang rumput yang luas
seperti Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Sulawesi
Tenggara. Padang rumput harus selalu dipelihara dengan melakukan tata laksana
penggembalaan yang baik yaitu dengan menentukan kapasitas daya tampung sehingga
tidak terjadi over grazing.
Penggemukan di padang rumput biasanya berumur 2 tahun dengan lama penggemukan 6
– 8 bulan.
b. Penggemukan dengan Pakan
Kering (Dry Lot Fattening).
Penggemukan
pada sistem ini mengutamakan pemberian pakan biji-bijian seperti jagung, limbah
pengolahan minyak (bungkil) dan konsentrat. Pemberian pakan pada sistem ini
disebut dry lot feeding.
c. Kombinasi
Antara Dry Lot Fattening dan Pasture Fattening.
Penggemukan
sistem ini dilakukan di daerah tropis pada musim kering. Pada permulaan musim
kering di mana padang rumput masih hijau, sapi digembalakan di padang rumput
kemudian pada akhir musim kering penggemukan dilakukan dengan cara dry lot fattening.
Sapi jantan dengan BB 300 kg dengan PBBH 1
kg membutuhkan zat – zat makanan tertera pada Tabel 3.
Tabel 3. Kebutuhan zat nutrien sapi jantan BB 300 kg dengan PBBH 1 kg
Tabel 3. Kebutuhan zat nutrien sapi jantan BB 300 kg dengan PBBH 1 kg
Uraian
|
BK
(Kg)
|
PK
(g)
|
TDN
(kg)
|
Ca
(g)
|
P
(g)
|
Kebutuhan
zat nutrien sapi jantan dengan berat badan 300 kg PBBH 1 kg
|
7,6
|
535
|
5,2
|
21
|
18
|
Berdasarkan
kebutuhan zat nutrient maka bahan pakan penyusun ransum adalah jerami padi,
dedak halus kampung, gaplek dan bungkil kelapa. Konsumsi BK adalah 3% berdasar
berat badan. Imbangan hijauan dan konsentrat adalah 20 : 80, penggunaan bungkil
kelapa dibatasi 10% dari konsentrat. Jika dibandingkan dengan kebutuhannya
(Tabel 4).
Tabel 4. Perbandingan kebutuhan zat nutrien dengan yang tersedia oleh bahan pakan.
Uraian
|
BK (kg)
|
TDN
(kg)
|
DP (g)
|
Ca
|
P
|
Jerami padi
|
1,80
|
1,06
|
40,00
|
3,78
|
1,44
|
Dedak halus
|
3,14
|
1,90
|
200,00
|
20,00
|
50,00
|
Bungkil kelapa
|
1,44
|
0,95
|
310,00
|
4,32
|
9,65
|
Gaplek
|
1,22
|
0,84
|
20,00
|
1,22
|
0,49
|
Jumlah
|
7,60
|
4,75
|
570,00
|
29,32
|
61,58
|
Kebutuhan
|
7,60
|
5,2
|
535
|
21
|
18
|
Selisih
|
0
|
-0,45
|
+35
|
+8,32
|
43,58
|
Untuk
mengatasi kekurangan energi (TDN) sebesar 0,45 kg, bisa digunakan molases atau
tetes. Tetes mengandung BK 66 % dan TDN 96%. Jadi kekurangan TDN sebesar 0,45
kg (450 g) terdapat dalam tetes sebanyak
= (450/ 96) x 100 g = 469 g
Perbandingan
Ca : P yang ideal adalah 1 : 1. Untuk mencapai perbandingan tersebut, maka di
dalam ransum harus ditambahkan CaCO3. Sumber CaCO3 yang
mudah di dapat adalah dolomit atau kapur. CaCO3 mengandung Ca 36%.
Untuk mencapai keseimbangan tersebut, maka ditambahkan kapur sebanyak
:(61,58 –29,32)/ 0,36 = 89,61 gram
Perhitungan
susunan ransum sapi jantan dalam bentuk segar adalah sebagai berikut :
- Jerami padi
|
=
(100/60) x 1,8 kg = 3,12 kg
|
- Dedak halus
|
= (100/86) x 3,14 = 3,64 kg
|
- Bungkil kelapa
|
= (100/86) x 1,44 = 1,67 kg
|
- Gaplek
|
= (100/86) x 1,22 =
1,42 kg
|
- Tetes
|
= (100/66) x 469 = 712,9 g
|
D. Rancangan Tempat Pemberian Pakan.
Desain yang baik akan menghasilkan
tempat pemberian pakan yang menjamin kesejahteraan hewan yang baik, penambahan
berat badan yang efisien dan pengelolaan pemberian pakan serta limbah yang
efektif dengan masalah manajemen yang minimal. Rancangan yang buruk dapat
menghambat pengoperasian dan manajemen pemberian pakan untuk keseluruhan
kelangsungan tempat pemberian pakan tersebut.
Sapi selalu harus memiliki akses bebas terhadap
pakan dan air minum. Bak pakan harus dipasang sepanjang bagian depan kandang,
sedangkan bak air harus terletak di bagian belakang kandang. Setiap hewan harus
memiliki minimal ruang 200 mm ruang di bak pakan.
1. Bak Pakan
Konfigurasi bak dan kabel / rel
harus memungkinkan ternak untuk mencapai semua pakan. Sisi kandang dari bak
harus bulat dan lebih rendah untuk memungkinkan akses yang lebih baik untuk
memberi pakan sementara sisi jalan dari bak harus lebih tinggi untuk meminimalkan
tumpahan pakan selama pengiriman. Kedua muka luar bak harus vertikal untuk
mencegah menumpuknya pakan dan kotoran yang tumpah, dan untuk membantu
pembersihan kandang. Kandang harus miring menjauhi bak pakan.
Bak pakan perlu dibersihkan
untuk memastikan pakan segar dan bebas dari kontaminasi. Semua sudut di bagian
dalam bak harus bulat untuk mencegah pakan basi dari pengumpulan, dan untuk
membantu operasi pembersihan tanpa hambatan dari kabel gantung.
2.
Bak Air Minum
Sapi
ternak harus memperoleh persediaan air minum bersih yang konstan. Periksa
setiap hari untuk aliran air yang sesuai dan untuk kebocoran atau air mengalir
berlebihan di saluran minum sapi, dan memperbaiki masalah dengan segera.
Bahan
bak air minum yang baik adalah dari beton karena merupakan bahan yang paling
kuat dan tahan lama. Baja dapat berkarat dan plastik dapat rusak oleh ternak
dan mesin. Bak harus tertutup di bawah dengan sisi vertikal untuk mencegah
kotoran menumpuk bawahnya.
Sistem retikulasi harus dapat
memberikan 5-6 liter / ekor / jam dengan pipa yang terlindung dari sinar
matahari langsung untuk menjaga air tetap dingin. Pipa harus dilindungi dari
kerusakan oleh ternak dan mesin, terutama jika digunakan bahan yang rentan
seperti PVC.
Bak air perlu dibersihkan
secara teratur dengan air kotor dibuang dari kandang. Bak harus memiliki lubang
keluaran (outlet) pembilasan dengan sumbat yang dapat dilepas untuk mengalirkan
air dengan cepat. Akses harus memungkinkan untuk membersihkan menggunakan kuas.
Kesimpulan
-
Tidak
ada formulasi bahan yang baku. Dengan mengkombinasikan bahan pakan yang
tersedia serta penggunaan suplemen dari bahan pakan lokal diharapkan akan
tercipta ransum yang murah tetapi mampu memberikan hasil yang optimal.
-
Desain
tempat pemberian pakan yang baik akan menjamin kesejahteraan hewan, penambahan
berat badan yang efisien dan pengelolaan pemberian pakan yang efektif dengan
masalah manajemen yang minimal.
Sumber :
Affandhy L., D.
Pamungkas, M.A. Yusran, D.B. Wijono, Gunawan, W. Kadarisman, Suhariyono,
Soekirno, Rustamadji dan A. Sutardjo.
2003. Pembentukan Bibit Komersial Sapi Potong Sistem Persilangan. Loka
Penelitian Sapi Potong. Badan Litbang Pertanian. Unpublish.
Anggraeny, Y.N. dan
U.Umiyasih. 2003. Tinjauan Tentang Karakteristik Tatalaksana Pakan, Kaitannya
dengan Limbah Tanaman Pangan pada Usaha Sapi Potong Rakyat di Kabupaten
Lumajang. Proseding Seminar Nasional Pengembangan Sapi Lokal. Fakultas
Peternakan. Universitas Brawijaya. Malang.
Anggraeny Y.N.A, U.
Umiyasih dan D. Pamungkas. 2005. Pengaruh Suplementasi Multinutrien terhadap
Performance Sapi Potong yang Memperoleh Jerami jagung. Prosiding Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan. Bogor.
Aryogi, U. Umiyasih,
D.B. Wijono dan D.E. Wahyono. 2000. Pengkajian Rakitan Teknologi Penggemukan
Sapi Potong, Prosiding Seminar Hasil Penelitian/Pengkajian BPTP Karangploso.
T.A. 1998/1999. No.3. BPTP Karangploso. Malang.
Chuzaemi. S. 2002 Arah
dan sasaran penelitian nutrien sapi potong di Indonesia. Workshop Sapi Potong.
Lolit Sapi Potong. Unpublish.
Chaniago, T. D., A.
Bamualim and C. Liem. 1993. Draught animal system in Nusa Tenggara Timur. In
Draught animal system and management: An Indonesian study ACIAR monograph 19: 4
– 10.
Cohen, R.D.H., Garden,
D.L. dan Langlands J.P. 1980. A note on the relationship between live weight
and the incidence of oestrus in Hereford heiferss. Journal of Animal
production.
Diwyanto, K. 2003.
Pengelolaan plasma Nutfah untuk mendukung industri sapi potong berdaya saing.
Proc. Seminar Pengembangan sapi Lokal. Fakultas Peternakan. Universitas
Brawijaya Malang.
Kearl .1982.. Nutrien
Requirement of Ruminant in Developing Countries.
Kuswandi, Chalid talib,
A.R. Siregar dan Tatit Sugiarti. 2003. Manajemen pemberian Pakan pada Sapi Dara
FH Calon Induk. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
Mariyono, D.B. Wijono
dan Hartati. 2005 Perbaikan Teknologi Pemeliharaan Sapi PO Induk sebagai Upaya
Peningkatan Produktivitas Induk dan Turunannya pada Usaha Peternakan Rakyat.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
Mukasa-Mugerwa, E. 1989.
A review of reproductive performance of female bos indicus (zebu) cattle. in: Monograph No. 6 International
Livestock centre for Africa. Addis Ababa.
Preston T.R., and R.A.
Leng. 1987. Matching Ruminant Production System With Available Resources in the
Tropic and Sub Tropic. Penambul Book. Armidale.
Ranjhan S. K. 1981. Animal Nutrition in the Tropies. Vikas Publishing House. PVT.
Ltd.New Delhi,.
Soejono M, R. Utomo,
S.P.S. Budhi dan A. Agus. 2002. Mutu Pakan Sapi Potong Ditinjau dari Kebutuhan
Nutrisi. Koordinasi Pengawasan Mutu Pakan. Dinas Peternakan Propinsi Jawa
Timur. Surabaya.
Soetirto, E. 1997.
Pemberdayaan Peternakan Rakyat dan Industri Peternakan Rakyat Menuju Pasar
Bebas,
Syamsu, J. A., L. A.
Sofyan, K. Mudikdjo dan E. G. Said. 2003. Daya Dukung Limbah Pertanian Sebagai
Sumber Pakan Ternak Ruminansia di Indonesia. Wartazoa.
Tillman, Hartadi. H,
Rekso Hadiprojo. S., Prawirokusumo, Lebdosoekodjo. 1998. Ilmu Makanan Ternak
Dasar. Gadjah Mada University Press. Fakultas Peternakan UGM.
Utomo, R., S.
Reksohadiprodjo, B.P. Widyobroto, Z. Bachrudin dan B. Suhartanto 1999.
Sinkronisasi Degradasi Energi dan Protein dalam Rumen pada Ransum Basal Jerami
padi untuk Meningkatkan Efisiensi Kecernaan Nutrien Sapi Potong. Laporan
Penelitian Komprehensif HB V. Proyek Pengkajian dan Penelitian Ilmu Pengetahuan
Terapan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Winugroho M. 2002.
Strategi Pemberian Pakan Tambahan untuk memperbaiki Efisiensi Reproduksi Induk
Sapi. Jurnal Litbang Pertanian. Vol. 21. No 1.
Yusdja, Y.N. Ilham dan
W.K. Sejati. 2003. Profil dan Permasalahan Peternakan dalam : Forum Penelitian
Agroekonomi. Puslitbang Sosek Pertanian. Bogor.
Yusran, M.A., T.
Purwanto, B. Suryanto, M.Sabrani, M. Winugroho and E. Teleni. 1998. Application
of surge feeding for improving the post partum an estrus of ongole cows calve
in rainy season in dry land of East Java. Seminar the 2 nd ISTAP, Juli 1998.
Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.
Jual murah Singkong sortir (krucil), Kulit Singkong dan Bonggol Singkong bagus untuk pakan ternak sapi perah, penggemukan sapi potong, Kambing, Domba, unggas dan Babi. Hub. Bpk HERU "BEJO UTOMO FARM" MALANG - JAWA TIMUR Hp/Wa 081334272800 blog saya di https://malangkambingdombasuper.blogspot.com/2018/12/jual-kulit-singkong-dan-bonggol.html?m=1
ReplyDelete