Usaha
peternakan di Indonesia kedepannya dihadapkan pada persaingan yang makin tajam.
Di dalam negeri sendiri, usaha peternakan yang berbasis lahan (land-based livestock farming) akan
bersaing dengan usaha pertanian non-peternakan dalam penggunaan sumerdaya lahan
dan tenaga kerja, baik tanaman semusim maupun tanaman tahunan. Apabila
kebijakan pemerintah lebih terfokus pada peningkatan produksi pangan dengan
alasan ketahanan pangan, maka usaha peternakan berbasis lahan diperkirakan akan
makin tergseser.
Produk-produk
peternakan Indonesia juga akan bersaing dengan produk-produk sejenis asal luar
negeri, terutama daging dan susu. Kesepakatan di bidang pertanian (Agreement on Agriculture, AoA), yang
merupakan bagian dari kesepakatan umum di bidang tarif dan perdagangan (General Agreement on Tarif and Trade, GATT)
Putara Uruguay dalam wadah Organisasi Perdagangan Dunia (Wold Trade Organization, WTO), telah mentargetkan pencapaian
perdagangan bebas pada tahun 2010 di Negara maju dan tahun 2020 di Negara sedang
berkembang. Ini berarti bahwa jika kesepakatan di bidang pertanian itu
benar-benar dilaksanakan, maka perdagangan komoditas pertanian (termasuk
peternakan) pada tahun 2020 akan sepenuhnya bebad di semua Negara. Semua
hambatan akses pasar, dukungan domestic dan subsidi ekspor harus dihapus karena
tidak sesuai dengan prinsip pasar bersaing bebas. Peranan pemerintah terbatas
hanya menetapkan aturan main dan standar guna mendukung terciptanya pasar
bersaing bebas sempurna.
Jika
demikian halnya, maka untuk memenangkan persaingan usaha peternakan Indonesia
harus mempunyai daya saing yang makin kuat, utamanya dalam mengahdapi
persaingan dengan produk-produk sejenis asal luar negeri. Daya saing itu
mungkin berbeda-beda menurut jenis ternaknya, seperti ternak ruminansia (besar
dan kecil) seperti sapi pedaging, sapi perah, kerbau, kuda, kambing dan domba
dan ternak non-ruminansia yaitu babi dan unggas.
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang : (1) Perkembangan struktur
produksi dan usaha peternakan; (2) Prospek agribisnis peternakan; (3) Ancaman
dan peluang perdagangan dunia; dan (4) arah kebijakan pengembangan untuk
meningkatkan daya saing usaha peternakan Indonesia.
PROSPEK AGRIBISNIS PETERNAKAN
Secara
fungsional dan cita rasa, kebutuhan konsumsi produk peternakan amat berbeda
dari produk tanaman pangan, walaupun sama-sama bahan pangan. Oleh karena itu,
karakteristik permintaan terhadap kedua kelompok bahan pangan tersebut juga
amat berbeda. Produk tanaman pangan merupakan sumber utama karbohidrat,
sedangkan produk peternakan merupakan sumber utama protein. Permintaan terhadap
produk tanaman pangan bersifat inferior atau normal, yaitu menurun atau
meningkat lambat bila pendapatan konsumen meningkat, sedangkan permintaan
terhadap produk-produk peternakan bersifat normal atau “mewah”, yaitu meningkat
cepat atau bahkan lebih cepat dari laju peningkatan pendapatan konsumen. Oleh
karna itu, sesuai dengan hokum Bennett, struktur
konsumsi bahan pangan bergeser dari dominan bahan utama karbohidrat (produk
tanaman pangan), ke bahan utama protein (peternakan) seiring dengan peningkatan
pendapatan konsumen.
Konsumsi
per kapita produk peternakan akan cenderung meningkat, sedangkan konsumsi per
kapita produk tanaman pangan akan cenderung menurun. Kecenderungan perubahan
pola konsumsi tersebut bisa lebih cepat karena didorong oleh urbanisasi dan
peningkatan pengetahuan masyarakat tentang gizi. Perpaduan antara peningkatan
konsumsi per kapita dan pertambahan penduduk akan menyebabkan permintaan
terhadap produk peternakan mengalami akselerasi, yaitu meningkat dengan laju
makin cepat. Artinya, prospek pasar produk peternakan akan cenderung membaik
seiring dengan kemajuan ekonomi yang terefleksi dalam dua indicator kunci,
yaitu : (a) Kapasitas volume absorbsi pasar semakin besar, dan (b) harga pasar
cenderung meningkat, setidaknya relative terhadap produk tanaman pangan.
Prospek
pasar yang membaik secara cepat merupakan kekuatan penarik yang cukup besar
sebagai landasan terjadinya revolusi peternakan (Livestock Revolution) di Negara-negara sedang berkembang, termasuk
Indonesia, sebagaimana dikemukakan oleh Delgado et al (1999). Revolusi
peternakan dicirikan oleh akselerasi pertumbuhan produksi peternakan.
Peternakan akan menjadi sumber utama pertumbuhan baru sector pertanian,
menggantikan tanaman pangan yang tumbuh pesat pada decade tahun 1970an sampai
1980an yang ditopang oleh inovasi teknologi Revolusi Hijau.
Di
Indonesia, revolusi peternakan di perkiraan telah berlangsung sejak awal tahun
1980-an. Seperti yang ditujukkan pada Tabel 2.1, laju pertumbuhan subsector
peternakan melonjak dari 2,02% per tahun, atau yang terendah dalam lingkup
sector pertanian pada periode tahun 1967-1978, menjadi 6,99% per tahun atau
yang tertinggi pada periode 1978-1986. Namun pada tahun 1998 pertumbuhan
subsector peternakan anjlok hingga -13,94% sebagai akibat dari krisis multi
dimensi ekonomi social politik. Walaupun telah pulih ke level sebelum krisis,
pertumbuhan subsektor peternakan masih tetap dalam fase pertumbuhan rendah
seperti halnya perekonomian Indonesia secara agregat. Subsector peternakan akan
kembali mengalami akselerasi bilamana laju pertumbuhan ekonomi kembali ke fase
pertumbuhan tinggi.
Tabel 1. Laju Pertumbuhan Sektor Pertanian
Menurut Subsektor (%tahun)
Subsetor
|
1967-1978
|
1978-1986
|
1986-1997
|
1998-1999
|
2000-2003
|
Peternakan
|
2,02
|
6,99
|
5,78
|
-3,89
|
3,13
|
Tanaman Pangan
|
3,58
|
4,95
|
1,90
|
2,01
|
0,52
|
Perkebunan
|
4,53
|
5,85
|
6,23
|
0,98
|
5,02
|
Perikanan
|
3,44
|
5,15
|
5,36
|
3,99
|
4,18
|
Sumber : Statistik Indonesia
(BPS)
Jika
diperhatikan bahwa akselerasi pertumbuhan PDB subsector peternakan praktis
hanya berasal dari produksi daging dan telur ayam ras. Produksi daging ternak
lainnya tumbuh lambat, amat jauh lebih kecil dari laju pertumbuhan daging ayam
ras dan telur ayam. Dengan demikian, revolusi peternakan yang terjadi di
Indonesia amat terbatas pada peternakan ayam ras, sehingga lebih tepat disebut
sebagai Revolusi Peternakan Ayam Ras, karena belum terjadi untuk peternakan
lainnya.
Gambaran
diatas menunjukkan bahwa hanya agribisnis peternakan ayam ras yang mampu
memanfaatkan peluang pasar domestic yang tumbuh amat pesat seiring dengan
kemajuan pembangunan ekonomi Indonesia. Komoditas peternakan lainnya mengalami
kendala produksi sehingga impornya meningkat terus. Dilihat dari besaran dan
laju pertumbuhan volume impor, kendala produksi yang cukup berat nampaknya
terjadi pada daging sapi, kerbau dan susu.
Secara
singkat dapat dikatakan bahwa dilihat dari prospek pasar dalam negeri,
agribisnis peternakna memiliki peluang pengembangan yang amat baik, khususnya
untuk usaha peternakan non-ayam ras. Masalah yang dihadapi oleh para peternak
non-ayam ras adalah kendala produksi, bukan kendala pemasaran sebagaimana yang
kerap dihadapi agribisnis lainnya. Agribisnis usaha peternakan rakyat non-ayam
ras cenderung terperangkap dalam spiral pertumbuhan rendah, sehingga hanya
dapat didinamiskan melalui bantuan pemberdayaan dan fasilitasi pemerintah
antara lain penyediaan modal, dan introduksi inovasi teknologi dan inovasi
kelembagaan. Inovasi kelembagaan utamanya ialah pengembangan pola-pola
kemitraan antara usaha peternakan rumah tangga dengan suatu perusahaan skala
besar yang bertindak sebagai penghela. Pengembangan sistem integrasi tanaman
ternak juga dapat dipandang sebagai salah satu kebijakan yang tepat untuk
mengatasi atau memperlonggar kendala basis usaha dan modal bagi usaha ternak
rumah tanga.
ANCAMAN DAN PELUANG PERDAGANGAN DUNIA
Struktur,
perilaku dan kinerja pasar produk peternakan dunia amat dipengaruhi oleh
keunggulan komparatif sumberdaya, ekonomi (peningkatan penduduk), teknologi
pasca panen dan transportasi, prevalensi penyakit menular dan konfigurasi
lokasi geografis Negara produsen maupun konsumen. Oleh karena itu, kebijakan
Negara-negara produsen dan konsumen utama juga amat menetukan kinerja
perdagangan dunia. Factor-faktor ini dapat dipakai untuk menjelaskan pola dan
kecenderungan perubahan perdagangan produk peternakan dunia.
A.
Pola Perdagangan Dunia
Sebagian besar produksi, konsumsi dan perdagangan produk peternakan
dunia terkonsentrasi di beberapa Negara saja. Hampir 90% produksi dan 85%
konsumsi daging sapi berlokasi di 13 negara saja. Sekitar 55% daging sapi
dihasilkan dan dikonsumsi di Amerika Serikat yang juga merupakan produsen utama
dan 13% oleh Jepang dan Korea yang merupakan produsen terkecil dari 13 negara
produsen utama tersebut (Leuck, 2001). Selain terkonsentrasi, perdagangan susu
dunia juga amat tipis, hanya sekitar 5% dari total produksi.
Di samping terkonsentrasi pada sejumlah kecil Negara maju,
perdagangan produk peternakan dunia juga dikendalikan oleh sejumlah kecil
perusahaan multinasional berskala amat besar. Lima perusahaan terbesar memiliki
omset penjualan masing-masing lebih dari 10 milyar dollar AS per tahun, yang terbesar
mencapai 24 milyar dollar AS per tahun yan berarti melebihi total ekspor
Indonesia (Dyck and Nelson, 2003). Dengan struktur geografis dan perusahaan
pelaku yang demikian terkonsentrasi, pasar produk peternakan dunia amat jauh
dari persyaratan pasar yang bersaing sempurna.
Pasar produk peternakan global di dominasi secara geografia oleh dua
segmen pasar yaitu pasar “Atlantik”
dan pasar “Pasifik” yang pada
dasarnya merupakan refleksi dari sebaran geografis Negara-negara pelaku utama (dominant players). Negara-negara
importir utama adalah Negara maju yakni, Amerika Serikat, jepang, Uni Eropa,
Korea, Rusia, Cina, Kanada, New Zealand, Uni Eropa, Brazil, Argentina, India,
Thailand dan Cina. Perlu dicatat, bahwa Amerika Serikat, Uni ERopa, Cina dan
Kanada merangkap sebagai importer dan eksportir utama yang mengindikasikan “intra trade” dalam produk peternakan.
Intra product trade erupakan refleksi dari perbedaan preferensi dan keunggulan
komparatif dalam rantai pasok. Tidak saja secara geografis, pasar produk
peternakan tersegmentasi pula menurut jenis produk, sehingga secara keseluruhan
menciptakan struktur yang amat kompleks.
Oleh karena merupakan penghasil utama bahan biji-bijian maka usaha
peternakan di Amerika Utara dan Uni Eropa didominasikan oleh usaha ternak
intensif dengan pakan olahan berkualitas tinggi berbahan baku biji-bijian (high quality grain blended feed). Produk
peternakan “grain fed” umumnya
berkualitas tinggi. Australia, New Zealand dan negara-negara Amerika Selatan
(Brazil, Argentina, Uruguay) memiliki keunggulan komparatif dalam padang rumput
sehingga lebih banyak menghasilkan produk peternakan dengan pakan
rumput-rumputan (grass-fed). Produk
peternakan “grass-fed” umumnya
berkualitas rendah (Leuck, 2001; Dyck and Nelson, 2003) dengan segmen pasar
yang berbeda dari produk peternakan “grain-fed”.
Oleh karena itu, perbedaan keunggulan komparatif dalam sumberdaya
pakan merupakan salah satu penentu utama pola perdagangan dunia. Amerika
Serikat banyak mengekspor daging sapi dan susu “grain-fed” berkualitas tinggi, yang memang lebih banyak dihasilkan
utamanya ke Jepang dan Korea, dan mengimpor daging sapi “grass-fed” berkualitas rendah dari Australia, New Zealand, Uruguay,
Argentina dan Brazil. Amerika menjadi Negara eksportir sekaligus importer utama
daging sapi.
Selain dari keunggulan komparatif sumberdaya lahan, pola perdagangan
produk peternakan dunia amat ditentukan oleh teknologi dan ongkos penanganan
pasca panen. Kemajuan teknologi telah memungkinkan daging dapat di angkut jarak
jauh, bahkan lintas samudra dalam bentuk dingin (chilled), tidak beku (frozen),
tahan lebih lama dan dengan mutu yang tidak berbeda jauh dari daging segar.
Konsumen rumah tangga di negara-negara maju lebih menyukai daging dingin
daripada daging beku. Bahkan dalam beberapa tahun terkahir, kemajuan teknologi
telah memungkinkan perdagangan daging sapi siap saji (ready to eat and serve). Perubahan teknologi tersebut telah
mendorong perdagangan dunia makin kompleks. Sebagai gambaran, daging aya yang dihasilkan di Amerika Serikat
dikirim dalam bentuk utuh dan beku ke Cina, dimana selanjutnya dipotong-potong
dan diolah hingga siap saji dengan ongkos leih murah untuk selanjutnya dikirim
ke Jepang dimana permintaannya cukup besar.
Kemajuan teknologi pasca panen dan pengolahan juga telah menyebabkan
pergeseran komposisi produk daging dari bentuk beku ke dingin dan siap saji.
Hal ini mendorong spesialisasi negara pemasok (eksportir) bagi suatu Negara
importer. Sebagai gambaran, negara-negara pemasok daging sapi segar dan dingin,
Australia dan New Zealand daging beku, sementara Argentina dan Brazil daging
siap saji.
Selain spesialisasi pemasok untuk suatu Negara importer, Negara
eksportir juga melakukan spesialisasi Negara tujuan menurut jenis produk. Untuk
ekspor daging sapi Amerika Serikat misalnya, daging segar/dingin, terutama
dikirim ke Jepang dan Meksiko, daging beku ke Jepang dan Korea Selatan,
sedangkan yang siap saji ke Kanada (Tabel 3.1). spesialisasi produk menurut
pasar ekspor merupakan respon terhadap perbedaan pola permintaan yang
dimungkinkan oleh kemajuan teknologi pasca panen dan transportasi.
Tabel 2. Ekspor Daging Sapi Amerika Serikat Menurut
Jenis Produk dan Negara Tujuan, 2000
Uraian
|
Negara Tujuan
|
Total
|
||||
Jepang
|
Meksiko
|
Kanada
|
Korea Selatan
|
Lainnya
|
||
Jenis Daging (%)
-
Segar
-
Beku
-
Siap Saji
|
42,29
53,66
8,79
|
35,70
5,49
7,30
|
18,04
1,83
66,87
|
1,30
25,33
0,77
|
2,68
13,69
16,28
|
1,00
1,00
1,00
|
Nilai per unit ($/pon)
-
Segar/dingin
-
Beku
-
Siap saji
|
2,34
1,39
11,24
|
1,35
1,30
10,20
|
1,54
1,31
2,04
|
1,60
1,60
5,05
|
2,42
1,39
3,46
|
1,81
1,45
3,67
|
Sumber : Leuck (2001)
Pola dan
Perubahan preferensi konsumen juga amat berpengaruh terhadap pola dan perubahan
struktur perdagangan dunia. Konsumen di Amerika Serikat lebih menyukai dada
ayam daripada paha dan sayap ayam, apalgi jeroan dan kikil ayam. Sedangkan
jeroan dan kikil ayam praktis tidak bernilai. Berbeda dengan di Amerika
Serikat, konsumen di negara-negara Asia, banyak yang lebih menyukai paha ayam
daripada dada ayam, sayap, jeroan dan kikil ayam pun cukup dihargai. Oleh
karena itu, Amerika Serikat mengekspor paha, sayap, jeroan dan kikil ayam dalam
jumlah yang besar dan dengan harga yang relative murah termasuk ke Cina yang
merupakan salah satu Negara importer ayam utama di dunia. Bahkan Indonesia
telah merasa terancam oleh banjir impor paha ayam murah tersebut. Fenomena yang
sama terjadi pula untuk daging sapi mutu rendah serta jeroan sapid an babi.
Walaupun
potensinya cukup besar, pasar produk peternakan dunia yang amat terkonsentrasi
di negara-negara maju dikuasai oleh sejumlah kecil perusahaan multinasional
berskala mega, dan dengan permintaan yang semakin mengarah pada kualitas tinggi
(grain-fed), mungkin amat sukar untuk
dijadikan sebagai peluang pengembangan bagi agribsnis peternakan di Indonesia.
Bukannya peluang, pasar produk peternakan dunia mungkin lebih merupakan ancaman
bagi agribisnis peternakan di Indonesia. Bukti nyata mengenai hal ini antara
lain adalah fenomena banjir impor paha dan sayap ayam, daging sapi mutu rendah
dan jeroan ternak yang telah menimbulkan tekanan harga sehingga mengancam
eksistensi agribisnis peternakan domestik.
B.
Distorsi Kebijakan
Selain struktur dan perilakunya tidak mencerminkan pasar bersaing
sempurna, pasar produk peternakan dunia juga amat terdistorsi oleh berbagai
intervensi kebijakan akses pasar, dukungan domestic dan subsidi ekspor
Negara-negara pelaku pasar dominan, utamanya negara-negara maju. Tidak dapat
disangkal bahwa kesepakatan pertanian Uruguay di bidang Pertanian /WTO memang
telah berhasil mengurangi tingkat distorsi tersebut atau setidaknya meletakkan
landasan menuju liberalisasi pasar. Masalah utamanya ialah sejak awal, sebelum
kesepakatan dicapai, pasar dunia sudah terlalu terdistorsi, sementara
kesepakatan negara-negara WTO kuran disiplin dalam melaksanakan komitmen
masign-masing.
Tarif impor untuk produk-produk peternakan merupakan yang paling
tinggi di antara seluruh produk pertanian. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel
3. Secara umum, pagu tarif di negara-negara maju juga lebih tinggi daripada
di negara-negara sedang berkembang. Selain pagu komitmen yang amat tinggi, tarif
impor terapan (applied tarif) untuk
produk peternakan di negara-negara maju juga masih amat tinggi dan bahkan
umumnya cenderung meningkat. Hal ini berlaku untuk impor daging spai, ayam dan
babi namun tarif impor untuk daging domba mengalami penurunan kecil (Tabel 4)
Tabel 3. Komitmen Pagu Tarif Impor Pada Kesepakatan Pertanian Uruguay/WTO (%)
Komoditas
|
Rata-rata
|
Tarif/Rata-rata tarif global
|
||
OECD
|
Non-OECD
|
OECD
|
Non-OECD
|
|
Peternakan:
-
Susu
-
Daging beku
-
Daging segar
-
Daging Siap Saji
-
Daging lainnya
-
Ternak Hidup
|
116
106
96
92
82
82
|
74
75
73
68
69
66
|
1,9
1,7
1,5
1,5
1,3
1,3
|
1,2
1,2
1,2
1,1
1,1
1,1
|
Pakan
|
46
|
62
|
0,7
|
1,0
|
Pangan:
-
Gula tebu
-
Gula bit
-
Pemanis
-
Biji-bijian
-
Tepung-tepungan
-
Produk biji-bijian
|
52
104
64
78
84
85
|
64
64
70
66
64
67
|
0,8
1,7
1,0
1,3
1,3
1,4
|
1,0
1,0
1,1
1,1
1,0
1,1
|
Sayur-sayuran:
-
Sayur segar
-
Sayur kering &
umbi-umbian
-
Sayur beku
-
Siap saji
|
87
75
52
47
|
64
82
63
64
|
1,7
1,2
0,8
0,8
|
1,0
1,0
1,0
1,0
|
Buah-buahan:
-
Segar
-
Beku
-
Kering
-
Olahan
|
25
18
7
18
|
65
64
61
64
|
0,4
0,3
0,1
0,3
|
1,1
1,0
1,0
1,0
|
Sumber : Gibsom et al (2001)
Selain mengenakan tarif,
pada umumnya negara-negara maju juga menerapkan kuota untuk membatasi volume
impor (tarif rate quota). Secara umum
dapat dikatakan bahwa pasar produk peternakan dunia masih terdistorsi oleh
kebijakan tarif dan kuota oleh banyak negara, utamanya negara-negara maju yang
merupakan importer utama produk-produk peternakan. Pasar produk peternakan di
negara-negara maju amat sukar di akses negara-negara sedang berkembang,
termasuk Indonesia mengalami kesulitan dalam memanfaatkan peluang pasar produk
peternakan global.
Tabel 4. Tarif Impor Terapan Untuk Daging di
Negara-Negara Maju (%).
Daging
|
OECD
|
Uni Eropa
|
||
1986-1988
|
1999-2001
|
1986-1988
|
1999-2001
|
|
Sapi
|
33
|
35
|
59
|
84
|
Ayam
|
16
|
16
|
14
|
43
|
Babi
|
14
|
21
|
7
|
25
|
Domba
|
55
|
47
|
70
|
61
|
Sumber : Reeves, Quirke and Stoeckel (2003)
ARAH DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN USAHA PENINGKATAN DAYA SAING PETERNAKAN
INDONESIA
Dilihat
dari segi peluang pasar, pengembangan agribisnis peternakan memiliki prospek
yang baik, khususnya untuk memenuhi permintaan pasar domestic yang masih akan
terus mengalami akselerasi seiring dengan pertumbuhan ekonomi, pertambahan
jumlah penduduk dan peningkatan urbanisasi. Diproyeksikan bahwa pada tahun 2020
defisit produksi daging akan mencapai angka cukup besar yaitu 2,7 juta ton.
Pasar internasional mungkin belum dapat ditembus karena membutuhkan dukungan
sistem rantai pasok yang mampu menyediakan produk dengan mutu, volume dan waktu
terjamin. Oleh karena itu, pasar internasional di masa dating akan lebih
merupakan ancaman daripada kesempatan bagi agribisnis peternakan Indonesia.
Dilihat
dari sisi produksi, hanya usaha peternakan ayam, khususnya ayam ras pedaging dan
petelur yang mempunyai kemampuan paling tinggi untuk emmanfaatkan peluang pasar
domestic yang ada. Peternaka ayam ras telah berkembang menjadi suatu industri
yang cukup terintegrasi secara vertical dan amat dinamis karena didukung oleh
perusahaan berskala besar, termasuk perusahaan multinasional, khususnya di
segmen hulu (industri pakan dan DOC), yang bertindak sebagai motor penggerak
rantai pasok, sehingga disamping dapat memenuhi permintaan pasar domestic, juga
mempunyai daya saing yang cukup memadai. Sebaliknya, peternakan non-ayam ras
(sapi, sapi perah, kerbau, kambing, domba, babi, ayam buras) mengalami kendala
produksi sehingga selama ini telah terperangkap ke dalam titik keseimbangan
rendah (low equilibrium trap) Karen
didominasi oleh usaha peternakan rakyat skala kecil, bersifat sebagai usaha
sambilan dan dengan modal serta kapasitas manajemen terbatas.
Berdasarkan
analisis prospek pasar dan profil industri peternakan seperti di atas, maka
usaha pengembangan agribisnis peternakan disarankan agar difokuskan pada dua
program, yaitu: (a) Pemantapan dan perluasan industri peternakan ayam ras; dan
(b) Akselerasi pertumbuhan aneka usaha peternakan (non ayam ras).
Pemantapan
dan perluasan industri ayam ras meliputi pembenahan sistem rantai pasok
integrative sehingga lengkap, padu-padan dan sinergis dalam satu alur vertical
serta bersaing sehat antar rantai pasok. Perluasan dilakukan dengan
pengembangan rantai pasok di wilayah bahan baku khususnya di luar Jawa dan
Sumatera. Pengembangan industru ayam ras dapat dilaksanakan oleh swasta secara
mandiri. Peranan pemerintah difokuskan pada pengelolaan pasar, utamanya untuk
melindungi industri ayam dalam negeri dari tekanan persaingan pasar global yang
tidak adil, mencegah persaingan tidak sehat antar perusahaan di pasar dalam
negeri, seta pengembangan sistem pencegahan dan penanggulangan wabah penyakit
menular, serta infrastruktur penunjang lainnya.
Akselerasi
pertumbuhan aneka usaha peternakan dimaksudkan untuk mengentaskan usaha
peternakan rakyat dari perangkap keseimbangan pertumbuhna rendah sehingga
menjadi progresif secara mandiri. Upaya pengembangan difokuskan pada bidang
usaha yang memiliki dukungan sumber daya basis produksi atau inovasi teknologi
dan kelembagaan, seperti peternakan kambing, domba dan ayam kampong intensif (concentrate-fed) di kawasan peri-urban,
sistem usahatani integrasi tanaman-ternak di kawasan pertanian tanaman pangan,
perkebunan dan holtikultura, serta peternakan “grass-fed” (sapi, kambing, domba) di kawasan padang rumput luas
seperti di Nusa Tenggara. Lahan-lahan perkebunan kelapa sawit dan karet
ternyata mempunyai potensi pakan hijauan ternak cukup besar (Mulyadi et al, 1995).
Akselerasi
aneka usaha peternakan rakyat mutlak membutuhkan fasilitasi dari pemerintah
khususnya dalam pengadan modal kerja, inovasi teknologi dan kelembagaan, serta
wirausaha pelopor atau penghela rantai pasok. Keterlibatan pemerintah tidak
cukup sebagai fasilitator pasif, tetapi harus menjadi inisiator aktif mengingat
aneka usaha peternakan didominasi oleh usaha peternakan skala kecil yang
mungkin telah sampai pada titik jenuhnya. Hanya dengan “suntikan” bantuan dan
fasilitas eksternal, usaha peternakan rakyat dapat keluar dari posisi
keseimbangan pertumbuhan rendah dan mempunyai daya saing lebih baik.
Pada
intinya prinsip dasar kebijakan yang diususlkan di atas adalah “Proteksi dan
Promosi”. Usaha peternakan domestic perlu dilindungi (proteksi) dari ancaman
banjir import (import surge) murah
yang terjadi karena kebijakan subsidi dan domestic berlebihan berbagai negara.
Praktek perdagangan dunia produk peternakan domestic patut mendapatkan proteksi
dari pemerintah. Pada saat ini tarif impor produk peternakan hanya 5% jauh dari
memadai untuk menetralkan bahaya banjir impor tersebut, sehingga perlu
ditigkatkan secara signifikan. Namun perlu dicatat bahwa tarif impor yang
terlalu tinggi akan dapat mengancam populasi ternak local karena tersendatnya
impor akan menyebabkan pemotongan ternak local meningkat yang tidak dapat
segera dipenuhhi dari tingkat pertambahan alami yang masih rendah, utamanya
ternak besar seperti sapi potong (Hadi dkk, 2002).
Selain
dengan meningkatkan tarif impor, kebijakan perlindungan yang dapat dilakukan
pemerintah ialah peraturan non-tarif seperti pelanggaran impor ayam yang sudah
terpotong-potong (paha, jeroan), penetapan aturan labelisasi “halal” dan
berbagai aturan keamanan pangan dan pencegahan penyakit (sanitary and phytosanitary). Berbagai aturan non-tarif tersebut
perlu dirancang sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kesepakatan perdagangan
produk pertanian WTO.
Program
lainnya yang perlu ditempuh untuk meningkatkan produksi sekaligus daya saing
agribisnis peternakan, antara lain adalah sebagai berikut:
1.
Perbaikan mutu genetik ternak
melalui peningkatan kawin silang antara induk local dengan pejantan unggul
sehingga jarak beranak (calving interval)
lebih pendek, melahirkan anak-anak yang mempunyai tingkat pertambahan badan
harian dan berat akhir ternak yang makin tinggi. Impor bibit ternak unggul
perlu dilakuakn (sapi, kerbau, domba, babi). Bersamaan dengan itu disertai pula
dengan pengawasan dan perawatan kesehatan ternak.
2.
Pencegahan pemotongan ternak
betina produktif dan ternak jantan dengan berat badan sub-optimal, utamanya
sapi potong, agar populasi ternak sapi local tidak cepat terkuras. Impor sapi
bakalan dan daging sapi diperlukan jika populasi ternak lokal terancam terkuras
karena jumlah pemotongan yang berlebihan
3.
Kemitraan antara petani dan
pengusaha feedlot atau pedagang besar ternak perlu dikembangkan agar petani
mendapat kesempatan lebih besar untuk memelihara ternak dan dengan teknologi
lebhih baik. Untuk itu, pembentukan kelompok peternakan diperlukan agar
manajemen kemitraan lebih efisien.
4.
Pengiriman produk ternak dari
daerah produsen ke konsumen tidak lagi dalam bentuk ternak hidup tetapi daging
dingin atau beku yang memberikan keuntungan berupa : lebih efisien dalam biaya
angkutan, tidak terkena retribusi ternak, wilayah kota tidak tercemar limbah
RPH, dan kotoran ternak di daerah produsen dapat dijadikan sebagai pupuk
organic bagi tanaman pertanian. Bersamaan dengan fasilitas RPH perlu diperbaiki
agar mutu hasil pemotongan (pasca panen) meningkat, sehingga daging sapi local
bisa masuk hotel berbintang atau restoran besar.
5.
Pengembangan ternak di wilayah
gerbang ekspor, seperti segitiga Sijori dan lain-lain, perlu dipertimbangkan
karena akan dapat meningkatkan potensi ekspor produk ternak. Biaya angkutan
dari daratan Riau ke wilayah Singapura dan Johor (Malaysia) akan lebih murah
jika dibandingkan dari daerah-daerah produsen lainnya.
KESIMPULAN
Perdagangan global produk peternakan, masih jauh dari sifat pasar
yang bersaing sempurna, bahkan hingga saat ini masih amat terdistorsi oleh
berbagai kebijakan yang dilakukan banyak negara, utamanya negara-negara maju.
Perdagangan global lebih merupakan ancaman daripada peluang bagi perkembangan
agribisnis peternakan di Indonesia. Baik secara konstitusional maupun dari segi
hak untuk membela diri atau berbuat sepadan konstitusional maupun dari segi hak
untuk membela diri atau berbuat sepadan, peternakan domestik berhak memperoleh
perlindungan dan sementara pemerintah wajib memberikan perlindungan atas
ancaman banjir impor murah yang terjadi karena kebijakan negara dan praktek
perdagangan tidak adil.
Pengembangan agribisnis peternakan sebaiknya diarahkan untuk
memenuhi permintaan pasar domestic yang terus meningkat seiring dengan kemajuan
pembangunan ekonomi, pertambahan penduduk, urbanisasi dan perubahan pola
makanan penduduk. Permintaan pasar domestic masih jauh dari terpenuhi, bahkan
Indonesia masih harus mengimpor berbagai produk peternakan dalam jumlah yang
semakin besar.
Masalah pokok agribisnis peternakan Indonesia adalah kendala
produksi. Praktis baru peternakan ayam ras yang mampu memanfaatkan potensi
pasar yang terus meningkat tersebut. Subsector peternakan yang tumbuh cukup
tinggi dalam 20 tahun terakhir terutama adalah berkat pertumbuhan pesat
peternakan ayam ras. Revolusi peternakan ayam ras telah lama terjadi dan
mungkin kini telah mendekati titik jenuhnya. Kedepan, sumber pertumbuhan baru
subsector peternakan adalah peternakan non-ayam ras yang didominasi oleh usaha
peternakan rumah tangga skala kecil.
Dalam kondisi demikian, kebijakan pengembangan agribisnis peternakan
yang dipandang tepat untuk meningkatkan jumlah produksi dan daya saing adalah
“Proteksi dan Promosi”. Proteksi dilakukan dengan tarif impor yang cukup tinggi, ditunjang dengan penetapan
berbagai peraturan non-tarif yang dimungkinkan oleh kesepakatan WTO. Bersamaan
dengan proteksi, pemerintah perlu secara aktif memberdayakan agribisnis
peternakan domestic, khususnya usaha ternak non-ayam ras dengan menyediakan
bantuan langsung berupa modal, inovasi teknologi dan kelembagaan serta
infrastruktur penunjang.
SUMBER:
Delgado, C.
1999. Livestock to 2020. The Next Food Revolution. Food Agriculture and Environment
Discussion. Paper 28. International Food Policy Research Institution.
Dyck, K dan
K.E. Nelson. 2003. Structure of Global Market for Meat. Agriculture Information
Bulletin Number 785. U.S Department of Agriculture.
Gibson, P.
2001. Profiles of Tariffs in Global Agricultute Markets. Agricultural Economic
Report No. 796. U.S Department of Agriculture.
Hadi, P.U dan Ilham,
N. 2002. Problem dan Prospek Pengembangan Usaha Pembibitan Sapi Potong di
Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 21(4):148-157.
Hadi, P.U dan
Purwantini, T.B. 1991 Kajian Pola Produksi Pertanian Lahan Kering di Kabupaten
Sumba Timur-NTT. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian. Bogor.
Hermanto, M dan
Saptana. 1992. Analisis Peran Perusahaan Multinasional dan Perusahaan Nasional
dalam Investasi di Sub Sektor Perkebunan, Perikanan dan Peternakan. Laporan
Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Leuck, D. 2001.
The New Agricultural Trade Negotiations : Background and Issues for the U.S
Beef Sector. Executive Outlook Report from the Economic Research Service
LDP-M-89-01. U.S Deaprtment of Agriculture.
Reeves, G dan
Stockal, A. 2003. Global Beef Liberalization. Magullan Project Phase 3. Meat
and Livestock Australia Limited.
Simatupang, P
dan Togatorop, M.H. 1992. Penelitian Agribisnis Komoditas Peternakan, Buku II :
Usaha Peternakan Ayam Petelur dan Sapi Perah di Jawa Barat. Laporan Hasil
Penelitian. Pusat penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Soedjana, T dan
Butar Butar, O. 1995. Penelitian Kebijaksanaan Pengembangan Berbagai Skala
Usaha Peternakan, Buku III : Analisis Resiko Usaha Peternakan pada Tipologi
Usaha Teridentifikasi. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian. Bogor.
Mulyadi, A dan
Rachmawati, S. 1995. Penelitian Kebijaksanaan Penmgembangan Berbagai Skala
Usaha Peternakan, Buku II : Identifikasi Intervensi Pemerintah dan Peran
Kelembagaan dalam Pengembangan Peternakan pada Berbagai Tipologi Usaha
Teridentifikasidi Propinsi Sumatera Utara, Aceh dan Riau. Laporan Hasil
Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
0 komentar:
Post a Comment