• Veterinary One

    Until one has loved an animal a part of one's soul remains unawakened

  • Alligators

    An animal's eyes have the power to speak a great language

  • Little Tiger

    I am happy anywhere I can see the ocean

Monday, March 20, 2017

Anthrax (Radang Limpa)





1.     Pengertian Anthrax

Anthrax atau radang limpa adalah penyakit menular pada sapi yang paling berbahaya. Anthrax bersifat zoonosis dan merupakan penyakit yang menimbulkan keresahan bagi peternakan dan manusia. Di Indonesia anthrax menyebabkan banyak kematian pada ternak. Kerugian dapat berupa kehilangan tenaga kerja di sawah dan tenaga tarik, serta kehilangan daging dan kulit karena ternak tidak boleh dipotong. Pada manusia biasanya infeksi berasal dari ternak melalui permukaan kulit yang terluka, terutama pada orang-orang yang banyak berhubungan dengan ternak.

Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Bacilllus anthracis bersifat akut atau perakut pada bebagai jenis ternak: ruminansia, kuda, babi, berbagai jenis hewan liar, kelinci, marmot dan burung unta. Bakteri ini mampu membentuk endospora yang tahan hingga puluhan tahun di dalam tanah sehingga menjadi sumber infeksi (daerah endemis) dan berakibat sulitnya eradikasi penyakit ini di Indonesia.

Penyakit anthrax juga semakin dibicarakan dan dianggap penting karena selain berpengaruh terhadap kesehatan manusia maupun ternak, juga berdampak negatif terhadap perekonomian serta perdangangan khususnya ternak secara nasional maupun internasional. Selain itu ternyata penyakit anthrax berpengaruh terhadap Sosio-politik dan keamanan suatu negara karena endospora bakteri ini berpotensi untuk dipergunakan sebagai senjata biologis.



2.     Etiologi Penyakit

A.    Morfologi :

Bakteri Bacillus anthracis merupakan bakteri berbentuk batang besar dengan ujung persegi dan sudutnya tajam dengan ukuran panjang 3 – 5 μm dan lebar 1 – 2 μm. Bakteri ini bersifat Gram positif yang akan tampak berwarna biru ungu di bawah mikroskop bila diwarnai dengan Gram. Pemeriksaan di bawah mikroskop terhadap preparat ulas yang diambil dari specimen darah atau jaringan hewan penderita akan tampak bakteri ini tersusun berpasangan, berantai maupun sendiri sendiri dengan gambaran khas seperti ruas pohon bambu / bamboo tree appearance. Bacillus anthracis dapat membentuk endospora yang berbentuk oval dan terletak central , tidak lebih besar daripada diameter bentuk vegetatifnya. Endospora ini hanya terbentuk apabila bakteri berada di luar tubuh hostnya atau pada tubuh host yang telah mati. Endospora juga dapat ditemukan pada kultur / biakan, di tanah /lingkungan, pada jaringan atau darah hewan penderita yang telah mati. Ciri morfologis lain dari Bacillus anthracis adalah mempunyai capsul pada saat berada di dalam tubuh host tetapi capsule ini tidak dapat terjadi pada Bacillus anthracis yang dibiakkan secara in vitro kecuali bila dalam medianya diberikan natriumbicarbonate dengan konsentrasi 5% CO2.

Gambar Bakteri Bacillus anthracis



B.    Sifat Fisiologis dan Biokimia:

Bacillus anthracis dapat tumbuh pada hampir semua media pertumbuhan bakteri pada umumnya tetapi akan sangat baik tumbuhnya dan akan menunjukkan ciri khasnya secara baik apabila dikultur pada Blood Agar Plate dengan kandungan darah bebas antibiotika. Pertumbuhan maksimal diperoleh bila diberikan suasana pH 7 – 7,4 secara aerob. Suhu optimal yang dibutuhkan untuk pertumbuhannya adalah 37°C walaupun bakteri ini dapat tumbuh pada suhu antara 15°C hingga 40°C. Setelah 24 jam masa inkubasi Bacillus anthracis pada media sederhana akan tumbuh sebagai koloni yang besar, menonjol, opaque, berwarna putih keabuan, tepian tidak rata dengan ukuran diameter sekitar 2 – 5 mm, dan dengan bantuan kaca pembesar permukaan koloni tampak berbulu plumose, berjumbai seperti rambut keriting yang diistilahkan sebagai caput medusae / medusa head/ hairlike curl / fringelike edge. Bakteri ini non motil dan ini berbeda dengan spesies bakteri genus Bacillus yang umumnya motil. Bacillus anthracis memfermentasi glukosa, maltosa dan sukrosa dengan menghasilkan sejumlah asam tetapi bakteri ini tidak memfermentasi manitol, laktosa dan galaktosa. Sifat biokimiawi lain dari bakteri ini adalah mencairkan gelatin secara perlahan, mereduksi nitrat menjadi nitrit, serta tes Voges Preskauernya / VP positif.



3.     Sejarah Anthrax di Indonesia

Berita pertama mengenai penyakit ini dimuat dalam Javasche Courant (1884), yang melaporkan suatu penyakit menular di daerah Teluk Betung yang sangat menyerupai gejala antraks. Dalam tahun 1885 Verslag meriwayatkan radang limpa yang terjadi di daerah Buleleng (Bali), Rawas (Palembang) dan Lampung. Pada tahun berikutnya (1886) Kolonial Verslag memuat lagi berita mengenai letupan penyakit ini di daerah Banten, Padang Darat, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, demikian pula di pulau Roti yang mendatangkan kematian sebanyak 900 ekor sapi dan sejumlah besar ternak babi. Wabah ini hanya berlangsung dua minggu.

Menurut Sukmanegara, seorang ahli yang mendalami penyakit anthrax, epidemic penyakit ini pada sapi, kerbau, kambing, domba dan babi terjadi pada periode 1906- 1957 di berbagai daerah di Indonesia seperti Jambi, Palembang, Padang, Bengkulu, Buktitinggi, Sibolga, Medan, Jakarta, Purwakarta, Bogor, Priangan, Banten, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Surakarta, Banyumas, Madiun, Bojonegoro, Sumbawa, Sumba, Lombok, Flores, Bali, SulawesiSelatan, Menado, Donggala dan Palu.

Tahun 1975, wabah anthrax berjangkit di enam daerah, yaitu Jambi, Jawa Barat, Nusa Tenggara, Sulawesi Selatan dan Sulewesi Tenggara. Derajat sakit (morbidity rate) tiap 100.000 populasi hewan dalam ancaman tiap provinsi menunjukkan derajat tertinggi ada di Jambi (530 tiap 100.000) dan terendah di JawaBarat (0,1 tiap 100.000). Dari laporan itupun diketahui, lima daerah mempunyai derajat sakit lebih rendah dari 15 tiap 100.000 populasi dalam ancaman dan hanya Jambi yang mempunyai angka ekstrim.

Tahun 1980, di Nusa Tenggara Timur terjadi anthrax di Sumba Timur yang meminta korban sapi, kuda, kerbau, babi,anjing, dan manusia. Hewan yang paling banyak terserang adalah kuda. Manusia yang terserang tidak ada yang mati, tetapi 14 orang menderita karbunkel kulit. Pada tahun 1990 dilaporkan terjadi serangan penyakit anthrax terhadap peternakan sapi perah di Kabupaten Semarang dan Boyolali yang menyebabkan kematian ratusan ekor sapi. Pada tahun 1994 laporan serangan anthrax hanya berasal dari Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat. Pada bulan April 1997 Indonesia sempat dikejutkan adanya berita kasus anthrax pada sapi yang terjadi di Victoria dan New South Wales (Australia), sebab sebagian daging sapi yang dijual di Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia,berasal dari Australia. Maka ,untuk melindungi konsumen diIndonesia, Direktorat Jenderal Peternakan sempat mengeluarkan larangan sementara impor daging sapi dan bahan-bahan asal hewan dari Australia itu, sampai situasi benar-benar aman.

Pada tahun 2000, Indonesia di kejutkan lagi dengan munculnya anthrax di peternakan burung unta / Struthio camelus, di Purwakarta, Jawa Barat, bahkan satu-per satu warga yang terserang anthrax bermunculan. Sedikitnya sudah 10 daerah propinsi yang oleh Departemen Pertanian dinyatakan berisiko untuk usaha peternakan yaitu antara lain Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Papua. Pernyataan tersebut didasarkan atas hasil survei yang dilakukan pada bulan April 2000.

Kasus anthrax di Purwakarta Jawa Barat tercatat mulai tahun 1962 di desa Cibungur, 1963 di desa Cirende yang berulang pada tahun 1985 , 1965 di desa Cikadu, 1966 di desa Cibukamanah yang berulang pada tahun 1975 dan 1983, 1985 di desa Cirangkong, 1999-2000 di desa Cipayungsari.



4.     Epidemiologi Penyakit



Sumber infeksi dari penularan penyakit ini merupakan tanah yang tercemar endospora bakteri Bacillus anthracis dan bersifat bahaya laten karena dapat terserap oleh akar tumbuh-tumbuhan hingga mencapai daun maupun buahnya sehingga berpotensi untuk menginfeksi ternak maupun manusia yang mengkonsumsinya. Sumber infeksi lainnya adalah bangkai ternak pengindap anthrax. Miliaran endospora bakteri ini terdapat dalam darah dan organ – organ dalam penderita pada keadaan septisemia. Pada dasarnya seluruh tubuh bangkai penderita, termasuk benda yang keluar dari bangkai tersebut mengandung endospora bakteri ini. Dalam satu milliliter darah setidaknya mengandung 1 miliar endospora. Spora-spora tersebut dapat diterbangkan angin, atau dihanyutkan aliran air kemudian dapat mencemari air, pakan, rumput, peralatan dan sebagainya. Pada hewan sumber infeksi utama penyakit anthrax adalah tanah. Selama masa akhir dari penyakit ini pada hewan, bakteri vegetatif Bacillus anthracis akan keluar dalam jumlah banyak bersama darah penderita melewati lubang – lubang kumlah alami misalnya telinga, hidung, anus. Bakteri ini dengan segera membentuk endospora dan berdiam diri di tanah bertahun–tahun bahkan hingga 60 - 70 tahun. Hal inilah yang kemungkinan dapat menjadi sumber infeksi dari anthrax yang terus menerus ada. Tingkat kematian akibat anthrax pada herbivora sekitar 80%. Anthrax pada hewan terdeteksi pada hampir di seluruh negara terutama di daerah mediteranian, Afrika dan Asia. Beberapa produk hewan misalnya bulu domba atau tepung tulang yang diimport dari daerah endemis kemungkinan juga dapat menjadi sumber penularan bila terkontaminasi oleh endospora bakteri ini. Di Amerika beberapa daerah misalnya Louisiana, Oklahoma, Colorado, California merupakan daerah yang secara sporadis sering terjadi kasus anthrax.

Hampir semua mamalia peka terhadap anthrax. Di Indonesia anthrax sering dijumpai pada sapi, kerbau, kambing, domba, kuda dan kadang pada babi. Tanah berkapur dan tanah yang bersifat basa /alkalis merupakan habitat yang sangat sesuai untuk endospora anthrax. Umumnya anthrax menyerang hewan pada musim kering / kemarau, karena rumput sangat langka, sehingga sering terjadi ternak makan rumput yang tercabut sampai akarnya. Lewat akar rumput inilah kemungkinan bisa terbawa pula spora dari anthrax.



5.     Patogenesa Penyakit


Radang limpa atau antraks pada hewan merupakan penyakit  menular. Yang menentukan jalan penyakit ini ialah resistensi jenis hewan terhadap kuman-kuman antraks. Mencit dan domba ialah dua jenis hewan yang boleh dikatakan sama sekali tidak mempunyai resistensi terhadap infeksi buatan atau alami. Kedua jenis hewan ini mati dengan tanda-tanda sepsis dan limpanya sangat membengkak dan hiperemik. Pada lembu dan kuda resistensi kedua jenis hewan ini secara cepat dikalahkan dan hewan itu mati dengan gejala-gejala sepsis.

Sebagai penentu patogenitas dari Bacillus anthracis adalah adanya 2 faktor virulensi yaitu capsul dan antigen toxin yang berupa exotoxin complex yang terdiri dari PA/Protective Antigen, LF / Lethal Factor dan EF /Edema Factor yang dapat dihasilkan. Capsul akan menyebabkan gangguan pada proses fagositosis sedangkan exotoxin complex berhubungan dengan gejala yang ditimbulkan. Protective Antigen akan mengikat receptor yang selanjutnya diikuti masuknya Lethal Factor dan Edema Factor ke dalam sel. Sinergi antara PA dengan EF akan menyebabkan edema sedangkan sinergi antara PA dengan LF akan menyebabkan kematian.

Infeksi dapat terjadi melalui kulit dan alat pernafasan, tetapi kejadian yang paling sering adalah melalui saluran pencernaan. Spora teringesti/termakan, kemudian mengalami germinasi dan menjadi bentuk vegetatif dalam mukosa kerongkongan ataupun saluran pencernaan. Kapsul yang tersusun oleh asam poliglutamat akan terbentuk dan berfungsi melindungi bakteri dari proses fagositosis serta antibodi yang akan melumpuhkan bakteri tetapi tidak menggertak pembentukan antibodi pelindung. Bacillus anthracis yang bersifat virulen hanya galur yang mempunyai kapsul dan bersifat toksigenik. Di waktu lampau penyakit ini diperkirakan diakibatkan oleh penyumbatan pembuluh kapiler akibat multiplikasi bakteri. Pada hewan penderita yidak ditemukan baik endo maupun ekso toksin. Meskipun demikian kematian akibat bakteri ini menunjukkan gejala toksemia. Eksotoksin ditemukan dalam plasma hewan yang mati. Multiplikasi bakteri terjadi terutama pada bagian yang edema dan menyebar melalui jaringan limfa ke limfoglandula. Bakteri kemudian masuk ke peredaran darah dan limfa. Sebenarnya bakteri ini disaring di dalam limfa tetapi melampaui kemampuan penyaringan sehingga masuk dalam peredaran darah. Pada hewan yang mati karena Anthrax sekitar 80% bakteri ditemukan dalam darah dan sekitar 20% ditemukan di dalam limfa. Hewan mati diakibatkan oleh produksi toksin yang dikeluarkan oleh bakteri ini. Kapsul dan toksin merupakan dua faktor virulen yang penting yang dimiliki oleh Bacillus anthracis (Lay, 1988). Toksin bakteri merusak sel tubuh jika telah berada di dalamnya. Toksin ini terdiri dari: Antigen pelindung (AP)/ Protective antigen; Faktor edema (FE)/Oedema factor dan Faktor letal (FL)/Lethal factor (Patocka et al., 2004). Antigen pelindung merupakan protein, faktor edema merupakan protein karbohidrat dan pembawa kematian merupakan protein dengan berat molekul Komponen toksin ini tidak dapat berefek jika berdiri sendiri-sendiri. Terjadinya edema apabila edema faktor bertemu dengan antigen pelindung atau edema faktor dengan antigen pelindung dan faktor lethal. Sedangkan kematian terjadi apabila faktor edema dan antigen pelindung, antigen pelindung dengan faktor letal atau faktor edema dengan antigen pelindung dan faktor letal. Daya kerja dari komponen toksin ini adalah merusak dan menghancurkan fagosit, meningkatkan permeabilitas pembuluh kapiler dan merusak mekanisme pembekuan darah. Sebagai akibat dari kerja toksin ini terjadi trombosis pembuluh kapiler dan menyebabkan keluarnya cairan melalui epitelium pembuluh kapiler yang rusak. Tekanan darah mengalami penurunan dan hewan akan syok. Kompleks toksin ini akan menghambat aktivitas opsonin dari komplemen sehingga kemampuan fagositosis juga menurun. Menjelang kematiannya toksin ditemukan dalam jumlah yang tinggi, oleh karena itu pemberian antibiotika harus diberikan pada permulaan infeksi sebelum toksin yang dibentuk mencapai dosis letal (Lay, 1992).

Anthrax terutama menyerang hewan ternak sapi, kambing, domba, kuda. Endospora dari Bacillus anthracis yang mencemari tanah kemungkinan akan menempel pada rerumputan atau tanaman lainnya dan termakan oleh ternak. Manusia umumnya terinfeksi oleh endospora bakteri ini melalui lesi di kulit, inhalasi atau per oral. Setelah infeksi, endospora bakteri ini akan tumbuh menjadi bakteri vegetatif pada jaringan di tempat endospora masuk. Bakteri vegetatif ini akan menyebabkan edema gelatinosa dan kongesti. Selanjutnya terjadi penyebaran bakteri ini melalui aliran lymphe menuju aliran darah dan terjadi bakteriemia hingga sepsis.




6.     Penularan Penyakit


Penyakit anthrax tidak ditularkan dari ternak yang satu ke ternak yang lain secara langsung. Wabah anthrax pada umumnya ada hubungannya dengan tanah netral atau berkapur yang alkalis yang menjadi daerah inkubator bakteri tersebut. Sumber penularan utama merupakan tanah atau lingkungan yang tercemar endospora bakteri Bacillus anthracis.

Cara penularan dan penyebaran penyakit anthrax, antara lain:
-       Di daerah iklim panas lalat penghisap darah antara lain jenis Tabanus dapat bertindak sebagai pemindah penyakit.
-       Rumput pada lahan yang tercemari penyakit ini dapat ditempati spora.
-       Dari pakan yang kasar atau ranting-ranting yang tumbuh di wilayah yang terjangkit penyakit anthrax. bahan pakan ini menusuk membran di dalam mulut atau saluran pencernaan dan masuklah bakteri Bacillus anthracis tersebut melalui luka-luka itu. jadi melalui luka-luka kecil tersebut maka terjadi infeksi spora.
-    Penularan dapat terjadi karena ternak menelan tepung tulang atau pakan lain atau air yang sudah terkontaminasi spora.
-    Gigitan serangga pada ternak penderita di daerah wabah yang kemudian serangga tersebut menggigit ternak lain yang peka di daerah yang masih bebas
-       Pada manusia, biasanya infeksi berasal dari ternak melalui permukaan kulit terluka, terutama pada orang-orang yang banyak berhubungan dengan ternak.
-       Infeksi melalui pernafasan mungkin terjadi pada pekerja-pekerja penyortir bulu domba (wool-sarter’s disease).
-     Melalui pencernaan terjadi pada orang-orang yang makan daging asal ternak penderita anthrax.
Menurut daerah penularannya, Anthrax dibagi dalam tiga macam :
a.   Agricultural anthrax yaitu Anthrax yang penularan dan kejadiannya berkisar di daerah-daerah pertanian, seperti di Indonesia
b.     Industrial anthrax yaitu Anthrax yang terjadi di kawasan industri yang menggunakan bahan baku berasal dari hewan atau hasil hewan seperti bahan yang terbuat dari kulit.
c.     Anthrax yang terjadi di laboratorium karena infeksi hewan percobaan seperti tikus. Rataan masa Inkubasi penyakit bervariasi umumnya antara 1-5 hari.




7.     Gejala Klinis

Gejala klinis Anthrax pada hewan diawali dengan suhu tubuh tinggi sekitar 41 - 42 °C, kehilangan nafsu makan yang mengarah kepada terhentinya produksi susu pada sapi perah, edema di sekitar leher, hidung, kepala dan scrotum, selain itu penderita terlihat sempoyongan, gemetar dan dengan segera timbul kematian. Penderita yang lemah biasanya mati dalam waktu 1–3 hari. Pada babi dan kuda umumnya lebih tahan, gejala penyakit berjalan secara kronis dan menyebabkan pembengkakan pada daerah tenggorokan. Manusia dapat terinfeksi melalui salah satu dari ketiga kemungkinan yaitu melalui kulit, melalui inhalasi atau melalui ingesti.

Pada kasus akut, hewan penderita hidup hingga 48 jam dengan ciri demam tinggi, sesak nafas, terlihat lemah, tidak mau makan,kekejangan dan keluar darah dari lubang tubuh. Kebiasaan memotong hewan di mana saja dikhawatirkan menjadi penyebab timbulnya penyakit anthrax. Pemerintah Belanda dahulu membuat peraturan yang sangat ketat bahwa pemotongan hewan harus di RPH kemudian selesai disembelih harus diperiksa dokter hewan, (keurmister), dan daging boleh beredar setelah dinyatakan aman.

Infeksi anthrax menyebabkan adanya radang limpa. Limpa merupakan organ yang berkaitan dengan pembentukan dan destruksi sel darah, tempat penyimpanan darah sementara dan kemudian dikeluarkan kembali bila diperlukan. Organ ini merupakan sasaran Bacillus anthracis yang akan memasuki limpa dan berkembang di sana. Limpa akan membengkak, berisi darah yang sianotik atau berwarna biru kehitaman. Gejala yang tampak keluarnya darah kehitaman dari setiap lubang tubuh. Gejala perakut tidak terlihat karena hewan mati dalam beberapa menit atau dua jam setelah kena infeksi anthrax. Tanda-tanda yang terlihat ialah keluar darah kehitaman seperti aspal dari lubang-lubang tubuh beberapa saat sebelum dan sesudah mati. Karkas cepat mengalami pembusukan, tidak menunjukkan kekakuan atau rigor mortis dan darah tidak membeku




8.     Diagnosis Laboratoris

  Untuk penegakan diagnosa perlu dilakukan pemeriksaan laboratoris dengan pengecatan langsung atau kultur terhadap specimen yang diambil dari malignant pustule, sputum , darah atau discharge penderita. Hal ini tergantung dari manifestasi klinis yang terjadi pada penderita tersebut. Kesulitan dalam isolasi Bacillus anthracis dari kultur ini umumnya adalah banyaknya bakteri pencemar berupa genus Bacillus yang non pathogen misalnya Bacillus cereus. Beberapa sifat dari Bacillus anthracis yang berbeda dengan Bacillus cereus dapat digunakan untuk membedakan keduanya misalnya kemampuan membentuk capsule, sensitive terhadap penicillin, non motil dan kemampuan melisis bakteriophaga merupakan sifat Bacillus anthracis yang tidak dimiliki oleh Bacillus cereus.

Metode / uji lainnya dalam dapat berupa :
-       uji mikroskopis, dengan pewarnaan metilen blue polichroatic dram atau wrigh
-       kultural bakteriologik pada media agar darah dan kaldu protein
-       identifikasi Bacillus anthracis dengan media gula-gula
-       tes atau uji ascoli dan biologik pada hewan coba
-       tes atau uji serologis dengan PCR (Polymerasi Chain Reaction) dan ELISA (Enzyme Linked Immuosorbent Assay). Uji ini dapat dilakukan khususnya terhadap hewan yang mati tersangka anthrax.
Yang perlu diketahui adalah bahwa diagnosa laboratoris terhadap tersangka anthrax hanya boleh dilakukan oleh laboratorium tertentu yang mempunyai standar BSL2 /Biological Safety Level 2.




9.     Penangan Penyakit

Sehubungan dengan tersiarnya pemberitaan mengenai dugaan munculnya kasus Anthrax di wilayah Citeurup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat yang merupakan salah satu daerah rawan Anthrax di Indonesia, langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mengatasi hal tersebut adalah:
-  Pemeriksaan laboratorium dari sample tanah dan darah manusia dengan uji serologis menggunakan metode ELISA. Hasil yang diduga terkena Anthrax mempunyai titer antibody yang sangat tinggi, diindikasikan adanya reaktor Anthrax.
-    Meningkatkan fungsi pemeriksaan kesehatan masyarakat veteriner di RPH terutama dalam melakukan pemeriksaan ante mortem dan post mortem.
-     Mengaktifkan sosialisasi penyakit Zoonose khususnya Anthrax kepada masyarakat disekitar lokasi, untuk menghindari terjadinya pemotongan liar.
-    Meningkatkan frekwensi pelaporan kasus penyakit secara berkala yang didukung kegiatan proaktif petugas lapangan. Sumber: Ditjen Bina Produksi Peternakan Deptan.

Pada hewan : pada setiap kejadian atau dugaan anthrax pada hewan harus segera dilaporkan kepada Dokter Hewan yang berwenang dan Dinas Peternakan setempat, karena dampaknya bisa sangat luas apabila dilakukan penanganan yang salah. Pengobatan dapat menggunakan penisilin, tetrasiklin, dan preparat sulfa. Apabila pengaruh obat sudah hilang, vaksinasi baru dapat dilakukan sebab pengobatan dapat mematikan endospora yang terkandung dalam vaksin. Untuk memutus rantai penularan, bangkai ternak tersangka anthrax dan semua material yang diduga tercemar misalnya karena pernah bersinggungan dengan hewan penderita harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau dikubur dalam-dalam serta bagian atas dari lubang kubur dilapisi batu kapur secukupnya. Area penguburan hendaknya diberi tanda supaya semua pengembalaan hewan di area sekitar menjauhi lokasi penguburan.




10.  Pencegahan Penyakit
Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mencegah penularan anthrax, salah satunya dengan melakukan Vaksinasi pada ternak. Vaksin pertama kali dibuat oleh Pasteur (1879). Pasteur menemukan bahwa inkubasi bakteri pada suhu 42°C akan menyebabkan penurunan sifat virulensi bakteri ini. Vaksin ini tidak digunakan lagi setelah ditemukan vaksin spora (spore live vaccine) karena dapat disimpan lebih lama. Vaksin spora ini berasal dari varian yang tidak berkapsel dan tidak virulen (Lay, 1988). Penambahan saponin dalam vaksin akan menghambat penyebaran yang cepat dari spora ke dalam jaringan sehingga akan dihasilkan efek adjuvan (vaksin carbozoo). Vaksin Anthrax telah dibuat atau diproduksi oleh beberpa negara yang kesemuanya menggunakan spora. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam vaksinasi Anthrax antara lain penyimpanan vaksin tidak boleh di frezzer tetapi di refrigeratornya. Hewan-hewan yang sedang dalam pengobatan antibiotika tidak diijinkan untuk divaksin Anthrax misalnya sapi perah dalam pengobatan karena mastitis. Hewan yang akan dipotong dalam waktu minimal 6 minggu sebelumnya tidak boleh divaksin.

Selain itu perlu dilakukan pemusnahan bangkai hewan yang mati karena anthrax secara benar sehingga tidak memungkinkan endospora dari bakteri ini untuk menjadi sumber infeksi. Vaksinasi pada hewan ternak perlu dilakukan untuk mencegah infeksi pada ternak sapi, kerbau, kambing, domba maupun kuda.






Sumber :
Anthrax. Temu ilmiah tentang Anthrax. Dit-Jen P2M-PL Departemen Kesehatan. Jakarta 2001
Dharmojono. 2000. Anthrax, Penyakit Ternak Mengejutkan Tetapi Tidak Mengherankan. Infovet Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan; Ed 67, Pebruari 2000.
Lay, B.W dan Sugyo Hastowo. 1992. Mikrobiologi. Hal 263-269.
Patocka J., and Splino M. 2002.: A history of Gruinard Island, the “Anthrax” Island (Article in Cech). Voj Zdrav Listy 71, 58-59.
Todar K.2009. Textbook of Bacteriology : Bacillus anthracis & anthrax.
Tortora GJ et al. 2009. Microbiology10thEd. Pearson International Edition.
Weyant RS et al. 2001. Basic Laboratory Protocols for the Presumptive Identification of Bacillus anthracis. CDC.


Saturday, February 25, 2017

Sanitasi Kandang Ternak

A.    Prosedur Sanitasi

Dalam rangka untuk mempersiapkan kandang dan peralatan untuk kegiatan agribisnis ternak ruminansia perah (pemerahan sapi, kerbau, ternak dan kambing). Maka kandang dan peralatan tersebut sebelum dipergunakan perlu dilakukan sanitasi. Agar pelaksanaan kegiatan sanitasi dapat berjalan dan berhasil optimal, maka perlu adanya prosedur yang benar. Yang dimaksud prosedur disini adalah suatu pedoman atau panduan dalam melakukan tahapan-tahapan kegiatan sanitasi kandang dan peralatan, sehingga akan diperoleh suatu hasil yang optimal.

1.    Penentuan Sasaran
Yang dimaksut penentuan sasaran disini adalah penentuan tempat atau benda yang akan disanitasi. Tentukan dahulu sasaran yang akan disanitasi. Kalau yang akan disanitasi adalah kandang, peralatan dan sarana pendukung kandang, maka yang perlu dipertimbangkan adalah berapa luas kandangnya, berapa jumlah peralatan kandang, berapa jumlah sarana pendukung kandangnya dan berapa luas area lingkungan kandangnya dan lain sebagainya.


2.    Pemilihan Bahan Sanitasi
Dalam pemilihan bahan untuk sanitasi kandang, peralatan dan lingkungan peternakan yang perlu dipertimbangkan adalah :
a.     Efektif
Karena tujuan dari sanitasi kandang, peralatan dan lingkungan peternakan adalah untuk mencegah terjadinya serangan suatu penyakit yang disebabkan oleh virus, bakteri, protozoa, jamur/parasit. Maka dalam memilih bahan untuk sanitasi pilihlah bahan sanitasi yang mempunyai sifat efektif dalam membasmi virus, bakteri, protozoa dan jamur/ parasit.

b.    Harga Murah
Pilihlah bahan untuk sanitasi kandang dan perlengkapan yang mempunyai harga murah, akan tetapi mempunyai daya kasiat yang tinggi dalam memberantas, atau membunuh mikroorganisma pembawa penyakit. Karena kalau bahan untuk sanitasi tersebut harganya mahal, maka akan memperbesar anggaran biaya yang harus dikeluarkan

c.     Mudah Didapat
Disamping harganya murah, pilihlah bahan sanitasi yang mudah didapat. Jangan memilih bahan sanitasi yang tidak tersedia dilokasi usaha.

d.    Tidak Mempunyai Efek yang Buruk
Selain efektif, harga murah dan mudah didapat, bahan sanitasi harus tidak mempunyai efek yang buruk . Yang dimaksud tidak mempunyai efek yang buruk adalah tidak menyebabkan atau menimbulkan bahaya bagi ternak, peternak dan lingkungan. Berbicara lingkungan disini adalah; baik itu lingkungan biotik maupun lingkungan abiotik.

3.    Penyiapan Alat Untuk Sanitasi
Agar kegiatan sanitasi kandang dan peralatan peternakan dapat berjalan lancar sesuai dengan harapan maka, alat-alat yang akan dipergunakan untuk kegiatan sanitasi perlu dipersiapan. Adapun peralatan tersebut diantaranya : cangkul, garpu, sekop , sabit, sapu lidi, kereta dorong, ember, hand spayer dan lain sebagainya. Peralatan –peralatan tersebut dipilih yang mana yang harus dipakai.

4.    Pelaksanaan Sanitasi
Adapun tahapan-tahapan kegiatan sanitasi adalah sebagai berikut:
·       Pembersihan Kandang
Kegiatan sanitasi kandang ternak ruminansia perah di awalai dari kegiatan pembersihan kandang dari kotoran ternak. Pembersihan kandang ternak ruminansia dan perlengkapannya sangat penting terutama pada kandang ternak ruminansia yang habis dipergunakan. Pembersihan dilakukan dengan cara mengumpulkan semua kotoran kebagian sisi kandang, kemudian mengangkut kotoran tersebut dengan menggunakan ketera dorong atau dengan menggunakan perlatan lainnya yang fungsinya sama, dari dalam kandang ke tempat penampungan kotoran atau ke tempat rumah kompos. Di dalam rumah kompos kotoran ternak ruminansia tersebut diolah menjadi kompos. 
Pembersihan kandang ini, tidak terbatas hanya pada bagian di dalam kandang saja. Namun bagian luar kandangpun juga dibersihkan dari semua kotoran, limbah dan semak-semak belukar, kemudian menyapu dan mengumpulkannya di tempat yang aman, sehingga tidak mengganggu atau menimbulkan penyakit pada ternak, yang sedang dipelihara.

Gambar 2. Membersihkan Kotoran
Sumber : extension.umass.edu

·       Pencucian Kandang dengan Air
Setelah semua kotoran di dalam kandang diangkut , dan dalam keadaan bersih barulah dilakuan pencucian kandang dengan menggunkan air. Untuk mempermudah pada saat mencuci kandang ternak ruminansia , gunakanlah slang air. Agar slang air dapat megalir kencang atau mempunyai tekanan yang tinggi maka posisi tempat penampungan air harus lebih tinggi. 

·       Penyemprotan Kandang dengan Desinfektan
Pencucian kandang ternak ruminansia dengan desifektan, dilakukan setelah kandang tersebut bersih dari kotoran baik yang ada di lantai atau dibagian permukaan lainnya. Untuk desinfektan gunakanlah salah satu bahan desinfektan misalnya : sabun deterjen, karbol, lisol dan lain-lain dengan cara menyemprotnya.

5.    Pengapuran
Kalau masih dimungkin kandang ternak ruminansia perah perlu juga dilakukan pengapuran. Kapur seperti apa yang pernah di singgung dibagian atas bahwa kapur banyak di pakai untuk lantai kandang atau halaman kandang



B.    Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) 

Apabila menggunakan obat atau disinfektan gunakan secukupnya saja jangan berlebihan. Apabila berlebihan disamping pemborosan, juga dapat membunuh semua mikrorganisme atau serangga atau binatang lainnya yang berada di kandang dan disekitar kandang. Apabila mikroorganisme dan serangga banyak yang mati maka ekosistem yang ada di lingkungan kandang terganggu. Dengan terganggunya ekosistem yang ada dikandang dan sekitranya berarti kegiatan peternakan tersebut bisa dikatakan tidak ramah lingkungan. 

Kegiatan sanitasi kandang selain bertujuan untuk membunuh bibit-bibit penyakit yang dapat merugikan peternak, perlu juga memperhatikan dampak negatif penggunaan obat atau disinfektan tersebut bagi ternak yang lain, tanaman dan manusia ( pekerja kandang ). Untuk mengurangi dampak negatif penggunaan obat/ atau disinfektan bagi pekerja kandang, maka pada saat melakukan penyemprotan kandang, sebaiknya pekerja kandang harus mematuhi prosedur keamanan dan keselamatan kerja . Misalnya pada saat melakukan penyemprotan kandang sebaiknya pekerja kandang menggunakan penutup kepala, masker dan sarung tangan. Tidak boleh merokok pada saat menyemprot dan harus cuci tangan sebelum makan dan minum. Harus memakai sepatu bot pada saat bekerja di dalam kandang dan lain-lain.





Sumber : Agribisnis Ternak Ruminansia (2013)
                extension.umass.edu