Wednesday, January 25, 2017

Arah dan Kebijakan Pengembangan Agribisnis di Indonesia


Usaha peternakan di Indonesia kedepannya dihadapkan pada persaingan yang makin tajam. Di dalam negeri sendiri, usaha peternakan yang berbasis lahan (land-based livestock farming) akan bersaing dengan usaha pertanian non-peternakan dalam penggunaan sumerdaya lahan dan tenaga kerja, baik tanaman semusim maupun tanaman tahunan. Apabila kebijakan pemerintah lebih terfokus pada peningkatan produksi pangan dengan alasan ketahanan pangan, maka usaha peternakan berbasis lahan diperkirakan akan makin tergseser.
Produk-produk peternakan Indonesia juga akan bersaing dengan produk-produk sejenis asal luar negeri, terutama daging dan susu. Kesepakatan di bidang pertanian (Agreement on Agriculture, AoA), yang merupakan bagian dari kesepakatan umum di bidang tarif dan perdagangan (General Agreement on Tarif and Trade, GATT) Putara Uruguay dalam wadah Organisasi Perdagangan Dunia (Wold Trade Organization, WTO), telah mentargetkan pencapaian perdagangan bebas pada tahun 2010 di Negara maju dan tahun 2020 di Negara sedang berkembang. Ini berarti bahwa jika kesepakatan di bidang pertanian itu benar-benar dilaksanakan, maka perdagangan komoditas pertanian (termasuk peternakan) pada tahun 2020 akan sepenuhnya bebad di semua Negara. Semua hambatan akses pasar, dukungan domestic dan subsidi ekspor harus dihapus karena tidak sesuai dengan prinsip pasar bersaing bebas. Peranan pemerintah terbatas hanya menetapkan aturan main dan standar guna mendukung terciptanya pasar bersaing bebas sempurna.
Jika demikian halnya, maka untuk memenangkan persaingan usaha peternakan Indonesia harus mempunyai daya saing yang makin kuat, utamanya dalam mengahdapi persaingan dengan produk-produk sejenis asal luar negeri. Daya saing itu mungkin berbeda-beda menurut jenis ternaknya, seperti ternak ruminansia (besar dan kecil) seperti sapi pedaging, sapi perah, kerbau, kuda, kambing dan domba dan ternak non-ruminansia yaitu babi dan unggas.
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang : (1) Perkembangan struktur produksi dan usaha peternakan; (2) Prospek agribisnis peternakan; (3) Ancaman dan peluang perdagangan dunia; dan (4) arah kebijakan pengembangan untuk meningkatkan daya saing usaha peternakan Indonesia.

PROSPEK AGRIBISNIS PETERNAKAN
Secara fungsional dan cita rasa, kebutuhan konsumsi produk peternakan amat berbeda dari produk tanaman pangan, walaupun sama-sama bahan pangan. Oleh karena itu, karakteristik permintaan terhadap kedua kelompok bahan pangan tersebut juga amat berbeda. Produk tanaman pangan merupakan sumber utama karbohidrat, sedangkan produk peternakan merupakan sumber utama protein. Permintaan terhadap produk tanaman pangan bersifat inferior atau normal, yaitu menurun atau meningkat lambat bila pendapatan konsumen meningkat, sedangkan permintaan terhadap produk-produk peternakan bersifat normal atau “mewah”, yaitu meningkat cepat atau bahkan lebih cepat dari laju peningkatan pendapatan konsumen. Oleh karna itu, sesuai dengan hokum Bennett, struktur konsumsi bahan pangan bergeser dari dominan bahan utama karbohidrat (produk tanaman pangan), ke bahan utama protein (peternakan) seiring dengan peningkatan pendapatan konsumen.
Konsumsi per kapita produk peternakan akan cenderung meningkat, sedangkan konsumsi per kapita produk tanaman pangan akan cenderung menurun. Kecenderungan perubahan pola konsumsi tersebut bisa lebih cepat karena didorong oleh urbanisasi dan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang gizi. Perpaduan antara peningkatan konsumsi per kapita dan pertambahan penduduk akan menyebabkan permintaan terhadap produk peternakan mengalami akselerasi, yaitu meningkat dengan laju makin cepat. Artinya, prospek pasar produk peternakan akan cenderung membaik seiring dengan kemajuan ekonomi yang terefleksi dalam dua indicator kunci, yaitu : (a) Kapasitas volume absorbsi pasar semakin besar, dan (b) harga pasar cenderung meningkat, setidaknya relative terhadap produk tanaman pangan.
Prospek pasar yang membaik secara cepat merupakan kekuatan penarik yang cukup besar sebagai landasan terjadinya revolusi peternakan (Livestock Revolution) di Negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, sebagaimana dikemukakan oleh Delgado et al (1999). Revolusi  peternakan dicirikan oleh akselerasi pertumbuhan produksi peternakan. Peternakan akan menjadi sumber utama pertumbuhan baru sector pertanian, menggantikan tanaman pangan yang tumbuh pesat pada decade tahun 1970an sampai 1980an yang ditopang oleh inovasi teknologi Revolusi Hijau.
Di Indonesia, revolusi peternakan di perkiraan telah berlangsung sejak awal tahun 1980-an. Seperti yang ditujukkan pada Tabel 2.1, laju pertumbuhan subsector peternakan melonjak dari 2,02% per tahun, atau yang terendah dalam lingkup sector pertanian pada periode tahun 1967-1978, menjadi 6,99% per tahun atau yang tertinggi pada periode 1978-1986. Namun pada tahun 1998 pertumbuhan subsector peternakan anjlok hingga -13,94% sebagai akibat dari krisis multi dimensi ekonomi social politik. Walaupun telah pulih ke level sebelum krisis, pertumbuhan subsektor peternakan masih tetap dalam fase pertumbuhan rendah seperti halnya perekonomian Indonesia secara agregat. Subsector peternakan akan kembali mengalami akselerasi bilamana laju pertumbuhan ekonomi kembali ke fase pertumbuhan tinggi.
Tabel 1.  Laju Pertumbuhan Sektor Pertanian Menurut Subsektor (%tahun)
Subsetor
1967-1978
1978-1986
1986-1997
1998-1999
2000-2003
Peternakan
2,02
6,99
5,78
-3,89
3,13
Tanaman Pangan
3,58
4,95
1,90
2,01
0,52
Perkebunan
4,53
5,85
6,23
0,98
5,02
Perikanan
3,44
5,15
5,36
3,99
4,18
Sumber : Statistik Indonesia (BPS)
Jika diperhatikan bahwa akselerasi pertumbuhan PDB subsector peternakan praktis hanya berasal dari produksi daging dan telur ayam ras. Produksi daging ternak lainnya tumbuh lambat, amat jauh lebih kecil dari laju pertumbuhan daging ayam ras dan telur ayam. Dengan demikian, revolusi peternakan yang terjadi di Indonesia amat terbatas pada peternakan ayam ras, sehingga lebih tepat disebut sebagai Revolusi Peternakan Ayam Ras, karena belum terjadi untuk peternakan lainnya.
Gambaran diatas menunjukkan bahwa hanya agribisnis peternakan ayam ras yang mampu memanfaatkan peluang pasar domestic yang tumbuh amat pesat seiring dengan kemajuan pembangunan ekonomi Indonesia. Komoditas peternakan lainnya mengalami kendala produksi sehingga impornya meningkat terus. Dilihat dari besaran dan laju pertumbuhan volume impor, kendala produksi yang cukup berat nampaknya terjadi pada daging sapi, kerbau dan susu.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa dilihat dari prospek pasar dalam negeri, agribisnis peternakna memiliki peluang pengembangan yang amat baik, khususnya untuk usaha peternakan non-ayam ras. Masalah yang dihadapi oleh para peternak non-ayam ras adalah kendala produksi, bukan kendala pemasaran sebagaimana yang kerap dihadapi agribisnis lainnya. Agribisnis usaha peternakan rakyat non-ayam ras cenderung terperangkap dalam spiral pertumbuhan rendah, sehingga hanya dapat didinamiskan melalui bantuan pemberdayaan dan fasilitasi pemerintah antara lain penyediaan modal, dan introduksi inovasi teknologi dan inovasi kelembagaan. Inovasi kelembagaan utamanya ialah pengembangan pola-pola kemitraan antara usaha peternakan rumah tangga dengan suatu perusahaan skala besar yang bertindak sebagai penghela. Pengembangan sistem integrasi tanaman ternak juga dapat dipandang sebagai salah satu kebijakan yang tepat untuk mengatasi atau memperlonggar kendala basis usaha dan modal bagi usaha ternak rumah tanga.

ANCAMAN DAN PELUANG PERDAGANGAN DUNIA
Struktur, perilaku dan kinerja pasar produk peternakan dunia amat dipengaruhi oleh keunggulan komparatif sumberdaya, ekonomi (peningkatan penduduk), teknologi pasca panen dan transportasi, prevalensi penyakit menular dan konfigurasi lokasi geografis Negara produsen maupun konsumen. Oleh karena itu, kebijakan Negara-negara produsen dan konsumen utama juga amat menetukan kinerja perdagangan dunia. Factor-faktor ini dapat dipakai untuk menjelaskan pola dan kecenderungan perubahan perdagangan produk peternakan dunia.
A.     Pola Perdagangan Dunia
Sebagian besar produksi, konsumsi dan perdagangan produk peternakan dunia terkonsentrasi di beberapa Negara saja. Hampir 90% produksi dan 85% konsumsi daging sapi berlokasi di 13 negara saja. Sekitar 55% daging sapi dihasilkan dan dikonsumsi di Amerika Serikat yang juga merupakan produsen utama dan 13% oleh Jepang dan Korea yang merupakan produsen terkecil dari 13 negara produsen utama tersebut (Leuck, 2001). Selain terkonsentrasi, perdagangan susu dunia juga amat tipis, hanya sekitar 5% dari total produksi.
Di samping terkonsentrasi pada sejumlah kecil Negara maju, perdagangan produk peternakan dunia juga dikendalikan oleh sejumlah kecil perusahaan multinasional berskala amat besar. Lima perusahaan terbesar memiliki omset penjualan masing-masing lebih dari 10 milyar dollar AS per tahun, yang terbesar mencapai 24 milyar dollar AS per tahun yan berarti melebihi total ekspor Indonesia (Dyck and Nelson, 2003). Dengan struktur geografis dan perusahaan pelaku yang demikian terkonsentrasi, pasar produk peternakan dunia amat jauh dari persyaratan pasar yang bersaing sempurna.
Pasar produk peternakan global di dominasi secara geografia oleh dua segmen pasar yaitu pasar “Atlantik” dan pasar “Pasifik” yang pada dasarnya merupakan refleksi dari sebaran geografis Negara-negara pelaku utama (dominant players). Negara-negara importir utama adalah Negara maju yakni, Amerika Serikat, jepang, Uni Eropa, Korea, Rusia, Cina, Kanada, New Zealand, Uni Eropa, Brazil, Argentina, India, Thailand dan Cina. Perlu dicatat, bahwa Amerika Serikat, Uni ERopa, Cina dan Kanada merangkap sebagai importer dan eksportir utama yang mengindikasikan “intra trade” dalam produk peternakan. Intra product trade erupakan refleksi dari perbedaan preferensi dan keunggulan komparatif dalam rantai pasok. Tidak saja secara geografis, pasar produk peternakan tersegmentasi pula menurut jenis produk, sehingga secara keseluruhan menciptakan struktur yang amat kompleks.
Oleh karena merupakan penghasil utama bahan biji-bijian maka usaha peternakan di Amerika Utara dan Uni Eropa didominasikan oleh usaha ternak intensif dengan pakan olahan berkualitas tinggi berbahan baku biji-bijian (high quality grain blended feed). Produk peternakan “grain fed” umumnya berkualitas tinggi. Australia, New Zealand dan negara-negara Amerika Selatan (Brazil, Argentina, Uruguay) memiliki keunggulan komparatif dalam padang rumput sehingga lebih banyak menghasilkan produk peternakan dengan pakan rumput-rumputan (grass-fed). Produk peternakan “grass-fed” umumnya berkualitas rendah (Leuck, 2001; Dyck and Nelson, 2003) dengan segmen pasar yang berbeda dari produk peternakan “grain-fed”.
Oleh karena itu, perbedaan keunggulan komparatif dalam sumberdaya pakan merupakan salah satu penentu utama pola perdagangan dunia. Amerika Serikat banyak mengekspor daging sapi dan susu “grain-fed” berkualitas tinggi, yang memang lebih banyak dihasilkan utamanya ke Jepang dan Korea, dan mengimpor daging sapi “grass-fed” berkualitas rendah dari Australia, New Zealand, Uruguay, Argentina dan Brazil. Amerika menjadi Negara eksportir sekaligus importer utama daging sapi.
Selain dari keunggulan komparatif sumberdaya lahan, pola perdagangan produk peternakan dunia amat ditentukan oleh teknologi dan ongkos penanganan pasca panen. Kemajuan teknologi telah memungkinkan daging dapat di angkut jarak jauh, bahkan lintas samudra dalam bentuk dingin (chilled), tidak beku (frozen), tahan lebih lama dan dengan mutu yang tidak berbeda jauh dari daging segar. Konsumen rumah tangga di negara-negara maju lebih menyukai daging dingin daripada daging beku. Bahkan dalam beberapa tahun terkahir, kemajuan teknologi telah memungkinkan perdagangan daging sapi siap saji (ready to eat and serve). Perubahan teknologi tersebut telah mendorong perdagangan dunia makin kompleks. Sebagai gambaran,  daging aya yang dihasilkan di Amerika Serikat dikirim dalam bentuk utuh dan beku ke Cina, dimana selanjutnya dipotong-potong dan diolah hingga siap saji dengan ongkos leih murah untuk selanjutnya dikirim ke Jepang dimana permintaannya cukup besar.
Kemajuan teknologi pasca panen dan pengolahan juga telah menyebabkan pergeseran komposisi produk daging dari bentuk beku ke dingin dan siap saji. Hal ini mendorong spesialisasi negara pemasok (eksportir) bagi suatu Negara importer. Sebagai gambaran, negara-negara pemasok daging sapi segar dan dingin, Australia dan New Zealand daging beku, sementara Argentina dan Brazil daging siap saji.
Selain spesialisasi pemasok untuk suatu Negara importer, Negara eksportir juga melakukan spesialisasi Negara tujuan menurut jenis produk. Untuk ekspor daging sapi Amerika Serikat misalnya, daging segar/dingin, terutama dikirim ke Jepang dan Meksiko, daging beku ke Jepang dan Korea Selatan, sedangkan yang siap saji ke Kanada (Tabel 3.1). spesialisasi produk menurut pasar ekspor merupakan respon terhadap perbedaan pola permintaan yang dimungkinkan oleh kemajuan teknologi pasca panen dan transportasi.

Tabel 2.  Ekspor Daging Sapi Amerika Serikat Menurut Jenis Produk dan Negara Tujuan, 2000
Uraian
Negara Tujuan
Total
Jepang
Meksiko
Kanada
Korea Selatan
Lainnya
Jenis Daging (%)
-       Segar
-       Beku
-       Siap Saji

42,29
53,66
8,79

35,70
5,49
7,30

18,04
1,83
66,87

1,30
25,33
0,77

2,68
13,69
16,28

1,00
1,00
1,00
Nilai per unit ($/pon)
-       Segar/dingin
-       Beku
-       Siap saji

2,34
1,39
11,24

1,35
1,30
10,20

1,54
1,31
2,04

1,60
1,60
5,05

2,42
1,39
3,46

1,81
1,45
3,67
Sumber : Leuck (2001)
Pola dan Perubahan preferensi konsumen juga amat berpengaruh terhadap pola dan perubahan struktur perdagangan dunia. Konsumen di Amerika Serikat lebih menyukai dada ayam daripada paha dan sayap ayam, apalgi jeroan dan kikil ayam. Sedangkan jeroan dan kikil ayam praktis tidak bernilai. Berbeda dengan di Amerika Serikat, konsumen di negara-negara Asia, banyak yang lebih menyukai paha ayam daripada dada ayam, sayap, jeroan dan kikil ayam pun cukup dihargai. Oleh karena itu, Amerika Serikat mengekspor paha, sayap, jeroan dan kikil ayam dalam jumlah yang besar dan dengan harga yang relative murah termasuk ke Cina yang merupakan salah satu Negara importer ayam utama di dunia. Bahkan Indonesia telah merasa terancam oleh banjir impor paha ayam murah tersebut. Fenomena yang sama terjadi pula untuk daging sapi mutu rendah serta jeroan sapid an babi.
Walaupun potensinya cukup besar, pasar produk peternakan dunia yang amat terkonsentrasi di negara-negara maju dikuasai oleh sejumlah kecil perusahaan multinasional berskala mega, dan dengan permintaan yang semakin mengarah pada kualitas tinggi (grain-fed), mungkin amat sukar untuk dijadikan sebagai peluang pengembangan bagi agribsnis peternakan di Indonesia. Bukannya peluang, pasar produk peternakan dunia mungkin lebih merupakan ancaman bagi agribisnis peternakan di Indonesia. Bukti nyata mengenai hal ini antara lain adalah fenomena banjir impor paha dan sayap ayam, daging sapi mutu rendah dan jeroan ternak yang telah menimbulkan tekanan harga sehingga mengancam eksistensi agribisnis peternakan domestik.

B.     Distorsi Kebijakan
Selain struktur dan perilakunya tidak mencerminkan pasar bersaing sempurna, pasar produk peternakan dunia juga amat terdistorsi oleh berbagai intervensi kebijakan akses pasar, dukungan domestic dan subsidi ekspor Negara-negara pelaku pasar dominan, utamanya negara-negara maju. Tidak dapat disangkal bahwa kesepakatan pertanian Uruguay di bidang Pertanian /WTO memang telah berhasil mengurangi tingkat distorsi tersebut atau setidaknya meletakkan landasan menuju liberalisasi pasar. Masalah utamanya ialah sejak awal, sebelum kesepakatan dicapai, pasar dunia sudah terlalu terdistorsi, sementara kesepakatan negara-negara WTO kuran disiplin dalam melaksanakan komitmen masign-masing.
Tarif impor untuk produk-produk peternakan merupakan yang paling tinggi di antara seluruh produk pertanian. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3. Secara umum, pagu tarif di negara-negara maju juga lebih tinggi daripada di negara-negara sedang berkembang. Selain pagu komitmen yang amat tinggi, tarif impor terapan (applied tarif) untuk produk peternakan di negara-negara maju juga masih amat tinggi dan bahkan umumnya cenderung meningkat. Hal ini berlaku untuk impor daging spai, ayam dan babi namun tarif impor untuk daging domba mengalami penurunan kecil (Tabel 4)
Tabel 3.  Komitmen Pagu Tarif Impor Pada Kesepakatan Pertanian Uruguay/WTO (%)
Komoditas
Rata-rata
Tarif/Rata-rata tarif global
OECD
Non-OECD
OECD
Non-OECD
Peternakan:
-       Susu
-       Daging beku
-       Daging segar
-       Daging Siap Saji
-       Daging lainnya
-       Ternak Hidup

116
106
96
92
82
82

74
75
73
68
69
66

1,9
1,7
1,5
1,5
1,3
1,3

1,2
1,2
1,2
1,1
1,1
1,1
Pakan
46
62
0,7
1,0
Pangan:
-       Gula tebu
-       Gula bit
-       Pemanis
-       Biji-bijian
-       Tepung-tepungan
-       Produk biji-bijian

52
104
64
78
84
85

64
64
70
66
64
67

0,8
1,7
1,0
1,3
1,3
1,4

1,0
1,0
1,1
1,1
1,0
1,1
Sayur-sayuran:
-       Sayur segar
-       Sayur kering & umbi-umbian
-       Sayur beku
-       Siap saji

87
75
52
47

64
82
63
64

1,7
1,2
0,8
0,8

1,0
1,0
1,0
1,0
Buah-buahan:
-       Segar
-       Beku
-       Kering
-       Olahan

25
18
7
18

65
64
61
64

0,4
0,3
0,1
0,3

1,1
1,0
1,0
1,0
Sumber : Gibsom et al (2001)
Selain mengenakan tarif, pada umumnya negara-negara maju juga menerapkan kuota untuk membatasi volume impor (tarif rate quota). Secara umum dapat dikatakan bahwa pasar produk peternakan dunia masih terdistorsi oleh kebijakan tarif dan kuota oleh banyak negara, utamanya negara-negara maju yang merupakan importer utama produk-produk peternakan. Pasar produk peternakan di negara-negara maju amat sukar di akses negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia mengalami kesulitan dalam memanfaatkan peluang pasar produk peternakan global.
Tabel 4. Tarif Impor Terapan Untuk Daging di Negara-Negara Maju (%).
Daging
OECD
Uni Eropa
1986-1988
1999-2001
1986-1988
1999-2001
Sapi
33
35
59
84
Ayam
16
16
14
43
Babi
14
21
7
25
Domba
55
47
70
61
                        Sumber : Reeves, Quirke and Stoeckel (2003)


ARAH DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN USAHA PENINGKATAN DAYA SAING PETERNAKAN INDONESIA
Dilihat dari segi peluang pasar, pengembangan agribisnis peternakan memiliki prospek yang baik, khususnya untuk memenuhi permintaan pasar domestic yang masih akan terus mengalami akselerasi seiring dengan pertumbuhan ekonomi, pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan urbanisasi. Diproyeksikan bahwa pada tahun 2020 defisit produksi daging akan mencapai angka cukup besar yaitu 2,7 juta ton. Pasar internasional mungkin belum dapat ditembus karena membutuhkan dukungan sistem rantai pasok yang mampu menyediakan produk dengan mutu, volume dan waktu terjamin. Oleh karena itu, pasar internasional di masa dating akan lebih merupakan ancaman daripada kesempatan bagi agribisnis peternakan Indonesia.
Dilihat dari sisi produksi, hanya usaha peternakan ayam, khususnya ayam ras pedaging dan petelur yang mempunyai kemampuan paling tinggi untuk emmanfaatkan peluang pasar domestic yang ada. Peternaka ayam ras telah berkembang menjadi suatu industri yang cukup terintegrasi secara vertical dan amat dinamis karena didukung oleh perusahaan berskala besar, termasuk perusahaan multinasional, khususnya di segmen hulu (industri pakan dan DOC), yang bertindak sebagai motor penggerak rantai pasok, sehingga disamping dapat memenuhi permintaan pasar domestic, juga mempunyai daya saing yang cukup memadai. Sebaliknya, peternakan non-ayam ras (sapi, sapi perah, kerbau, kambing, domba, babi, ayam buras) mengalami kendala produksi sehingga selama ini telah terperangkap ke dalam titik keseimbangan rendah (low equilibrium trap) Karen didominasi oleh usaha peternakan rakyat skala kecil, bersifat sebagai usaha sambilan dan dengan modal serta kapasitas manajemen terbatas.
Berdasarkan analisis prospek pasar dan profil industri peternakan seperti di atas, maka usaha pengembangan agribisnis peternakan disarankan agar difokuskan pada dua program, yaitu: (a) Pemantapan dan perluasan industri peternakan ayam ras; dan (b) Akselerasi pertumbuhan aneka usaha peternakan (non ayam ras).
Pemantapan dan perluasan industri ayam ras meliputi pembenahan sistem rantai pasok integrative sehingga lengkap, padu-padan dan sinergis dalam satu alur vertical serta bersaing sehat antar rantai pasok. Perluasan dilakukan dengan pengembangan rantai pasok di wilayah bahan baku khususnya di luar Jawa dan Sumatera. Pengembangan industru ayam ras dapat dilaksanakan oleh swasta secara mandiri. Peranan pemerintah difokuskan pada pengelolaan pasar, utamanya untuk melindungi industri ayam dalam negeri dari tekanan persaingan pasar global yang tidak adil, mencegah persaingan tidak sehat antar perusahaan di pasar dalam negeri, seta pengembangan sistem pencegahan dan penanggulangan wabah penyakit menular, serta infrastruktur penunjang lainnya.
Akselerasi pertumbuhan aneka usaha peternakan dimaksudkan untuk mengentaskan usaha peternakan rakyat dari perangkap keseimbangan pertumbuhna rendah sehingga menjadi progresif secara mandiri. Upaya pengembangan difokuskan pada bidang usaha yang memiliki dukungan sumber daya basis produksi atau inovasi teknologi dan kelembagaan, seperti peternakan kambing, domba dan ayam kampong intensif (concentrate-fed) di kawasan peri-urban, sistem usahatani integrasi tanaman-ternak di kawasan pertanian tanaman pangan, perkebunan dan holtikultura, serta peternakan “grass-fed” (sapi, kambing, domba) di kawasan padang rumput luas seperti di Nusa Tenggara. Lahan-lahan perkebunan kelapa sawit dan karet ternyata mempunyai potensi pakan hijauan ternak cukup besar (Mulyadi et al, 1995).
Akselerasi aneka usaha peternakan rakyat mutlak membutuhkan fasilitasi dari pemerintah khususnya dalam pengadan modal kerja, inovasi teknologi dan kelembagaan, serta wirausaha pelopor atau penghela rantai pasok. Keterlibatan pemerintah tidak cukup sebagai fasilitator pasif, tetapi harus menjadi inisiator aktif mengingat aneka usaha peternakan didominasi oleh usaha peternakan skala kecil yang mungkin telah sampai pada titik jenuhnya. Hanya dengan “suntikan” bantuan dan fasilitas eksternal, usaha peternakan rakyat dapat keluar dari posisi keseimbangan pertumbuhan rendah dan mempunyai daya saing lebih baik.
Pada intinya prinsip dasar kebijakan yang diususlkan di atas adalah “Proteksi dan Promosi”. Usaha peternakan domestic perlu dilindungi (proteksi) dari ancaman banjir import (import surge) murah yang terjadi karena kebijakan subsidi dan domestic berlebihan berbagai negara. Praktek perdagangan dunia produk peternakan domestic patut mendapatkan proteksi dari pemerintah. Pada saat ini tarif impor produk peternakan hanya 5% jauh dari memadai untuk menetralkan bahaya banjir impor tersebut, sehingga perlu ditigkatkan secara signifikan. Namun perlu dicatat bahwa tarif impor yang terlalu tinggi akan dapat mengancam populasi ternak local karena tersendatnya impor akan menyebabkan pemotongan ternak local meningkat yang tidak dapat segera dipenuhhi dari tingkat pertambahan alami yang masih rendah, utamanya ternak besar seperti sapi potong (Hadi dkk, 2002).
Selain dengan meningkatkan tarif impor, kebijakan perlindungan yang dapat dilakukan pemerintah ialah peraturan non-tarif seperti pelanggaran impor ayam yang sudah terpotong-potong (paha, jeroan), penetapan aturan labelisasi “halal” dan berbagai aturan keamanan pangan dan pencegahan penyakit (sanitary and phytosanitary). Berbagai aturan non-tarif tersebut perlu dirancang sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kesepakatan perdagangan produk pertanian WTO.
Program lainnya yang perlu ditempuh untuk meningkatkan produksi sekaligus daya saing agribisnis peternakan, antara lain adalah sebagai berikut:
1.      Perbaikan mutu genetik ternak melalui peningkatan kawin silang antara induk local dengan pejantan unggul sehingga jarak beranak (calving interval) lebih pendek, melahirkan anak-anak yang mempunyai tingkat pertambahan badan harian dan berat akhir ternak yang makin tinggi. Impor bibit ternak unggul perlu dilakuakn (sapi, kerbau, domba, babi). Bersamaan dengan itu disertai pula dengan pengawasan dan perawatan kesehatan ternak.
2.      Pencegahan pemotongan ternak betina produktif dan ternak jantan dengan berat badan sub-optimal, utamanya sapi potong, agar populasi ternak sapi local tidak cepat terkuras. Impor sapi bakalan dan daging sapi diperlukan jika populasi ternak lokal terancam terkuras karena jumlah pemotongan yang berlebihan
3.      Kemitraan antara petani dan pengusaha feedlot atau pedagang besar ternak perlu dikembangkan agar petani mendapat kesempatan lebih besar untuk memelihara ternak dan dengan teknologi lebhih baik. Untuk itu, pembentukan kelompok peternakan diperlukan agar manajemen kemitraan lebih efisien.
4.      Pengiriman produk ternak dari daerah produsen ke konsumen tidak lagi dalam bentuk ternak hidup tetapi daging dingin atau beku yang memberikan keuntungan berupa : lebih efisien dalam biaya angkutan, tidak terkena retribusi ternak, wilayah kota tidak tercemar limbah RPH, dan kotoran ternak di daerah produsen dapat dijadikan sebagai pupuk organic bagi tanaman pertanian. Bersamaan dengan fasilitas RPH perlu diperbaiki agar mutu hasil pemotongan (pasca panen) meningkat, sehingga daging sapi local bisa masuk hotel berbintang atau restoran besar.
5.      Pengembangan ternak di wilayah gerbang ekspor, seperti segitiga Sijori dan lain-lain, perlu dipertimbangkan karena akan dapat meningkatkan potensi ekspor produk ternak. Biaya angkutan dari daratan Riau ke wilayah Singapura dan Johor (Malaysia) akan lebih murah jika dibandingkan dari daerah-daerah produsen lainnya.

KESIMPULAN
Perdagangan global produk peternakan, masih jauh dari sifat pasar yang bersaing sempurna, bahkan hingga saat ini masih amat terdistorsi oleh berbagai kebijakan yang dilakukan banyak negara, utamanya negara-negara maju. Perdagangan global lebih merupakan ancaman daripada peluang bagi perkembangan agribisnis peternakan di Indonesia. Baik secara konstitusional maupun dari segi hak untuk membela diri atau berbuat sepadan konstitusional maupun dari segi hak untuk membela diri atau berbuat sepadan, peternakan domestik berhak memperoleh perlindungan dan sementara pemerintah wajib memberikan perlindungan atas ancaman banjir impor murah yang terjadi karena kebijakan negara dan praktek perdagangan tidak adil.
Pengembangan agribisnis peternakan sebaiknya diarahkan untuk memenuhi permintaan pasar domestic yang terus meningkat seiring dengan kemajuan pembangunan ekonomi, pertambahan penduduk, urbanisasi dan perubahan pola makanan penduduk. Permintaan pasar domestic masih jauh dari terpenuhi, bahkan Indonesia masih harus mengimpor berbagai produk peternakan dalam jumlah yang semakin besar.
Masalah pokok agribisnis peternakan Indonesia adalah kendala produksi. Praktis baru peternakan ayam ras yang mampu memanfaatkan potensi pasar yang terus meningkat tersebut. Subsector peternakan yang tumbuh cukup tinggi dalam 20 tahun terakhir terutama adalah berkat pertumbuhan pesat peternakan ayam ras. Revolusi peternakan ayam ras telah lama terjadi dan mungkin kini telah mendekati titik jenuhnya. Kedepan, sumber pertumbuhan baru subsector peternakan adalah peternakan non-ayam ras yang didominasi oleh usaha peternakan rumah tangga skala kecil.
Dalam kondisi demikian, kebijakan pengembangan agribisnis peternakan yang dipandang tepat untuk meningkatkan jumlah produksi dan daya saing adalah “Proteksi dan Promosi”. Proteksi dilakukan dengan tarif impor  yang cukup tinggi, ditunjang dengan penetapan berbagai peraturan non-tarif yang dimungkinkan oleh kesepakatan WTO. Bersamaan dengan proteksi, pemerintah perlu secara aktif memberdayakan agribisnis peternakan domestic, khususnya usaha ternak non-ayam ras dengan menyediakan bantuan langsung berupa modal, inovasi teknologi dan kelembagaan serta infrastruktur penunjang.

SUMBER:
Delgado, C. 1999. Livestock to 2020. The Next Food Revolution. Food Agriculture and Environment Discussion. Paper 28. International Food Policy Research Institution.
Dyck, K dan K.E. Nelson. 2003. Structure of Global Market for Meat. Agriculture Information Bulletin Number 785. U.S Department of Agriculture.
Gibson, P. 2001. Profiles of Tariffs in Global Agricultute Markets. Agricultural Economic Report No. 796. U.S Department of Agriculture.
Hadi, P.U dan Ilham, N. 2002. Problem dan Prospek Pengembangan Usaha Pembibitan Sapi Potong di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 21(4):148-157.
Hadi, P.U dan Purwantini, T.B. 1991 Kajian Pola Produksi Pertanian Lahan Kering di Kabupaten Sumba Timur-NTT. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Hermanto, M dan Saptana. 1992. Analisis Peran Perusahaan Multinasional dan Perusahaan Nasional dalam Investasi di Sub Sektor Perkebunan, Perikanan dan Peternakan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Leuck, D. 2001. The New Agricultural Trade Negotiations : Background and Issues for the U.S Beef Sector. Executive Outlook Report from the Economic Research Service LDP-M-89-01. U.S Deaprtment of Agriculture.
Reeves, G dan Stockal, A. 2003. Global Beef Liberalization. Magullan Project Phase 3. Meat and Livestock Australia Limited.
Simatupang, P dan Togatorop, M.H. 1992. Penelitian Agribisnis Komoditas Peternakan, Buku II : Usaha Peternakan Ayam Petelur dan Sapi Perah di Jawa Barat. Laporan Hasil Penelitian. Pusat penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Soedjana, T dan Butar Butar, O. 1995. Penelitian Kebijaksanaan Pengembangan Berbagai Skala Usaha Peternakan, Buku III : Analisis Resiko Usaha Peternakan pada Tipologi Usaha Teridentifikasi. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Mulyadi, A dan Rachmawati, S. 1995. Penelitian Kebijaksanaan Penmgembangan Berbagai Skala Usaha Peternakan, Buku II : Identifikasi Intervensi Pemerintah dan Peran Kelembagaan dalam Pengembangan Peternakan pada Berbagai Tipologi Usaha Teridentifikasidi Propinsi Sumatera Utara, Aceh dan Riau. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

0 komentar:

Post a Comment